BLT Cash?

oleh -628 views
oleh
628 views
Prof Elfindri (foto: dok/google-matanurani.com)

Oleh : Elfindri

BANTUAN Langsung Tunai (BLT) merupakan satu dari beberapa skema bantuan diberikan kepada masyarakat miskin akibat kondisi internal dan eksternal yang tidak menguntungkan.

Bisa karena krismon (krisis moneter) atau terdampak wabah covid-19.

Bermula Bank Dunia melansir program ini ketika pasca krismon 1998.

Mereka yang menjadi sasaran adalah keluarga 20 persen terendah penghasilannya.

Kemudian dinaikan ke atas yang hampir miskin sehingga bisa mengkover sekitar 40 persen masyarakat tergolong paling rendah penghasilannya.

Inisiasi awal yang dilakukan adalah dengan menginjeksi daya beli mereka, kemudian akibat bantuan itu kelompok miskin mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.

Kemudian dengan adanya permintaan bentukan “captive demand” akan menstimulasi efek akselerasinya.

Dampaknya adalah penerima bisa bertahan untuk hidup. Dan tidak lebih buruk keadaanya dari kondisi sebelumnya.

Besaran BLT biasa setinggi garis kemiskinan daerah, rentang sekitar Rp 450 ribu mimimum dan Rp 600 ribu rentang atas per orang per bulan.

Masalahnya yang klasik ada empat.

Pertama adalah mereka yg menjadi target. Dalam penentuannya muncul kesulitan biasa antara mereka dekat miskin dengan setengah miskin sulit diberdakan.

Apalagi dalam sebuah desa atau komunitas. Ditambah ketidak jujuran petugas yang bisa memasukan sekitar 10-15 persen dari kenalan mereka atau diri mereka yang seharusnya tidak berhak.

Kajian kami tahun 2000 di Sumbar menemukan hal demikian.

Kedua adalah BLT jika diberi dalam bentuk tunai baik kalau kepala keluarga tidak merokok. Jika kepala keluarga merokok, maka sekitar 20 persen dari BLT akan dibelikan pada rokok.

Apalagi BLT dibagikan kepada kepala keluarga.

Masyarakat di mana dominasi dari kepala keluarga tinggi dalam ambil keputusan, maka mereka tidak akan mendiskusikan penggunaan uang dengan istrinya. Sebagai akibat tergerus pemanfaatan dana menjadi melenceng.

Ketiga para penerima BLT kembali berharap ketika terjadi hal yang sama mereka menaruh ketergantungan tinggi terhadap bantuan pemerintah.

Oleh Banerjee dkk 2018. Ditemukan mereka banyak yang malas “make them more lazy”. Karena program yang sama membuat jam kerja mereka justru berkurang.

Keempat adalah bukan tidak mungkin belanja yang terjadi bukan pada hal yang pokok. Misalnya dengan uang tertentu yang dibelanjakan bukan kepada keperluan utama.

Apalagi dampaknya terhadap produk lokal. Misalnya vocher hp, bedak dan lainnya. Oleh karenanya BLT tidak lagi laris dengan sistem tunai.

Lebih baik sistem voucher, di mana ada penunjukan toko setempat untuk menggantikan voucher dengan keperluan pokok lainnya. Semi BLT tetap akan laris dibandingkan dengan BLT penuh.

Sekarang yang menjadi masalah adalah pemerintah hanya berharap dari program mereka saja.

Padahal masih ada cara lain yg juga penting adalah bantuan dari partisipasi masyarakat. Ini belum digarap baik.

Dengan demikian yang sangat perlu adalah menyisir kelompok keluarga miskin, agar dapat dipastikan sasaran yang benar.

Jika tidak sasaran akhirnya dibagi sama banyak dari dana yg tersedia, sepanjang mereka setuju. Itupun perlu diambil kesepakatan terakhir di desa.

Akternatif lainnya adakah food bank bersyarat. Sediakan makanan bahan pokok lauknpauk; kemudian minta penerima bantu bersihkan pekarangan rumah atau got got.(analisa)