Sebuah pesan singkat dari seorang teman di Jakarta masuk ke ponsel saya pada Jumat (27/5/2022) menjelang siang. Isinya membuat saya terperanjat: “Buya telah mendahului kita.” Buya yang ia maksud ialah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, yang akrab disapa Buya Syafii.Beberapa lama saya termenung dengan perasaan gundah gulana. Buya yang selama ini banyak berjasa dalam hidup saya telah pergi untuk selamanya.
Salah satu jasanya yang mungkin tidak diketahui banyak orang ialah bahwa Buya merupakan satu dari sedikit orang yang membuat saya bisa menduduki jabatan sebagai Wakil Wali Kota Padang.Kini sudah dua tahun Buya pergi. Akan tetapi, sosok sederhana dan bersahaja itu sering hadir dalam pikiran saya.
Banyak nasihat dan suri teladan yang ia tinggalkan. Pesan-pesan singkatnya yang tertinggal di ponsel juga masih sering saya baca.Nasihat-nasihat itulah yang selama ini kerap saya jadikan pedoman dalam memimpin roda pemerintahan di Kota Padang tercinta ini.
Meskipun namanya terkenal sebagai cendekiawan Islam, sejarawan, dan guru bangsa, Buya Syafii merupakan pribadi yang sederhana.Kesederhanaannya tidak dibuat-buat, apalagi dibuat untuk pencitraan, tetapi melekat dalam kesehariannya.
Di Jogja, tempat tinggalnya, Buya terbiasa bersepeda untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membeli obat, membayar listrik, hingga pergi ke bank.Apabila bepergian jauh, Buya naik kereta rel listrik dan menunggu kereta datang sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Kesederhanaan Buya juga tampak ketika beliau mengantre. Buya menolak jika diminta untuk tidak mangantre ketika berobat di rumah sakit, mengurus paspor, dan saat berada di bank.Buya tidak mau diistimewakan dan menolak untuk mengantre berdasarkan nomor urut antrean.Padahal, sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah, kalau mau, Buya bisa mendapatkan perlakuan istimewa karena beliau orang yang dihormati.Namun, Buya memilih bersikap sederhana dan egaliter.
Sepanjang hidupnya, Buya selalu memposisikan diri dengan tegas, baik pemikiran maupun sikap, terhadap bahasan Islam, demokrasi, dan pluralisme. Konsekuensinya, tentu akan ada pihak yang melabelinya sebagai tokoh ”liberal”.Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sikap dan pemikirannya itu ditujukan untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia agar tidak terpecah belah oleh masalah SARA.
Hal tersebut tergambar dalam tulisan Buya pada bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: “Agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama, jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri, rakus, dan buta peta. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan bertanggung jawab.”Terhadap Sumatera Barat, Buya juga selalu menunjukkan kepedulian. Baginya, kampung halamannya ini bisa maju apabila para pemimpinnya merupakan orang-orang yang peduli dengan rakyat.
Itulah sebabnya pada setiap pemilihan kepala daerah, Buya kerap mengambil peran, termasuk dengan mendorong Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mencalonkan saya pada Pemilihan Wakil Wali Kota Padang pada Rabu (5/4/2023). Kebetulan saya juga kader Muhammadiyah.Kala itu Buya berpesan, “Nanti jika sudah terpilih, cuma satu hal yang Buya minta: Tolong betul-betul bela rakyat kecil. Ekos harus terus berbuat. Hidupkan hati nurani. Hidupkan budi pekerti. Hidupkan rasa keberpihakan kepada orang miskin.”
Editor : Adrian Tuswandi, SH