Balas Karya dengan Karya Jangan Membully!!!

oleh -198 views
oleh
198 views

 Adrian Tuswandi
Komisioner Komisi Informasi Sumbar

SEBUAH keniscayaan apapun bisa menjadi literasi, di mana pun dia bisa viral karena kekuatan rangkaian kata-kata menjadi narasi dan diliterasi netizen.

Ups.. Era kekinian telah membuat siapa saja bisa menjadi penulis, menuliskan bulir karya mau viral apa tidak yang penting share ke berbagai akun platform media sosial, ada facebook, twitter dan instagram atau youtube hingga whatsapp group.

Nah, sebegitu mudah dan cepatnya sebuah karya tentu harus ada etika terhadap karya literasi diberbagai platform media sosial. Apakah menyerang tanpa ampun atau ada batasannya.

Etika Menghargai Karya atau Konten Orang Lain di Media Sosial dengan judul : Balas Karya dengan Karya, Jangan Bully!!!.

Dunia digital telah berkembang pesat melabrak batas-batas teritorial, satu karya bagus dan viral entah beberapa kali diteruskan oleh siapa saja sehingga sampai berulang kali di laman akun media sosial. kita masing-masing.

Kalau kita setuju, sip no problem, tapi kalau tidak atau apalagi menyinggung ini bisa gawat.

Meski sisi positif teknologi informasi yang maju pesat telah menyumbang banyak sumbangsih kepada dunia kreatif. Tidak jarang, seorang creator membagikan hasil kreasinya di media sosial. Ambil saja contoh dari hasil jepretan yang diunggah di Pinterest, Instagram, Facebook, dan platform digital lainnya. Dengan mudah, kita bisa mengambil foto tersebut dan mengunggah kembali ke akun kita. Fenomena ini kemudian memicu pertanyaan, apakah mengunggah kembali unggahan karya orang lain sah-sah saja? Apakah semua unggahan di platform kita harus dari karya orisinal kita sendiri? kata gabrile pada repost karya orang lain.

Ternyata comot tanpa izin karya itu tidak boleh, karya literasi di media sosial. ibarat rumah siapa yang masuk harus ketok pintu, salam dulu, jika nyelonong maka siaplah diteriakan maling.

Artinya, ada pagar api etik terhadap merepos dan mengunggah karya orang lain itu.

Pasalnya, mengunggah kembali karya orang lain adalah hal yang wajar saja dilakukan karena tidak rugikan si pembuat karya lain itu. Tapi sebagai seoramg intelektual dan calon intelektual negeri justru repos karya orang disebutkan sumbernya jauh lebih elegan dan kita dianggap sosok honesty atau jujur.

Ayo jadi insan jujur di media sosial teman, sebutkan sumber (ini etika yang paling penting dalam mengunggah kembali karya orang lain)
Mencantumkan sumber, kita sudah mengapresiasi pembuat konten.

Kedua meminta izin kepada creator,  izin atau tidak kita harus hormati. Terus ketiga selalu mengucapkan apresiasi kepada creator (pembuat konten) bisa terbuka atau lewat pesan pribadi. Cara ini bagi creator akan memberinya damoak phisikologis.

Terus sisi lain soal bulir pikir dishare di media sosial kerap menjadi chat war, bahkan dibully banyak kalangan ini sebuah budaya literasi digital yang ngeri-ngeri sedap.

Perang di media sosial apalagi kalau di mana tapahek di situ tagak pendapatnya bakal sulit ada titik temu. Ingat jari mu tanggung jawab mu akan mengantarkan mu ke balik jeruji pengab penjara ulah pencemaran nama baik dan fitnah di platform media sosial atau konten mengndung SARA.

Penulis melihat fenomena chat war mengarah ke penyerangan phisikis tentu tidak bisa dibiarkan.
Sehingga itu elegan sekali kalau balas karya literasi degan literasi sendiri, balas tulisan dengn tulisan, adu argumentatif ilmiahlah di platform media tentu lebih menarik ketimbang di ranah sosoial media kita bersitegang urat leher.

Karya literasi adalah sebuah karya sesorang dari sisi mana pun penedekatan karya itu.
Dan hak kita membalasnya dengan ide dan literatur yang kita miliki untuk mengatakan setuju atau tidak atas karya seseorang, chat war atau bully adalah budaya jelek dan berdampak negatif di era literasi digital saat ini. misalnya, karya jurnalis sering disebut men-trial by press orang.

Padahal karya jurnalis ada panduan etik jurnalisnya. Sikap penulis menengahkan soal ini satu Karya jurnalis adalah kebenaran relatif bukan kebenaran absolut berita tidak bisa menjadi dasar pemidanaan seseorang, meski berita pers pembuka pintu dilakukan penyelidikan bagi penyidik dari pihak aparatur penegak hukum. (disampaikan pada webianr series 11 September 2021)