Dana Desa Diyakini DPD RI Mangkus Tekan Dampak Covid-19

oleh -418 views
oleh
418 views
Video conference Komite I DPDRI dengan pakar bahas dana desa untuk dampak Covid-19, Selasa 21/4 (foto: dok/setjen)

Jakarta,—Komite I DPD RI, dengan video conference gelar Rapat Dengar Pendapat Umum RDPU) dengan sejumlah pakar seperti Dr. Arie Sudjito, dosen Sosiologi Fisip UGM dan Pendiri IRE Yogya serta Board of Director Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Rohidin Sudarno, Selasa 21/4.

Ketua Komite I DPD RI, Dr Teras Narang memimpin jalannya RDPU, mengatakan dengan diterbitkannya Permendes 6 tahun 2020 tentang Perubahan Permendes nomor 11 tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2020 menunjukan bahwa Kemendes PDTT telah banyak sekali mengeluarkan beberapa peraturan dan inilah yang menjadi masalah.

“Dari terbitnya Permendes 6/2020, Sepertinya Kemendes PDTT melakukan business as usual, padahal ini bencana Covid–19 ini kejadian luar biasa, harusnya diberi kemudahan bagi desa, harusnya tangani desa dengan memperhatikan kearifan lokal dan latar belakang geografis masing-masing desa. Ini kejadian luar biasa, maka semua program pemerintah termasuk dana desa yang akan digunakan menanggulangi Covid–19 harus betul–betul memperhatikan kecepatan. Ini soal penyaluran dana desa tahap pertama saja belum 100 persen desa mendapatkan dana desa, misalnya di Kalteng yang baru sebagian desa menerimanya,”ujar mantan Gubernur Kalteng dua periode ini.

Dalam pemaparannya dihadapan Pimpinan dan Anggota Komite I DPD RI, Sosiolog Dr. Arie sudjito menjelaskan bahwa hipotesisnya secara sosiologis, ancaman Virus Corona ini akan menciptakan soliditas dan akan bersatu mengatasi masalah desa secara bersama-sama. Terkait penggunaan Dana Desa yang dikonversi dalam Bantuan Langsung Tunai (BLT), Arie mempunyai hipotesis bahwa akan membantu mengatasi kerentanan dan menjadi jalan strategis jangka pendek–menengah. Namun demikian, jika tidak dikelola dengan baik, BLT Dana Desa ini akan menciptakan masalah dan dan ketegangan perebutan resources.

Arie menambahkan, ada beberapa risiko negatif akibat virus corona di Desa, antara lain ketegangan, kecurigaan, distrust; kemerosotan ekonomi melahirkan kesenjangan sosial; potensial dan aktual konflik dan kekerasan; kriminalitas; menerjemahkan physical and social distancing secara berlebihan sehingga menimbulkan distorsi; dan provokasi menciptakan ekslusi sosial seperti berbagai kasus yang terjadi selama ini diantaranya penolakan pemakaman, penutupan akses dan tindakan yang kontraproduktif.

Karena itu, lanjut mantan Tim ahli penyusunan UU Desa ini, semua regulasi dibawah UU Desa yang digunakan sebagai payung hukum pelaksanaan Dana Desa untuk menanggulangi Covid-19 harus dikawal bersama mengingat ini situasi darurat.

“Semua pemangku kepentingan harus kawal penggunaan dana desa untuk Covid–19. Bagaimana cara mengawalnya? Ungkapkan pengalaman yang baik, tidak harus mengungkap kasus–kasus buruk. Soal regulasi ini, saya sepakat ini harus ada sinkronisasi yang menjadi concern kita bersama, itu penting. Ini situasi darurat justru regulasi harus simpel dan akuntabel dengan prinsip trust. Percayakan semua ke desa, dengan demokrasi dan partisipasi mereka akan berperan dengan baik”, ungkap Arie.

Terkait kebijakan BLT Dana Desa, Arie mengatakan komitmen Pemerintah untuk membantu dan mengatasi kerentanan desa dengan memanfaatkan Dana Desa menjadi bantuan langsung tunai (BLT) tentu dipahami sebagai situasi darurat, relevan dengan kondisi masyarakat desa yang terdampak pandemi virus corona.

“Konversi Dana Desa menjadi BLT ini kuncinya adalah pada komitmen, integritas dan pengawasan publik”, tegasnya.

Arie meminta, yang harus dikawal adalah birokratisasi pemerintah kabupaten itu haruslah membantu desa, jangan mempersulit. Selain itu, lanjutnya, komite I DPD RI harus membuat pemerintah dalam hal ini Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu membuat komitmen dengan BPK dan BPKP agar tidak terjadi permasalahan hukum yang menjerat perangkat desa dikemudian hari.

“Pengawasan situasi seperti ini tidak harus rigit. Saya berharap Komite I DPD RI bersuara memberi rekomendasi strategis utuk mempersingkat rantai penyaluran dan maksimalkan pengawasan dibawah. Fokus kita semua harus pada pada penyelematan desa”, ujarnya.

Sementara itu, Rohidin menjelaskan ada beberapa potensi masalah atas penggunaan Dana Desa khususnya untuk BLT. Pertama, soal Silpa. Menurutnya, sangat dimungkinkan terjadinya SILPA yang menumpuk di Desa dari prosentase alokasi Dana Desa untuk BLT yaitu kisaran 25%-30% dan 35% yang tidak terserap khususnya pada Tahap I karena menunggu data warga miskin yg belum fix.

Kedua, di tingkat Pemda. Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota akan terus berupaya melakukan sinkronisasi Data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dengan menambahkan “kriteria lokal” guna menutupi “kuota” BLT. Sehingga kemungkinan akan terjadi variasi data atas kriteria lokal antar daerah/propinsi dan pulau, dampaknya angka kemiskinan bisa “membengkak”.

Ketiga, lanjut Rohidin, ditingkat Desa khusus BLT. Desa dengan Penduduk Besar, penduduk yang belum tercover PKH, BPNT yang masih besar akan menimbulkan beban bagi Pemdes karena kuota Dana Desa juga terbatas, potensi rawan “gesekan” apalagi pasca Pilkades. Meskipun ada alternatif diajukan ke Pemda, namun proses dipastikan agak lama. Kemudian desa dengan Penduduk lebih kecil, tetap akan kesulitan memenuhi 14 Kriteria / 9 kriteria dan diluar penerima bantuan.

“Potensi masalahnya adalah bagi rata semua warga desa”, ujarnya.

Keempat, selain potensi “gesekan” di tingkat desa, korupsi dan Penyalahgunaan Penggunaan adalah potensi terbesar dalam penyaluran BLT apabila perangkat pendukung, mekanisme dan pengawasan belum memadahi.

Sejumlah anggota Komite I DPD RI yang mengikuti RDPU ini, diantaranya Fachrul Razi (Wakil Ketua, dapil Aceh), Dr. Abdul Kholik (Wakil Ketua, Jateng), Leonardy Harmainy (Sumbar), Ahmad Bastian (Lampung), Lili Amelia (Sulsel), Ahmad Nawardi (Jatim), Martin Billa (Kaltara), Sukisman (NTB), Habib Ali Alwi (Banten), Abraham Liyanto (NTT), Ratu Hemas (DIY), M. Syukur (Jambi), Badikenita Sitepu (Sumut), Dokter Dewa Putu (Sultra), Otopianus P. Tebai (Papua), amang Syafruddin (Jabar), Intsiawati Ayus (Riau), Jialyka Maharani (Sumsel), Abdul Rachman Thaha (Sulteng), Maria Goreti (Kalbar) dan Richard H. Pasaribu (Kepri), kesemuanya mempersoalkan beberapa hal yang hampir sama yang menjadi temuannya di dapil masing – masing.

Persoalan tersebut antara lain banyak desa di Dapilnya masing–masing yang sejauh ini belum menerima Dana Desa tahap pertama sehingga sangat menghambat penggunaan Dana Desa oleh pemerintah desa untuk menanggulangi Covid–19. Selain itu, dari temuan langsung dilapangan di masing–masing dapil, mereka mendesak pemerintah untuk melakukan percepatan penyaluran dan pencairan dana desa terutama yang akan digunakan untuk BLT.

“Masalah sekarang ini perlu adanya percepatan dana desa, maka para pemangku kebijakan harus bisa menerobos regulasi dan birokrasi hukum”, ungkap Ahmad Bastian yang berasal dari Dapil Lampung.

Soal lainnya yang dipermasalahkan sejumlah anggota Komite I DPD RI dalam RDPU ini adalah terkait regulasi dibawah UU Desa yang menjadi payung hukum bagi aparatur pemerintah desa menggunakan dana desa untuk Covid–19. Komite I DPD RI mendesak ada kepastian regulasi yang sesederhana mungkin mengatur mulai dari perencanaan, penggunaan dan pelaksanaan sampai pada pertanggungjawaban agar tidak menjadi masalah hukum yang menjerat pemerintah desa dikemudian hari.

Untuk menindaklanjuti RDPU ini, Komite I DPD RI akan menggelar Rapat Kerja lewat video conference dengan memanggil Menteri Desa PDTT pada Rabu (22/4) dan Menteri Dalam Negeri pada Senin (27/4) yang akan datang.(setjen)