Duh Ilah…Harga Kedelai Melejit, Jadi Kado Pahit Awal Tahun Industri Tahu dan Tempe

oleh -276 views
oleh
276 views
Neville Zuairina desak pemerintah ambil peran bantu UMKM yang bahan bakunya kedelai, Senin 4/1 (foto: dok/nzvoice)

Jakarta — Di awal tahun 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani, pasalnya harga kedelai naik mencapai hampir 50 persen.

Dampak kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.

Nevi Zuairina, Anggota DPR RI Fraksi PKS, mengatakan kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021, membuat UMKM di sektor itu makin menderita mengingat di tengah pandemi covid-19 daya beli masyarakat menurun.

“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik. Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual.”ujar Anggota Komisi VI Daerah Pemilihan Sumatera Barat II itu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700). Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

Nevi menjelaskan sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri.

“Atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan. Tentunya hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor.”ujar Nevi.

Nevi juga mengingatkan bahwa pada tahun 1992, Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun.

“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.

Meredanya perang dagang antara AS dan China diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai. Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai dari AS.

“Momentum baiknya hubungan dagang AS-China yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri,” ujar istri Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.

Nevi menambahkan Pemerintah juga harus dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri. Selain itu dibutuhkan kolaborasi aktif antara kementerian dan lembaga terkait serta melibatkan pelaku industri dan UMKM agar dapat menciptakan stabilitas harga kedelai”.

“Melonjaknya harga kedelai juga dapat meresahkan pedagang kecil. Karena nanti penjual gorengan tidak dapat menjual tahu dan tempe goreng, sehingga pendapatan mereka pun bisa berkurang.”ujar Nevi. (*nzvoice)