Jakarta,---Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso menyebut ada sejumlah kekhilafan hakim pada putusan kasus korupsi mantan Bupati Kabupaten Tanah Bumbu Mardani H. Maming.
"Kesimpulan yang dapat ditarik pada intinya adalah, putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata," kata Topo dalam keterangannya diterima media ini Jumat 18/10-2024.
Menurut Topo, ada tiga isu hukum utama yang menjadi dasar kekhilafan tersebut. Pertama unsur 'menerima hadiah' tak tepat.
"Karena fakta-fakta yang dengan proses bisnis dan keperdataan seperti fee, dividen, dan hutang piutang ditarik seolah-olah sebagai keterpenuhan unsur 'menerima hadiah'. Hal ini lebih merupakan konstruksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diterima oleh hakim," ujarnya.
Isu kedua yakni penggunaan unsur 'sepatutnya diduga' yang juga tidak tepat. Sebab, kata dia, unsur 'sepatutnya diduga' digunakan untuk menunjukkan culpa (kealpaan) terdakwa. Namun, Topo menyebut unsur ini tidak tepat diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi, yang seharusnya lebih menekankan pada opzet (kesengajaan).
Kata Topo, tindakan terdakwa yang melahirkan Keputusan Bupati dinilai telah sesuai dengan hukum administrasi negara. Karenanya, tidak seharusnya hal ini dipersoalkan dalam ranah hukum pidana."Fakta-fakta bisnis seperti transfer antar perusahaan atau utang-piutang merupakan ranah keperdataan yang harus dipisahkan dari tindak pidana," ucap dia.
Apalagi, lanjut Topo, juga ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan bahwa itu adalah murni bisnis antar perusahaan.
Dengan demikian, menurut Topo, jika ada kontrak dan putusan pengadilan, maka tidak bisa dikatakan sebagai 'kesepakatan diam-diam'.
Kemudian, isu terakhir adalah kesalahan dalam penerapan pasal 12 Huruf b UU PTPK. Di mana Majelis Hakim pada tingkat pertama, yang keputusannya diperkuat oleh pengadilan banding dan kasasi, keliru dalam menyatakan terpenuhinya semua unsur pada Pasal 12 huruf b UU PTPK.
Editor : Redaksi