DJUANDA: Seorang Insinyur yang Menjadi Pahlawan Nasional

oleh -713 views
oleh
713 views
Ir Djuanda (dok)

Oleh: AISYAH NURHANIZA 

Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB UNAND-

MATA UANG rupiah memuat banyak gambar tokoh, salah satu yang menarik perhatian ialah tokoh dalam uang pecahan Rp50.000,00 yakni Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.

Beliau merupakan seorang negarawan, administrator dan teknokrat yang mendeklarasikan sebagian hidupnya untuk mengabdi pada bangsa dan negara.

Hal ini dibuktikan dengan diangkatnya beliau sebagai pahlawan nasional pada tahun 1963 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244 oleh Presiden Soekarno. Selain itu, nama beliau juga diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota besar Indonesia dan juga diabadikan sebagai nama Bandara Kota Surabaya.

Melalui pengangkatan ini, seolah menggambarkan betapa besar peran serta perjuangannya untuk Indonesia sejak masa penjajahan Kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan.

Latar Belakang Keluarga

Berdasarkan keterangan dalam buku “Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat Utama” yang disunting oleh Awaloedin Djamin, dijelaskan bahwa Ir. H. Djuanda Kartawidjaja atau yang lebih dikenal dengan Djuanda lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 14 Januari 1911. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Raden Kartawijaya dan Nyi Monat. Ayahnya merupakan mantri guru di HIS, yaitu sekolah dasar berbahasa Belanda bagi anak-anak bumiputra.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa Djuanda lahir dari keluarga yang terhormat dan terpelajar, melalui profesi ayahnya sebagai seorang guru. Waktu itu, kedudukan sosial guru dalam masyarakat baik di desa maupun di kota sangat mulia dan terpandang, karena pengabdiannya memajukan dan mencerdaskan anak-anak rakyat. Pada saat kelahirannya, Indonesia sedang memasuki fase-fase awal pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan, dimana terjadi perubahan bentuk perlawanan dari perlawanan fisik menjadi perlawanan secara diplomatis.

Beliau termasuk ke dalam tokoh yang berjuang melalui jalur diplomatis lewat berbagai peran dan pemikirannya di lembaga pemerintahan.

Masa pendidikan

Kehidupan masa kecil dan remaja Djuanda, dihabiskan dengan berpindah-pindah tempat dari Tasikmalaya ke Kuningan dan Cicalengka di Jawa Barat. Sepanjang pendidikannya dihabiskan di beberapa sekolah yakni HIS, ELS, HBS dan THS. Djuanda tumbuh dalam didikan dan arahan ayahnya, sehingga mampu sukses menempuh jenjang pendidikan tinggi, yang di kemudian hari akan membawa beliau menjadi seorang tokoh nasional. Sebagai anak dari seorang guru, beliau memiliki kepribadian dan karakter pendiam yang diwarisi dari ayahnya, sifat ini akhirnya terbawa hingga masa tuanya. Memasuki tahun-tahun sebagai mahasiswa, Djuanda diterima di Technische Hoge School (THS) Bandung pada tahun 1929.

THS memiliki kedudukan akademis yang tinggi di mata kaum intelektual Belanda maupun Indonesia. Lulusannya akan bergelar Insinyur dan pekerjaan sebagai Insinyur memiliki derajat tinggi dalam pandangan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, ayahnya sangat berharap beliau dapat diterima di sana, karena akan mendapat jaminan kehidupan yang layak.

Ketika Djuanda menjadi mahasiswa, masa pergerakan semakin meningkat dengan dicetuskannya persatuan nasional melalui Kongres Sumpah Pemuda. Namun, pada awalnya beliau belum aktif dalam mengikuti pergerakan tersebut. Djuanda lebih memusatkan perhatiannya terhadap masalah kemasyarakatan, terutama rakyat sunda.

Beliau kemudian masuk dan menjadi anggota aktif organisasi Indonesische Studenten Vereniging (ISV), hingga akhirnya pada tahun 1930 terpilih menjadi ketua ISV. Jabatan sebagai ketua ISV adalah capaian tertinggi Djuanda dalam berorganisasi sebagai seorang mahasiswa. Hingga pada tahun 1933, di usia yang ke 22 tahun, harapan ayahnya agar beliau menjadi insinyur dapat terwujud dengan lulus menjadi sarjana dan berhak menyandang gelar civil ingenieur (Ir).

Memasuki Dunia Kerja

Selepas tamat perkuliahan ditahun yang sama, sebelum memasuki dunia kerja Djuanda memilih untuk berumah tangga terlebih dahulu. Hal ini beliau wujudkan dengan mempersunting Julia seorang guru Frobel Kweekschool (sekolah taman kanak-kanak keluarga) di Bandung.

Pada tahun 1933, dunia sedang dilanda krisis ekonomi Malaise yang membuat para insyinyur muda kesulitan dalam mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Hingga akhirnya di tahun 1934, Djuanda diterima sebagai guru AMS dan Kweekschool Muhammadiyah di Jakarta.

Tidak lama kemudian, beliau diangkat sebagai direktur sekolah tersebut. Pada masa jabatannya, Djuanda menghadapi berbagai tekanan dari pemerintah Kolonial Belanda yang mengawasi dengan ketat sekolah-sekolah swasta, karena dicurigai sebagai ajang untuk propaganda politik melawan pemerintah.

Pada tahun 1939, beliau mulai meletakkan jabatan sebagai direktur AMS dan mendapatakan pekerjaan sesuai dengan latar pendidikan sebagai insinyur pada Provinciale Waterstaat (Jawatan Pengairan) Provinsi Jawa Barat.

Menjadi Pejabat Pemerintahan

Pertemuan Djuanda dengan dunia pergerakan nasional dan kehidupan politik, dimulai dengan keterlibatan beliau dalam organisasi orang-orang sesukunya, yakni Pagoejoeban Pasoendan (PP) di tahun 1934. Melalui organisasi inilah, beliau dapat berkenalan dengan cita-cita partai dan para pemimpinnya, serta dapat menjajaki politik pemerintahan Kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Djuanda diangkat sebagai kepala Djawatan Kereta Api RI, tepatnya pada tanggal 23 Januari 1946. Periode inilah, yang menjadi awalan karier Djuanda sebagai pemimpin dalam pemerintahan. Jabatan dalam perkeretaapian tersebut merupakan hal yang baru bagi Djuanda, sebab beliau ditugaskan pemerintah untuk mengatur kembali perkeretaapian yang sejak zaman Jepang kacau dan sangat menyedihkan.

Tidak lama kemudian, Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Sjahrir II di tahun 1946. Setelahnya, berturut-turut dalam beberapa kabinet diangkat sebagai menteri yakni pada Kabinet Hatta tahun 1946 sebagai Menteri Perhubungan merangkap Menteri Pekerjaan Umum. Kemudian pada Kabinet RIS tahun 1949 diangkat sebagai Menteri Kemakmuran, dan pada Kabinet Natsir tahun 1950 kembali menjabat sebagai Menteri Perhubungan.

Setelah itu dalam dua kabinet selanjutnya, yakni Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan Kabinet Burhanuddin Harahap beliau tidak dimasukkan sebagai anggota kabinet. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II tahun 1957, barulah diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Perencanaan. Selama masa hidupnya, Djuanda satu kali menduduki jabatan menteri muda dan empat belas kali menduduki jabatan menteri dengan rincian sekali sebagai Perdana Menteri dan tiga kali menjadi menteri pertama, dalam 17 kabinet hingga tahun 1963.

Begitu banyaknya jabatan menteri yang dipegang, membuat pers pada masa itu memberikan beliau julukan sebagai “Menteri Marathon”, sebagaimana yang diwartakan oleh Harian Merdeka tanggal 8 November 1963, karena hampir terus-menerus sejak tahun 1946 hingga 1963 duduk dalam kabinet.

Selama menduduki pos-pos kementerian, beragam masalah beliau coba atasi dan benahi.

Pertama, pada saat menjabat sebagai Menteri Perhubungan, beliau mencoba mengatasi permasalahan perhubungan darat terutama kereta api, karena melihat adanya kemungkinan perang maka diputuskan untuk memindahkan Balai Besar KA dari Cisurupan ke Gombong dan Kebumen. Kedua, saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, beliau ditugaskan untuk mengatur ekonomi negara agar sejalan dengan program kabinet, serta harus berusaha agar jutaan rakyat Indonesia mendapat pangan, sandang dan perumahan yang cukup.

Hal itu merupakan tugas yang sangat berat, karena masyarakat saat itu terkena dampak akibat perang yang berkepanjangan melawan Belanda sehingga perekonomian sangat terganggu. Ketiga, saat menjabat kembali sebagai Menteri Perhubungan, beliau berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi perkembangan pelayaran umum, pelayaran niaga dan pelayaran laut. Sementara itu, pada perhubungan darat melakukan nasionalisasi perusahaan kereta api milik Belanda SS/VS dan melakukan peremajaan armada kereta api.

Setelah sekian lama berkecimpung sebagai menteri, akhirnya pada tanggal 8 April 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Djuanda sebagai Perdana Menteri yang baru, menggantikan Ali Sastroamidjojo. Beliau kemudian membentuk kabinet baru, bernama Kabinet Karya. Saat periodenya sebagai Perdana Menteri, terjadi peristiwa pergolakan di beberapa daerah. Pergolakan-pergolakan tersebut beliau coba redam, dengan berkeliling daerah sebagai dasar awal normalisasi keadaan. Hingga akhirnya, beliau mengeluarkan keterangan akan diadakannya Musyawarah Nasional (Munas) untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan jiwa persatuan dan persaudaraan, demi terciptanya pernyataan bersama yang akan membawa perdamaian antara pusat dan daerah.

Tetapi, semua itu buyar akibat adanya ultimatum dari Dewan Banteng agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri, sehingga kerukunan yang tadinya telah tercipta kembali berada diambang perpecahan. Djuanda sebagai seorang pemimpin pemerintahan, yang telah berjuang bersama dalam membangun bangsa serta negara, merasa sedih dan prihatin akan kondisi negara tercintanya. Hingga akhirnya, tindakan tegas pun diambil oleh Djuanda dengan memerintahkan militer untuk melancarkan serangan ke Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara agar situasi di daerah dapat dikendalikan kembali.

Salah satu prestasi besar yang akan selalu dikenang dalam pemerintahannya, yakni ditandatanganinya Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Deklarasi ini adalah, deklarasi yang menyatakan kepada dunia Internasional, bahwa laut Indonesia termasuk satu kesatuan wilayah NKRI. Dengan adanya deklarasi tersebut, menjadi sebuah tonggak awal bagi kedaulatan maritim Indonesia kedepannya. Selain deklarasi, ada juga peristiwa Pembebasan Irian Barat pada rentang waktu 1961-1962 dalam bentuk Operasi Trikora, yang juga terjadi pada masa pemerintahannya. Sebenarnya, masih banyak peran-peran penting beliau selama menjabat sebagai Perdana Menteri, seperti pernah diberi kepercayaan beberapa kali oleh Presiden RI, untuk bertindak sebagai pejabat presiden dalam beberapa kesempatan.

Refleksi Tokoh

Semua pengabdian Djuanda kepada bangsa dan negara mencapai titik akhirnya pada tanggal 7 September 1963, dimana beliau menghembuskan nafas terakhir akibat serangan jantung hebat di sebuah acara di Hotel Indonesia.

Sebagai seorang pejabat yang duduk di pemerintahan, beliau tidak pernah masuk ataupun menjadi anggota partai politik. Sehingga, tidak pernah terlibat dalam pertiakaian partai dan pergolakan politik. Selain itu, kabinet beliau juga merupakan kabinet terlama yang dapat bertahan setelah penyerahan kedaulatan, karena diisi oleh menteri-menteri yang kompeten dibidangnya serta dipimpin oleh Perdana Menteri yang tidak punya ambisi politik, sehingga mendapat respek dan dukungan penuh dari semua pihak. Dapat disimpulkan bahwa, Djuanda merupakan seorang tokoh bangsa yang berjuang secara ikhlas demi kepentingan bangsa dan negara, untuk membawa Indonesia lebih baik lagi kedepannya tanpa adanya ambisi-ambisi kuat untuk kepentingan pribadi.

Kita sebagai anak muda, hendaknya dapat mengambil pelajaran serta meneladani sikap dari kisah hidupnya, bagaimana perjuangan dan dedikasi seorang tokoh kepada bangsa dan negara. Kedepannya, kita lebih menghormati jasa para pahlawan dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak persatuan ataupun mengacaukan keutuhan bangsa Indonesia.(analisa)

Peserta Kuliah Menulis Artikel Sejarah)