Antara Keadilan dan Pandemi: Masker Membungkam Korona, Bukan Kata

oleh -335 views
oleh
335 views
Naatasya

Oleh: Natasya Salsabilla Festy (Mahasiswi Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas)

DALAM diri manusia tersirat rasa kemanusian yang tidak baik-baik saja saat ketidakadilan menyapa. Ihwal kemanusiaan tak memiliki ujung bahkan tak takluk oleh wabah.

Di tengah polemik pandangan munculnya kerumunan demonstrasi di masa Pandemi Covid-19, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 dalam pasal 1 ayat (1) tetap mengakar kuat sebagai hak warga negara.

Undang-Undang yang berbunyi “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ tersebut seakan tetap menjadi acuan masih hadirnya demonstrasi walaupun masih dihantam pandemi.

Demo besar-besaran yang dilakukan saat pandemi masih hangat-hangatnya bisa kita lihat saat meluasnya gerakan penolakan dan tuntutan UU Omnibus Law oleh buruh hingga mahasiswa pada Oktober 2020 lalu.

Saat itu masyarakat juga ikut menyoroti keramaian yang ditimbulkan, yang tentunya sangat bertentangan dengan social distancing yang digaung-gaungkan saat itu.

Lontaran suara keras selanjutnya ditujukan pada pemerintah pada kesempatan-kesempatan berikutnya, tak ada habisnya hingga baru-baru ini.

Sebut saja demo ultimatum mengangkat 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK menjadi ASN, hingga saat hari-hari besar tertentu seperti saat peringatan Hari Tani yang menyoroti keadilan dan kesejahteraan tani.

Reformasi memang turut membuka keran berpendapat semakin menguat. Di sisi lain, tak heran jika pro dan kontra demonstrasi saat ini muncul karena tak lepas dari adanya prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Walaupun adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat, namun situasi pandemi perlu menjadi pertimbangan.

Undang-Undang pasal 28 E ayat 3 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat seakan menjadi dilema saat mengharuskan timbulnya demonstrasi.

Tidak dilarangnya penyampaian mendapat melalui demonstrasi di masa pandemi Covid-19 saat ini menjadi kabar baik bagi masyarakat, namun tetap harus dipantau resiko penyebaran virus yang memiliki peluang yang besar untuk terjadi.

Masyarakat dari berbagai kalangan dengan nurani untuk negara tak ragu turun ke jalan walau Covid-19 seakan ikut menyatukan kekuatan. Kabar baik lainnya yakni masyarakat tak perlu meminta izin kepada pihak kepolisian untuk melakukan demonstrasi, namun cukup memberi pemberitahuan tertulis pada kepolisian, sebagaimana termaktub pada UU RI No.9 tahun 1998 pasal 10 ayat 1.

Gerakan sosial demonstrasi tak berhenti hadir di saat prokes 5M menjadi sebuah keharusan. Sesuai dengan apa yang dijelaskan Sukmana (2016) bahwa demonstrasi sebagai bentuk dari gerakan sosial baru memiliki taktik dan representasi tertentu. Dalam hal ini, maka keberanian para demonstran untuk turun ke jalan dapat ditafsirkan sebagai bagian dari unjuk keberanian menyatakan sikap melawan walaupun nyawa sebagai taruhannya.

Lebih jauh, kita bisa melompat ke belakang saat Aristoteles melontarkan pemikirannya yang mengatakan “manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya”.

Gerakan sosial demonstrasi yang merupakan wujud berpendapat yang masih hidup menjunjung keadilan dan sikap kritis. Wujud kepedulian akan kebenaran tetap harus didukung dan dipertahankan, namun dengan tidak meninggalkan keselamatan masyarakat banyak pula.

Hasrat menggaungkan kebenaran harus tidak luput dari tinjauan beberapa sisi mengingat keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Harus terus diingat bahwasanya Covid-19 tak hentinya menjadi musuh yang diperangi seluruh masyarakat, hingga dunia.

Semangat gerak juang dari gerakan sosial demonstrasi di masa pandemi masih bisa dirawat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, agar wabah yang hampir genap dua tahun menghinggapi negeri ini cepat berlalu.