Angka Kematian Covid-19 di Bawah 1 Persen Jangan Abai Gaess, Dr Andani: Saatnya Reformasi Ketahanan Kesehatan

oleh -214 views
oleh
214 views
Andani ingatkan, meski kasus aktif covid-19 alami penurunan tetap Prokes, Jumat 5/11-2021. (dok/google)

Padang — Data-data epidemiologi 1 bulan terakhir memperlihatkan kondisi yang sangat bagus di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat.

Angka positivitas hampir selalu di bawah 1 persen, nilai Rt turun sekitar 0.6-0.8, rumah sakit sudah pada kosong yang ditandai dengan penurunan BOR dan angka rawatan per 100 ribu penduduk menurun.

Tapi kondisi ini jangan dianggap covod-19 sudha habis dan semuanorang abai akan ada bom waktu yang siap meledak, tetap Prokes serta ayo vaksin. Meski Indonesia dianggap oleh lembaga internasional berada pada level 1, di mana situasi pandemi sudah sangat tekendali.

“Pertanyaan besar adalah kenapa indikator pandemi di Indonesia, termasuk Sumatera Barat menurun..??, apakah Protokol Kesejatan (Prokes) kita sudah berjalan dengan baik..??, apakah testing, tracing dan isolasi sudah berjalan dengan baik..?, apakah vaksin kita sudah baik pada waktu penurunan kasus mulai terjadi..??.. jelas jawabannya tidak..!!, tidak ada indikator tersebut yang berkontribusi dalam penurunan pandemi,”ujar Kepala Pusat Diagnostik Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Unand, Jumat 5 November 2021.

Dr.Andani, pada laporannya terkait varian COVID 19 di Sumatera Barat, memperlihatkan pola peningkatan kasus lebih didorong oleh pergerakan varian baru.

Periode Agus – Okt 2020, dominan mutan D614G, tetap ada hingga Maret 2021, April – Mei 2021 terlihat varian lokal B1.466.2, namun pada Juni ditemukan 53 persen varian Delta, dan meningkat menjadi 97 persen pada pertengahan Juli 2021. Perkiraan akhir Juli semua sudah terpapar Delta.

Menurut Dr. Andani, yang juga tenaga Ahli Menteri Kesehatan, Delta adalah varian virus COVID 19 yang angka penyebarannya sangat cepat, dari 1 orang menyebar ke 6 orang. Sehingga dalam waktu singkat daerah tersebut akan terpapar oleh Delta.

“Memang tidak ada data seroepidemiologi yang mendukung ini, namun data-data empiris cukup membuktikan fenomena ini. Untungnya Delta adalah tingkat fatalitas (kematian) yang rendah, hanya sekitar 1.5-2 persen.

Kondisi ini mampu menjawab pertanyaan kenapa indikator pandemi menurun walau perilaku tidak sesuai, jawabannya karena sebagian besar warga sudah terinfeksi COVOD-19 varian Delta.

“Sudah tercapai imunitas alamiah terhadap pandemi atau istilah lainnya tercapai herd imunity varian Delta,” ujar Andani.

Data empiris yang mendukung masyarakat sudah banyak terinfeksi berasal dari beberapa kasus. Dr Andani, pada suatu diskusi dengan satu nagari menanyakan berapa yang meninggal periode Juli 2021..?, mereka menyatakan hampir tiap hari ada, dan bahkan pernah satu hari 4 orang. Saat ditanya lagi berapa yang demam di nagari tersebut, jawabnya hampir 50 persen. Namun saat ditanya berapa hilang penciuman, dengan yakin mereka menyatakan hampir 95 persen warganya hilang penciuman.

Data di nagari lain melaporkan, lebih dari 20 warganya meninggal dalam 2 minggu fase puncak COVOD 19 bulan Juli 2021, dan lebih dari 50 persenwarganya demam dan sebagian terjadi serumah.. sayangnya semua kasus ini hampir tidak pernah dilakukan test PCR untuk diagnosis.

“Belajar dari data ini terlihat jelas bahwa Delta sudah menginfeksi hampir 60-70 persen populasi masyarakat Sumatera Barat,*ujar Andani?

Apakah pelajaran dari kasus ini..?, Menurut Andani Eka Putra pelajaran pentingnya adalah kondisi ini terlihat baik karena fatilitas varian Delta tidak tinggi dan pencatatan kematian belum berjalan dengan baik.

“Namun ada risiko yang besar..yaitu bagaimana kalau muncul varian baru dengan fatalitas tinggi..??, apakah kita sudah siap..??,” ujar Dr. Andani.

Andani tegas menyatakan bahwa jika pola penanganan seperti ini akan cukup berbahaya bagi Sumbar atau Indonesia sekalipun jika yang masuk virus dengan fatalitas yang tinggi.

“Kita perlu belajar dari kondisi yang terjadi saat ini,” ujarmya.

Berkaca kondisi pandemi COVID-19 kekinian di Sumbar khususnya dan Indonesia umumnya, kata Andani perlu mempersiapkan ketahanan dalam menghadapi ledakan kasus COVID 19 atau bencana pandemi biologi lainnya.

Andani mengistilahkan sebagai Reformasi Ketahanan Kesehatan Indonesia. Konsep ini telah dirancang dan dimatangkan di Kementerian Kesehatan.

“Reformasi ketahanan kesehatan harus mendesak dilakukan , konsep ketahanan ini bertujuan dalam membangun kesiapan kita menghadapi resiko pandemi atau wabah kedepan,” ujar Andani.

Pondasinya dari Reformasi Ketahanan Kesehatan kata Andani Eka Putra adalah menyiapkan komponen, terpenting pemberdayaan masyarakat.

“Jujur kita akui di era pandemi COVID 19, kita gagal memberikan pemahaman kepada masyarakat, sehingga banyak hal yang tidak bisa dituntaskan dengan segera. Poin lain yang harus menjadi perhatian adalah ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan laboratorium, pengelolaan sumber daya manusia, sistem anggaran, sistem manajemen bencana, sistem logistik, dan pengendalian pada pintu masuk. Prinsip mitigasi ini pada dasarnya hampir sama dengan yang dirancang dengan mitigasi bencana alam. Masyarakat harus siap terhadap kemungkinan terjadinya bencana, baik alam maupun biologi,”ujar Andani jelas Rwformasi Ketahanan Kesehatan

Ketahananan lelayanan kesehatan terkait laboratorium dan fasilitas layanan kesehatan bertujuan menyediaan laboratorium yang mampu melakukan diagnosis dini, pemeriksaan cepat dan akurat serta rumah sakit yang mampu menangani pasien sedang atau berat.

“Coba kita lihat saat Pandemi, banyak rumah sakit tidak sanggup menangani pasien berat, kalau kita di Sumatera Barat, rumah sakit daerah banyak merujuk pasien ke RSUP M. Djamil, seringkali sudah terlambat dan berakhir dengan kematian. Ruangan rumah sakit tidak sesuai dengan standar infeksi, dan lain sebagainya,”ujar Andani.

Di Indonesia, pada era pandemi ini laboratorium berdiri bak jamur dimusim hujan, dengan misi berbeda-beda, kapasitas laboratorium hanya 150-200 testing per hari. Andani menambahkan bahwa laboratorium yang terlalu banyak agak menyulitkan dalam menjamin kualitas kerja, idealnya dibangun laboratorium yang bersifat sentralistik, dengan kapasitas 3000-4000 test per hari, sehingga dengan cara ini tidak perlu banyak laboratorium yang dibangun dalam satu daerah.

“Betapa tidak efisien jika kita harus membayar gaji banyak orang karena laboratorium banyak, namun testing sedikit. Sumbar mungkin contoh yang baik, karena punya sedikit laboratorium namun dapat menerima sampel hingga 6-8 ribu sehari,” ujar Andani.

Selanjutnya Reformasi Ketahanan Kesehatan kata Andani yakni kontrol orang luar masuk Indonesia.

“Ini penting karena terkait masuknya varian baru. Ingat bahwa Delta berasal dari gagalnya kita mengendalikan pendatang dari luar. Sistem logistik menjadi sangat penting, belajar dari pandemi COVID 19, kita harus mengembangkan produk dalam negeri tidak bergantung asing,”ujar Andani.

Manajemen bencana kata Andani seperti alur penanganan pandemi, siapa penanggung jawab utama juga harus dipastikan jelas.

“Kalau soal pandemi ya leading harus institusi kesehatan dengan melibatkan full TNI/Polri. Pemberdayaan masyarakat harus didorong lebih ke depan. Pada pandemi Covid 19 terlihat kontribusi besar TNI/POLRI. Tracing, pengawasan tempat isolasi dan bahkan sekarang ini vaksin lebih banyak dilakukan oleh TNI/POLRI. Bagaimana peran pimpinan daerah..??, hehehe, ada yang serius, ada yang asyik untuk pencitraan, ada yang masih bingung mau apa, ada yang acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang kita bisa melihat komentar yang kontraproduktif, seperti silahkan berkumpul, covid tidak ada, untuk apa testing banyak-banyak, isolasi covid positif di rumah saja dan banyak lagi lainnya,”ujar Andani tersenyum.

Pada akhirnya, Andani menegaskan harus ada early warning system bencana pandemi. “Harus ada kesiapan. Karena pandemi menurut saya adalah bisa saja proses alamiah namun bisa juga rekayasa. Rekayasa melalui proses molekular engineering, di mana modifikasi dilakukan pada DNA atau RNA virus, yang awalnya hanya pada hewan, namun tiba-tiba bisa pada manusia dan bahkan dapat menularkan antar manusia. Rekayasa ini tidak sama dengan yang dianggap masyarakat selama ini, yang menyatakan bahwa pandemi itu tidak, tidak ada Covid 19.. COVID19 jelas ada, korbannya sangat banyak, saat ini lebih dari 5 juta orang. Ini bukan jumlah sedikit untuk era modern. Hampir sepadan dengan flu spanyol tahun 2018-2019 yang merenggut nyawa 50-100 juta orang,”beber Andani.

Pada akhirnya, kata Andani Eka Putra kembali kepada semua, COVID 19 mungkin tidak akan pernah hilang, tapi bergeser dari Pandemi ke endemi biasa.

“Namun virus-virus atau patogen yang lain bisa saja muncul lagi, mau bagaimana kita.. apa upaya kita menyelamatkan generasi mendatang, itu tugas yang harus kita rancang,” ujar Andani Eka Putra. (ms)