Celaka Putusan MK

oleh -1,794 views
oleh
1,794 views
Donal Fariz (foto: google)
Donal Fariz (foto: google)

Oleh :  Donal Fariz
Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ Andalas

RAME– rame bergumam setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perkara uji materil tiga pasal di KUHP ( zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis). Tudingan lebih sarkas ditujukan kepada sejumlah Hakim Konstitusi, satu di antaranya, Prof Saldi Isra.

Sesungguhnya bukan putusan MK yang celaka. Tapi menyebarkan kabar tidak benar sehingga menimbulkan kesesatan bagi banyak orang, disitulah celakanya.

CELAKA PERTAMA
Ternyata banyak yang belum membaca putusan dan memahami kewenangan MK. Apakah Anda termasuk salah satunya ? Semoga tidak.

Adalah sangat naif jika tidak membaca putusan dan memahami kewenangan MK tapi rajin dalam menyebarkan berita tidak benar.

Penting dipahami, pemohon dalam perkara tersebut meminta MK untuk memperluas dan menambahkan sejumlah perbuatan menjadi kategori pidana di dlm KUHP ( zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis).

Dalam teori pidana disebut kriminalisasi ( sebuah perbuatan yang awalnya bukan pidana, menjadi tindak pidana). Pertanyaan besar yang kemudian harus dijawab, apakah MK berwenang melakukannya ?

Mari kita buka UUD. MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yakni :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)

MK itu negative legislator yang membatalkan sebuah pasal jika bertentangan dengan UUD. Juga sebagai penafsir ( the sole interpreter ). Tidak ada satupun kewenangan bagi MK untuk menambahkan sebuah pasal/ norma, sebab itu kewenangan pemerintah dan DPR yang menjalankan fungsi legislasi/ pembentukan aturan.

Di sini terjadi pemisahan kekuasaan antar lembaga negara. Maka sangat wajar MK menolak permohonan tersebut karena tidak berwenang menambahkan norma/jenis- jenis tindak pidana baru dalam KUHP.

CELAKA KEDUA
Terjadi karena sebagian lebih menikmati jebakan membaca broadcast hoax dibanding membaca lansung putusan dan memahami kewenangan MK. Padahal internet menyediakan miliaran informasi yang bisa diverifikasi.

Alhasil isunya ditarik ke agama, etnis yang sesungguhnya tidak memiliki relevansi lansung dengan perkara.

Tudingan kepada para hakim konstitusi mirip dengan sebuah analogi jika ada kasus pembunuhan dibawa ke Pengadilan Agama dan hakim Pengadilan Agama menolaknya, karena menolak perkara pembunuhan, hakim itu dituding pro pembunuhan. Bagi yang memahami aturan, wajarlah hakim pengadilan agama menolaknya, karena itu kewenangan pengadilan umum. Tapi sebagian terlajur celaka karena lebih menikmati membaca informasi tidak benar ketimbang mempelajarinya.

CELAKA KETIGA
Ada sebagian yang bertanya, kok Hakim MK tidak klarifikasi. Ya jelas tidak, karena kode etik melarang hakim mengomentari putusan yang mereka buat.  Hakim itu berbicara melalui pertimbangan-pertimbangan dan putusan yang ada dalam satu bundle.

Jadi bukan Putusan MK yang celaka, tapi salah memahami lah yang membuat celaka seperti beragama tanpa berilmu. Maka kita disuruh Iqra, bacalah…(analisa)