Catatan Benni Okva: Senja Raya Senopati dan Manipulatif Politik Kita

oleh -2,078 views
oleh
2,078 views

SENJA RAYA rebah di Ibu Kota. Senja itu seperti biasa, Jakarta macet parah. Maklum, jam pulang kerja. Saya terjebak ularan kendaraan itu di Senopati, bilangan Jakarta Selatan. Ini jalan fenomenal bagi kawula muda. Segala ada: entah yang buruk, entah kebaikan.

Saya berangkat ke Senopati dari Gondangdia. Janjian. Bersua kawan-kawan lama yang kini sedang berkelindan dalam pergulatan politik. Mereka bertiga. Ketiganya jadi orang-orang behind the scane dalam helatan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang kian meruncing. Tajam. Mulai melukai. Bahkan tak alang, bisa memakan tuannya sendiri.

Pertemuan kami di lantai dua kafe eksotis yang berada di persimpangan strategis. Kafe yang setiap yang masuk harus meninggalkan ponsel di resepsionis. Tak ada rekaman, tidak boleh berfoto-foto ria. Orang-orang yang datang biasanya membicarakan hal-hal sensitif. Tentu harus ada jaminan percakapan mereka terjaga.

Saya disambut kerenyahan tawa. Hal yang tak berubah setelah hampir empat tahun tidak bersua. “Bung Bhenz, bagaimana Padang? Masihkah rendangnya pedas,” ucap satu dari tiga kawan. Saya terbahak, walau tahu itu sindiran tajam. Sindiran yang juga pernah dilontarkan Presiden Jokowi pada seorang kepala daerah beberapa tahun lalu.

Empat tahun lalu, kami bertiga berada dalam satu gerbong. Sama-sama berjuang untuk satu arah. Saya mengurusi sebagian Sumatera, kawan bertiga ini menguasai Jawa. Kerjaan yang masih di jalur politik. Tentu tak bisa saya ceritakan signifikan apa yang kami kerjakan.

Pada pertemuan inilah saya tahu kalau ketiga kawan ini sekarang tak lagi di gerbong yang sama dalam urusan politik. Khususnya dalam proses pencapresan. Jalan mereka bersimpang. Tiga pasangan capres-cawapres yang muncul, mereka ada satu-satu.

Tapi apakah mereka ribut? Tidak! Mereka musuhan? Sekali lagi tidak. Malah semakin enjoy, semakin hangat. Prinsipnya, pilihan bisa saja berbeda, persahabatan tak boleh lekang oleh politik.

Terkadang, mereka harus beradu tanduk strategis, berdebat hingga subuh buta, bahkan membangun barisan yang siap berhadap-hadapan. Tapi mereka tak berubah, baik sikap, tingkah atau perbuatan. Politik cuma selingan untuk melanggengkan kepentingan masing-masing. Politik mau tidak mau, harus diakui sebagai perebutan kekuasaan. Mereka ada di barisan perebutan tersebut. Ring satu.

Pertemuan kami membicarakan banyak hal. Kebanyakan sensitif. Bagaimana pergulatan agar calon-calon yang hadir sesuai skenario, bagaimana mereka meletakkan kepentingan di masing-masing calon. Tentunya beberapa hal tidak bisa saya jabarkan di tulisan ringan ini.

Satu hal yang pasti: Ketiganya beda koridor, tapi satu kepentingan. Kalau antara ketiganya kalah, mereka akan aman. Kaki mereka tertanam di masing-masing calon penguasa. Dua kalah, satu membantu. Mereka aman, karena sudah ada di setiap pos. Inilah permainan sesungguhnya, tak ada istilah menang jadi arang kalah jadi abu. Siapapun nanti yang duduk di singgasana, ketiganya selamat. Tak saling bunuh, tapi menanam.

Politik semata motif, terkadang manipulatif. ini soal kepentingan semata. Apapun itu, tujuan sesungguhnya politik ialah kekuasaan. Tak ada yang lain. kalau nanti berujung, tentu hitungannya sistematis. Ketiga kawan saya sangat paham dengan hitungan-hitungan ini. Itu makanya mereka berembuk.

Motif politik inilah yang penjabarannya tidak dipahami secara utuh oleh publik. Para awam politik. Ketika para elit menghitung untung rugi dalam helatan politik, publik malah terjebak dalam resonansi kebencian, saling tumbuk demi membenarkan kalau calon yang jadi pilihan mereka benar dan layak.

Ketika pertengkaran, perselisihan bahkan kebencian menguar di tengah konstituen, mereka sedang cekikan sambil menyantap makanan di satu meja. Mereka cekikan bareng menyaksikan kelucuan yang terjadi, sembari membagi dan mengkapling ruang-ruang kosong yang nanti akan ditinggali setelah pesta usai.

Motif politik yang dijalankan terbiasa berujung manipulatif. Dua ini, motif dan manipulasi tak terpisahkan dalam perjalanan politik. Bagaimana jua, manipulatif adalah pakaian para politisi yang dikenakan ketika berhadapan dengan publik. Tujuannya tentu menciptakan persepsi, kalau-kalau calon-calon memang benar-benar merakyat, benar-benar layak memimpin negeri.

Lihat saja, berapa banyak kita menemukan perilaku menggelikan. Tiba-tiba saja ada yang nyambi jadi petani, turut serta ke sawah, menanam padi, memikul gabah, karung beras. Tiba-tiba memakai kerudung. Ada juga yang masuk ke dalam selokan tanpa tujuan jelas. Hal-hal yang sesungguhnya tak berkaitan dengan kinerja sebagai pemimpin.

Ada juga politisi yang tiba-tiba bersikap rendah hati, rela tidur di rumah dhuafa demi membangun citra. Belum lagi yang rela berjoget meskipun tanpa musik. Ini semua adalah manipulatif yang tujuannya menciptakan persepsi publik.

Manipulasi politik demikian menghasilkan pemimpin yang machiavellianisme. Pemimpin yang cenderung memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Kaum machiavellianisme terbiasa memanipulasi pikiran. Apa yang terhidang begitu menggiurkan, belum tentu terasa enak. Acapkali bentuk tidak bisa merepresentasikan rasa sesungguhnya.

Dalam bidang psikologi kepribadian, Machiavellianisme adalah ciri kepribadian yang ditandai dengan manipulasi interpersonal, ketidakpedulian terhadap moralitas, kurangnya empati, dan fokus strategis pada kepentingan diri sendiri.

Pertanyaannya, kenapa hal itu terjadi? Apakah karena mereka menyadari para pemilih mereka adalah orang-orang yang kurang cerdas yang tidak akan memahami visi-misi dan program kerja yang akan dibawa? Atau memang mereka menyadari betapa awamnya masyarakat kita yang percaya dengan segala tipu daya?

Inilah yang sekarang dihidangkan tiga kawan yang sekarang ada dihadapan saya ini. Mereka adalah kreator manipulatif. Terlibat dalam menciptakan sosok-sosok politisi machiavellianisme yang kadang harus ambivalen. Politisi yang siang kepalanya jadi ekor, dan malam sebaliknya. Merekalah yang menghidangkan sosok-sosok calon pemimpin pada publik, calon yang pada akhirnya dipuja-puji, bahkan sampai menimbulkan perselisihan.

Lalu, apakah kawan saya ini salah? Dalam garisan politik, salah benar itu berada di garis abu-abu. Kepentinganlah yang membuat semuanya absolut. Jika kepentingan tercapai, maka benarlah. Kalau salah, ada yang mesti diubah. Modal mereka adalah kenaifan politik para awam.

Manipulasi bagian tak terpisahkan dari rentak politik. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai seni pergerakan. Tapi tentu, rakyatlah yang menentukan. Apakah menerima para machiavellianisme, atau kembali ke kittah, menjadikan politik sebagai ruang perubahan. Tak seperti sekarang, politik jadi ruang menguar kebencian, dendam dan kesumat. Alangkah sedihnya bangsa ini.

2024 sudah di depan mata. Pemilu sebentar lagi tiba. Sorak sorai terdengar nyaring. Inilah masanya, apakah kita kembali terjebak pada manipulatif politik, atau bisa kembali memberi ruang untuk kejernihan berpikir, lalu membangun politik yang beradab, yang mengedepankan gagasan dibandingkan kericuhan, yang mengemukakan perkawanan dibanding permusuhan.

Demikianlah, malam telah rebah, Senopati penuh cahaya. Saya mengakhiri perbincangan dengan tiga kawan saya dengan satu keyakinan, bahwasanya politik manipulatif cuma bisa dilawan dengan politik gagasan. Politik yang mengemukakan rasa dan adab dibandingkan semata kekuasaan. Gagasan yang pada akhirnya membawa kita pada pelabuhan baru yang penuh kegemilangan. WASSALAM (*)