Alek Mandeh dan Ghirah Penikmat Budaya Periperal

oleh -315 views
oleh
315 views
Alek Mandeh dan ghirah penikmatnya, luar biasa di Sijunjung Sunatera Barat. (ihm)

Oleh: Ilhamsyah Mirman

Founder Ranah Rantau circle

DUA ANAK GADIS sibuk berkeliling mengabsen penjual makanan yang stand nya berjejer di tepi batang air pintu masuk Perkampungan Adat Nagari Sijunjung.

Tidak satupun penjaja dilangkahi keduanya. Berlomba cepat menuntaskan sangu di saku, di sela tayangan bioskop ‘layar tancap’ Alek Mandeh, Festival Matrilineal.

Bacaan budaya dengan serius dan berkerut kening yang dilakoni orang tua mereka sepertinya belum cukup menarik minat. Jauh lebih nikmat telur gulung atau baso bakar ketimbang menyaksikan kawan seumuran tampil dipanggung.

Atau duduk manis dibaris kanan depan bersama Sang Ayah menyaksikan pertunjukan teater Camin Taruih di area Pentas Bundo.

Gambaran kurang lebih sama terjadi dikedai pertigaan jalan. Walinagari dan beberapa pemuda berbaur dengan pengunjung menikmati buah rambai bertemankan kopi pekat.

Sayup-sayup terdengar suara speaker para pembicara di opening ceremony Alek Mandeh. Sementara petugas dishub sibuk buka tutup jalan dan mengatur parkir. Perhelatan berwibawa 28-30 Oktober sedang digelar.

Bisa jadi karena venue terbatas, namun luberan tokoh dan tamu berbagai kalangan agak disayangkan. Acara sebagus ini menjadi iven sakral yang seakan hanya diikuti selapis tipis.

Terkhusus tamu dari ‘pusat’, undangan terbatas dan untuk budayawan grade tinggi yang kiprahnya telah mendunia. Sementara banyak pegiat, peminat dan akademisi serta masyarakat, yang mungkin kiprah kesehariaanya tidak kalah ‘genuine’, seperti kurang terlibat atau tidak dilibatkan.

Termasuk para ‘pewaris’, dalam hal ini kaum muda dan publik yang dipastikan ingin tau lebih spesifik tentang matrilineal. Momen cantik di Festival mengajak mereka menukik masuk, agar lebih mengenal dan bangga terhadap sistem matrilineal.

Kondisi yang sejalan dengan pandangan Dr. Dede Pramayoza, MA.

“Ini sebuah festival juga perlu untuk menimbang bentuk-bentuk program yang dapat merangkum sebanyak-banyaknya pihak”, sebagaimana tertulis dalam hantaran kuratorial Direktur Pelaksana Alek Mandeh tersebut.

Atau penegasan Kepala BPNB, Undri, SS, MSi di buku katalog yang sama. ‘Sebagai sebuah festival, berharap masyarakat bisa merasakan bahagia-merayakan kebahagiaan untuk selanjutnya bisa memajukan kebudayaannya, “tulisnya dalam Pengantar.

Meski gerusan pola hidup modern tetap dikenakan sehingga sulit mengenalkan budaya Minang yang perlahan terabaikan. Diajang festival inilah jadi ‘alat baca’ posisioning. Harapannya tentu hasil bacaan digunakan sebagai tolok ukur melihat kemungkinan sumbangan pemikiran serta bentuk pengembangan budaya Minang (baca matrilineal) di masa yang akan datang.

Sedikit catatan. Sebagai pemilik masa depan, perlu pelibatan lebih intens yang menarik minat rang mudo. Anak muda sepertinya kurang dirangkul sepenuh hati. Perlu kejelian untuk melanjutkan bersama dasar-dasar yang dihasilkan dari bertungkus lumusnya para pakar dan pegiat budaya agar meluas dan jadi agenda utama, istimewa dikalangan milenial.

‘Pengorbanan’ dibutuhkan, ajakan agar intens terlibat secara kreatif, sebagaimana keunggulan yang dimiliki. Maka ‘menjadi pijakan untuk mempromosikan kontribusi budaya Matrilineal Minangkabau kepada dunia, sebagai suatu modal pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik’, bukanlah angan-angan semu kalau segenap stake holder berkontribusi maksimal.

Sekalipun demikian, paling tidak semangat dan kesuksesan menghelat Alek Mande menunjukkan iven budaya berkelas, patut diacungkan empu jari. Selama 3 (tiga) hari Musyawarah dan Pameran Budaya Matrilineal, Pagelaran Baju Basiba, Dialog Budaya dan Pertunjukan Seni. Belum lagi rangkaian kegiatan FGD dan Muhibah pelacakan atas praktek budaya matrilineal masa kini ke enam nagari terpilih. Sungguh luar biasa.

Penting kita ketahui bersama, bahwa ajang festival ini telah menjadi milik publik dengan mimpi dan asa beraneka. Sebenarnya kurang fair menggantungkan mimpi pada para pejuang ini untuk menjawab keinginan semua. Maka tautan lengan dan langkah bersama membumi, merangkul komponen yang belum terakomodir dalam helat berikutnya, jadi satu keharusan.

Meriahnya acara dan banyaknya kalangan yang jauh-jauh datang dengan konsep di benak masing-masing perlu dikanalisasi. Mengumpulkan pemikiran budaya (matrilineal) partisan, setiap orang berbicara, dikemas renyah, lalu digelar bersama, bila perlu urunan dalam pembiayaannya. Mengapa tidak.

Sekiranya mungkin, maka budaya adiluhung matrilineal nan tiada dua keluhurannya ini diyakini bukan hanya milik kasta tertentu saja. Mimpi menjadi bangsa berbudaya dan bangga sebagai ‘user’ disetiap insan nagari dan negeri, bukan utopia semata.

Dan dua anak gadis remaja bersemangat mengajak sahabat ‘nongki’nya membuat konten kreatif, dirumah gadang nomor 73 milik Bundo Iin dari suku Chaniago. Sambil menemani Bundo presentasi hasil muhibah ke Siguntur. Semoga..(analisa)