12 Catatan ‘KJ’ tentang Ustad Somad

oleh -1,133 views
oleh
1,133 views

Oleh : Khairul Jasmi (KJ)                             disadur dari khairuljasmi.com

INI tulisan kedua saya soal Ustad Somad, anak Melayu itu. Yang pertama soal jasa ustad-ustad Riau zaman lampau untuk Minangkabau. Karena itu setiap orang alim di Minang disebut urang siak, padahal dia entah dari mana. Ini bermula karena orang Siak Riau banyak menjadi guru di Minang di abad lampau.

Tulisan kedua ini saya ingin melihat Ustad Abd Somad (UAS) sebagai sosok ulama.

Pertama ia punya ilmu yang dalam. Ia membaca judul kitab saja kita tergangga terus nama pengarang dan guru-guru dari pengarang itu. Ini hampir tak pernah saya dengar dari ustad lain, di tv di youtube atau dimana saja.

Kedua, menguasai empat mashab. Ia kupas mulai dari cara berwuduk, lipat tangan waktu shalat, kunut, baca bismillah, telunjuk bergerak atau tak bergerak. Kemudian salawat, maulid, sampai pada cara masuk kamar mandi. Semua kaji itu sepintas-sepintas terngiang lagi di telinga karena sudah didengar waktu di surau dulu. Kini lebih dalam dan dilihat dari 4 mashab. Ia tak merendahkan satu mashab karena semua mashab bermula oleh ulama besar. Benar UAS.

Ketiga, tiktak, lompat pikir dan cakapnya dalam satu masalah amat cepat. Mudah mencari korelasi. Di situlah muncul lucu-lucunya. Ketika bicara takdir misalnya saat ceramah di Pangkal Pinang. Jika motor sudah dirantai kemudian diikatkan ke pokok pinang, hilang juga, itu takdir. Kalau tak dirantai, kunci kontak lupa membawa lalu motor lenyap, itu lalai bukan takdir. Kita tahu itu, namun ia menyampaikan hal tersebut untuk memberi contoh pada kaji dan kutipan ayat serta hadis.

Tatkala berbicara di Minang ia memuji Hamka. Hamka dipuji di Minang? Sama dengan menghidangkan kue bolu hangat ke rumah orang Minang pagi hari. Senanglah hatinya. Ke setiap daerah berbeda ia puji ulama setempat, yang dari zaman lampau, padahal oleh warga setempat terang-terang tanah sejarahnya, oleh UAS di luar kepala. Habislah UAS kena tepuk tangan bergemuruh. Ia menguasai sejarah Islam Nusantara. Dari ustad lain kita tidak dapat hal itu.

Keempat, orang Islam awam kalau sudah disebut nama-nama negara magribi dan negara-negara di wilayah bulan sabit Timteng sana, tegak telinganya. Apalagi menyebut nama Mekkah dan Medinah. UAS sering menyebut itu berkaitan dengan penjelasannya soal ulama, sekolah, sejarah dan kondisi kontemporer. Nama-nama ulama itu dari yang termuda bertali-temali bersanad sampai ke Nabi, lancar bak reporter bola di RRI zaman lampau kala menyebut nama pemain PSMS, PSP, Persib, PSSI. Kita dibawanya ke lapangan hijau. Ia menjerit, bersorak, bola masuk, kita yang dengar radio tegang terpukau. UAS bak reporter itu meski tak sama.

Kelima, kaji UAS ditunggu. Ditunggu isinya, ditunggu sandaran hadis dan ayat Qurannya. Didengar ia membaca. Bagai air hilir saja. Ditunggu, lagi-lagi lucunya. Hanya satu pertanyaan yang tak bisa ia jawab, bolehkah mencuri listrik untuk masjid. Ia sarankan minta fatwa MUI. Pertanyaan lain nyaris tak berpikir ia jawab. Cuma saja ribuan pertanyaan menunjukkan seperti itulah pengetahuan keislaman umat Islam di Indonesia. Nyaris tak mendalam dan tak meluas ke ayat-ayat tentang alam semesta dan korelasinya dengan iptek. Ada sih yaitu soal bumi bulat atau datar.

Keenam, wajah dan suara. Wajahnya milik rakyat, suara atau kata, kontan Melayu Riau. Sukalah umat mendengarnya. Kalau saya tak salah ingat, Cak Nur yaitu Nurcholis Madjid pernah menulis, bahasa Indonesia berasal dari Melayu dipopulerkan orang Minang dan diucapkan secara benar oleh orang Batak. Kini orang Melayu itu benar yang mengaji. Masuk!

Lucu. Kalau ini tak bisa ditulis. Lucu pokoknya. Saya menyaksikan beda reaksi jamaah Indonesia dan Malaysia jika UAS sudah melucu. Jemaah Indonesia plong lepas tawanya. Berderai-derai. Di Malaysia? Tertahan. Mungkin soal rasa bahasa yang kurang tertangkap atau karena sebab lain, saya tak tahu. Meski begitu rasa hormat umat Islam Malaysia pada UAS luar biasa.

Tujuh, saya tak melihat UAS anti NKRI. Ia ulama bukan yang lain.

Delapan, tiba-tiba saja nyaris semua umat suka dia. Di Aceh ia disambut amat meriah. Orang Aceh saja menghormatinya, apalagi daerah lain. Semua daerah basis Islam memberlakukan UAS seperti itu. Ulama dan profesor menulis soal UAS dan dibagi-bagi di medsos. Itu artinya ia milik umat.

Sembilan, ia menyebut ibunya sesekali dalam pengajian. Menyebut ayahnya, menyebut gurunya dan teman-temannya. Sebagai wartawan saya yang tak di Riau ingin membaca reportase soal bagaimana keseharian ibu UAS.

Ustad yang sedang memberi pengajian adalah pemegang kendali seperti seorang host sedang membawa acara di tv. Saya waktu jadi host kalau saya lucu atau tegas benar-benar berpengaruh pada audiens karena hostlah yang mereka perhatikan. UAS juga begitu, kala ia berkisah soal ibunya maka semua jemaah ingat ibunya. Ia menularkan sedang “sesuatu” yaitu hormat pada ibu.

Sepuluh, meski ada terlanjur-terlanjurnya tapi UAS cakap menjaga keseimbangan terutama soal politik. Kini ia dijaga oleh penasihat hukumnya Kapitra Ampera yang pernah jadi calon gubernur Sumatera Barat itu.
UAS tidak mengerdilkan iptek dan politik. Katanya iptek penting bagi kemajuan umat Islam, sesuatu yang dihindari berabad-abad di mimbar sehingga umat Islam hanya tahu nama Ibnu Sina tapi tak tahu sejarahnya. Politik penting demi umat.

Sebelas, kelemahannya atau sengaja saya tak tahu, pada beberapa bagian di setiap pengajiannya ada materi yang berulang. Juga guyonnya sehingga ketika pengulangan terjadi, jemaah sudah tak tertawa. Pengulangan itu tentu tak terperhatikan oleh semua orang dan mungkin perlu. Bukankah //lanca kaji dek diulang pasa jalan dek ditampuah//.

Duabelas, suaranya merdu kalau ngaji. UAS tahu itu.(analisa/khairuljasmi.com)