“Doakan Bapak Selamat ya Nak”

oleh -725 views
oleh
725 views
Revdi di speed boat yang siap membawa ke Tarakan Kaltra, Kamis 17/8 sore

*Terkatung-katung 8 Jam di Laut Nunukan*

Revdi di speed boat yang siap membawa ke Tarakan Kaltra, Kamis 17/8 sore

Pengantar dari Redaksi
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah spead boat berisi 12 penumpang plus seorang jurumudi dan seorang anak buahnya, terkatung-katung dihempas badai dan gelombang besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara. Para penumpang itu, satu staf khusus Kemendes PDTT, satu staf ahli Kemendes PDTT, tujuh staf Kemendes PDTT, tiga wartawan dari Sumbar; Firdaus dan Revdi Iwan Syahputra (Harian Umum Rakyat Sumbar) serta Adrian Tuswandi (www.tribunsumbar.com), mereka baru kembali dari mengikuti upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Pulau Sebatik.
Bagaimana kisah lain di balik peristiwa mencekam menjelang malam itu? Wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar Firdaus, menuliskan pengalamannya dalam bentuk bertutur. Ditulis secara bersambung. Kali ini, merupakan naskah ketiga. www.tribunsumbar.com menyadur habis dari Haria Rakyat Sumbar terbit Rabu 23/8.

LELAKI tua yang diminta jurumudi speed boat Berkat Doa Ibu untuk menuntun dan mengantarkan kami dari pelabuhan hingga menuju laut, sudah berada di ujung dermaga. Ketika ia naik, seorang lelaki muda berpostur kurus, masuk ke speed boat yang kami tumpangi. Lelaki kurus itu, namanya Mas. Perjalanan kali ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi awak speed boat.

Bang Akbar, sapaan saya kepada jurumudi speed boat, membawa Mas mendampinginya karena awak speed boatnya tidak bisa ikut. Isterinya baru melahirkan. Ia tak mau memaksa.
Mas, walau belum pernah melaut, ia mau saja diajak bang Akbar.

Sehari-hari, sebenarnya ia tukang las di Pulau Sebatik, namun sudah beberapa hari ini tidak ada order kerja. Katanya, daripada duduk diam, tak ada salahnya untuk melaut.

Setelah Mas naik speed boat, bang Akbar langsung memintanya untuk mengecek mesin, bbm dan slang pompa air. Mas tampak sedikit canggung. Respon tergolong lambat. Setiap ada perintah, ia seperti berpikir untuk melakukannya.

“Ini pertama kali ia bekerja di speed boat,” kata bang Akbar, tanpa ditanya. Bang Akbar seakan menjelaskannya agar semua penumpang memahami. Apalagi ketika itu, saya melihat Nugroho Notosutanto menatap bang Akbar setelah menyaksikan kurang siganya Mas mengerjakan perintah bang Akbar.

Mesin dimatikan, speed boat dipermainkan gelombang di ujung pelabuhan. Bang Akbar bergegas ke belakang. Ia memeriksa sendiri BBM dan memastikan slang dari drigen besar berwarna biru, mengalir baik ke mesin. Ada empat drigen BBM dipersiapkan untuk menggerakan satu mesin speed boat tersebut.

“Saya pesan satu drum minyak untuk perjalanan kita hari ini dan sekaligus untuk cadangan kembali ke Nunukan,” kata bang Akbar, setelah ia berada di belakang kemudi.

“Banyak ya, bang,” balas saya.

“Biarlah berlebih daripada kurang,” katanya, lalu memberikan aba-aba kepada Mas dan semua penumpang. Speed boat segera berangkat.

“Yuk, kita berangkat,” katanya.
Speed boat langsung jalan. Tancap gas. Saya merasakan, kecepatannya langsung tinggi. Hempasan bagian bawah speed boat berbenturan dengan air laut sangat terasa, bagaikan mobil masuk jalanan berlubang. Tak ada suara selain suara benturan yang keras antara bagian bawah kapal bertemu air laut.

Belum lama speed boat bergerak, tiba-tiba kecepatannya berkurang. Berlahan dan pasti, semakin turun. Saya dapat melihat pasti ke jarum speedometer.

“Sebentar, pak. Ada telpon masuk,” katanya, tapi saya tak tahu kepada siapa bang Akbar menyampaikan kalimat tersebut, sebab ia tak melihat kepada siapa pun. Saya duduk persis di belakangnya, di samping kirinya Nugroho Notosutanto. Di belakang Nugroho, duduk Datuk Febby, lalu Alam Kribo, Ope. Di belakang saya, ada Nana Suryana.

Saya tak menyimak benar apa yang dibicarakan bang Akbar di telepon genggamnya. Saya juga tak tahu dengan siapa dia berkomunikasi, juga tak ada niat saya untuk mencuri dengar pembicaraannya, tak baik.

Sejak awal komunikasi bang Akbar dengan orang yang menghubungi, tak ada keinginan saya mendengar atau mencuri dengar pembicaran, namun sebuah kalimat diucapkannya berulang, tapi saya iseng menebak saja.

“Anaknya, ya bang?” tanya saya sekenanya, setelah ia meletakkan telpon genggamnya di dasboar speed boat.

“Iya, pak. Anak saya,” katanya sedikit bergetar.

Sejenak ia terdiam, kemudian merapikan kembali posisinya dan mulai sedikit menaikkan kecepatan speed boatnya.

“Ia melarang saya berangkat sore ini,” katanya melanjutkan.

“Kenapa?” sambung saya bertanya.

“Ia tak mau saya berangkat. Tadi saat dari Nunukan, saya dilarangnya berangkat. Ia juga melarang saya menerima order carteran ini,” ungkapnya lalu melanjutkan, selama ini tak pernah anaknya melarang dia melaut. Ia juga tahu, bapaknya tidak memiliki keahlian lain, kecuali sudah terbiasa melaut sejak muda.

Entah kenapa, sambung bang Akbar, ketika ia menerima order untuk berangkat sore dari Pulau Sebatik ke Tarakan, anaknya mengawal dan melarangnya menerima order tersebut. Tak ada penjelasan dari anaknya, ia hanya melarang saja.

“Kalau tak saya terima, dengan apa saya bayar kekurangan speed boat ini?” tanyanya sembari melihat ke belakang. Tatapan saya dan pandangannya beradu. Saya memaklumi kebutuhannya. Speed boat itu baru saja dibelinya dari seorang kenalan di Nunukan. Harganya Rp 60 juta, ia baru membayar Rp 40 juta.

Ketika ia dihubungi ada yang hendak mencarter speed boatnya, bang Akbar sedang berada di Nunukan. Saat harga dan jadwal disepakati, ia langsung tancap gas dari Nunukan ke Sebatik. Katanya, ia langsung ambil kecepatan tinggi sehingga sampai di Sebatik lebih cepat 30 menit dari jadwal pelayaran reguler.

“Anak saya sangat kuatir. Katanya, perasaannya tak tenang,” kata bang Akbar.

Di ujung percakapan bang Akbar lewat telpon genggamnya, saya mendengar, ia mengungkapkan kalimat yang sama secara berulang. Kalau tak salah hitung, ada tiga kali ia mengungkapkan kalimat tersebut.

“Doakan bapak selamat, ya nak!”
“Doakan bapak selamat, ya nak!”
“Doakan bapak selamat, ya nak!” pintanya.

Saya tak tahu apa jawaban dari anaknya di seberang lautan sana. (*bersambunh, harian rakyat sumbar)