Dua Ulama Kharimatik Sumbar Dinovelkan

oleh -930 views
oleh
930 views
Novel Inyiak Canduang karya Khairul Jasmi, segera beredar. (foto:.dok/cover)

Inyiak Canduang dan Buya Hamka

KABAR baik bagi pencinta buku dan penikmat novel. Kali ini dua sastrawan, Khairul Jasmi dan Akmal Nasery Basral menerbitkan karya terbarunya. Khairul Jasmi menulis tentang jejak rekam kehidupan dia ulama kharismatik tanah minang.

Syeikh Sulaiman Arrasuly yang dikenal dengan Inyiak Canduang. Sedangkan Akmal Nasery Basral menulis tentang sisi lain Buya Hamka. Dua novel ini diterbitkan oleh Republika Penerbit.

Inyiak Canduang dikenal seorang ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang lahir dan besar di lereng gunung. Belajar mengaji ke Batu Hampar di waktu kecil. Lalu seterusnya belajar hingga ke Mekkah.

Sulaiman kecil memang disiapkan menjadi orang besar. Menantang zaman, menjemput asa. Begitulah kisah dimulai oleh Khairul Jasmi dalam novel yang diberi judul “Inyiak Sang Pejuang.” Kisah-kisah jenaka Sulaiman kecil dipungut dan diceritakan menjadi enak dibaca.

Melalui riset yang panjang, Khairul Jasmi menulis kisah-kisah kecil Inyiak Canduang dan diterbitkan RepublikaPenerbit di awal tahun ini. Menurut Khairul Jasmi, nama Inyiak Canduang sangat harum di seluruh penjuru negeri ini.

“Banyak cerita yang segera hilang jika tidak dituliskan. Basis novel ini adalah sejarah lisan para murid-muridnya,” ungkap pemimpin Harian Umum Independen Singgalang ini, Selasa 4/2 di Padang.

Ketika diberi kesempatan membaca naskah awal, sudah terasa bahwa novel ini rangkuman kisah heroik yang pernah ada di tengah masyarakat.

Sebagaimana cerita kehidupan kebanyakan, berangkat dari suka dan duka perjalanan seseorang. Seseorang itu kini dikenang karena sikap dan integritas perjuangannya serta ilmu pengetahuan agama, yang telah diberikan kepada para murid-muridnya. Murid-murid itu kini sudah banyak pula yang jadi profesor.

“Kiprah di sidang konstituante, hingga bagaimana ia mengajar para murid, menjadi landasan penting agar generasi berikutnya bisa memakna perjalanan seorang pejuang,” tutur Khairul Jasmi, suatu waktu.

Menurut pengakuan Khairul Jasmi, ibunya belajar langsung dengan Inyak Canduang. Nama yang ia sandang kini pun diberikan oleh Inyiak Canduang. Makanya, ia banyak bertanya kepada ummi dan teman-temannya yang pernah belajar ke Inyiak Canduang. Besar harapan, perjuangan para muridnya menjadikan Inyiak Canduang sebagai pahlawan nasional segera terwujud.

Apa hebatnya novel ini bagi pembaca? Salah satu bocorannya, bagaimana kehidupan keluarga pada masa itu dan bagaimana Syeikh Sulaiman Arrasuli berkonflik dengan pemerintah hindia belanda dalam perjuangan Syiar Islam yang dijalaninya. Begitu pula dengan para dukun dan tokoh adat yang sempat berhadapan dengannya. Cerita kian menarik karena klimaknya Inyiak Canduang harus dibunuh.

Kisah Buya Hamka hingga usia 30 tahun ada di novel ini, segera miliki. (foto: dok/cover)

Sementara itu, menyambut hari kelahiran Buya Hamka ke-112 yang jatuh pada 17 Februari 2020, Republika Penerbit meluncurkan novel sejarah berjudul Setangkai Pena di Taman Pujangga.

“Ini tentang Buya Hamka masa kanak-kanak sampai usia 30 tahun,” ujar sastrawan Akmal Nasery Basral yang menulis kisah ini.

“Untuk kisah Buya usia 31 tahun sampai wafat akan ditulis dalam buku kedua Serangkai Makna di Mihrab Ulama yang in syaa Allah akan terbit
tahun ini juga,” lanjutnya.

Syahruddin El Fikri, Pemimpin Redaksi Republika Penerbit yang juga Ketua Islamic Book Fair 2020 yang akan dihelat pada 26 Februari – 1 Maret di Jakarta Convention Center mengatakan kisah hidup Buya Hamka tetap menarik minat baca umat Islam.

“Oleh karena itu kami akan meluncurkan novel ini secara resmi melalui Grand Launching di JCC pada 1 Maret 2020, selain akan mengadakan bedah novel di Sumatra Barat sebagai kampung halaman Buya Hamka, mungkin di Padang atau kota-kota lain yang berminat. Apalagi Uda Akmal, penulis novel sejarah ini juga berdarah Minang.”ujarnya.

Akmal Nasery Basral berdarah Bukittinggi (ibu) dan Lubukbasung (ayah) yang kini tinggal di Cibubur, Jawa Barat, sudah menghasilkan beberapa novel sejarah seperti Sang Pencerah (2010, kisah KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhamadiyah), Presiden Prawiranegara (2011, kisah Mr. Sjafruddin Prawiranegara memimpin Indonesia pada era PDRI 1948-1949), Napoleon dari Tanah Rencong (2013, kisah Hasan Saleh sebagai Panglima
Militer DI/TII Aceh).

Desember 2019 lalu pada Peringatan 15 Tahun Tsunami di Sigli, Aceh, Akmal meluncurkan novel berjudul Te o Toriatte (Genggam Cinta), kisah seorang gadis penyintas tsunami yang kini menjadi calon doktor ilmu komputer di Jepang. Novel ini sedang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang oleh Hanako Ikeda dari Kyodo News Service. (rilis: republikapenerbit)