Dunia VUCA, Pemimpin dan Perguruan Tinggi.

oleh -2,018 views
oleh
2,018 views

 

Insannul Kamil                                        Dosen Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Andalas.

ERA revolusi digital yang akan menimbulkan “megashifting job” pada fenomena sumberdaya manusia global diperkirakan akan memberikan dampak terhadap hilangnya sekitar 75 sampai 375 juta pekerja yang akan digantikan oleh teknologi yang terjadi secara tiba-tiba.

Banyak jenis pekerjaan yag ada saat ini akan hilang dan akan digantikan dengan munculnya lebih banyak lagi jenis pekerjaan baru yang memprasyarakan kemampuan dan talenta digital. Saat ini teknologi sedang mengambil perannya seiring dengan kemajuan teknologi dan inovasi seperti internet of things (IoT), data besar (big data) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Perguruan tinggi dianggap paling bertanggung jawab dan harus terus tumbuh dan berkembang dan berubah dalam kecepatan yang tidak biasa untuk menjadi perguruan tinggi yang berbasis inovasi dan mengembangkan ekosistem inovasi.

Tentunya, tuntutan terhadap pendidikan tinggi menjadi semakin bertambah dan kompleks. Pendidikan tinggi harus mampu “mencetak” lulusan yang bisa membuka lapangan kerja untuk diri mereka sendiri, di samping sesuai dengan permintaan pasar kerja.

Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas keberhasilan pendidikan tinggi ini? Kepemimpinan perguruan tinggi itu sendiri. Artinya, kepemimpinan perguruan tinggi harus segera melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dengan sangat cepat.

Perubahan kerapkali tak terduga dan selalu menantang, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Salah satu keuntungan dari perubahan yang terjadi saat ini adalah mengenai kompetensi para lulusan perguruan tinggi, tidak hanya di lingkup nasional, bahkan global. Kompetensi lulusan perguruan tinggi harus bertaraf global! Artinya, lulusan perguruan tinggi harus setara dengan lulusan perguruan tinggi di tempat manapun.

Oleh karena itu, cara dan gaya lama dalam pendidikan tinggi sudah semestinya tak diterapkan lagi. Inilah salah satu tanggung jawab kepemimpinan perguruan tinggi, yakni beralih dari cara-cara lama dengan cara-cara baru.

Peran tradisional kepemimpinan perguruan tinggi (leader) adalah mengantisipasi perubahan, mengidentifikasi peluang, menyusun rencana strategik, memotivasi dan mengarahkan bawahan, mengelola resiko, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan yang efektif. Tapi, kondisi ini telah mengalami perubahan drastis, sehingga perlu merubah mindset dan cara berpikir. Sekarang, leader harus membuat keputusan lebih cepat, memproses bertumpuk-tumpuk informasi dalam waktu seketika.

Hal ini diakibatkan oleh globalisasi, kemajuan teknologi dan inovasi serta pengembangan jaringan yang berkelanjutan, sehingga tak ada lagi perguruan tinggi yang beroperasi secara terpisah. Perubahan di suatu bidang tertentu akan bergaung di bidang-bidang lainnya yang berbeda secara seketika, seringkali terjadi dengan cara yang tak terduga. Disinilah letaknya rentan perubahan (volatility).

Jelas, tantangan yang dihadapi leader memasuki level baru kompleksitasnya, dalam hal ruang lingkup, ukuran dan saling keterkaitannya (interkoneksi).
Rentan perubahan (volatility) ini menyangkut soal kualitas subyek dalam menghadapi perubahan yang berlangsung seringkali, cepat dan signifikan. Selain itu, dimensi perubahan itu mencakup jenis, kecepatan, volume dan skalanya.

Oleh karena itu, kepemimpinan perguruan tinggi harus cepat tanggap dalam menghadapi perubahan yang terjadi di lingkup pendidikan tinggi, bahkan di tingkat global. Kemudian, beradaptasi dengan perubahan tersebut. Perguruan tinggi tidak hanya sekedar bertahan atau mempertahankan eksistensinya, tapi juga harus berhasil di bidangnya dalam membangun peradaban dan ekosistem inovasi.

Dalam kondisi yang stabil dan bisa diprediksi (prediktabilitas), perubahan itu bisa diperhitungkan. Namun, dalam kondisi yang tidak stabil (instabilitas) dan tidak bisa atau sulit diprediksi (inprediktabilitas), segala sesuatu itu tidak pasti (uncertain). Artinya, kepemimpinan perguruan tinggi nyaris tak mungkin memperkirakan “peristiwa” apa yang bakal terjadi di masa depan, khususnya di bidang pendidikan tinggi. Oleh karena itu, kepemimpinan perguruan tinggi perlu mengalihkan cara berpikirnya dari what is probable (apa ada kemungkinan) menjadi what is possible (apa memungkinkan).

Interaksi satu dengan yang lainnya semakin memuncak. Bahkan dalam hitungan detik, bisa jutaan interaksi terjadi. Inilah yang menimbulkan kompleksitas (complexity) saat ini. Pendidikan tinggi semakin kompleks, dengan metode pembelajaran yang juga semakin kompleks. Oleh karena itu, kepemimpinan perguruan tinggi perlu melakukan pendekatan dalam memandang dunia pendidikan tinggi ini dari perspektif lingkup sistem (system-wide perspective), sehingga sub-subsistem yang ada dalam sistem pendidikan tinggi berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menciptakan kebaruan (novelty) dan kemunculan pemikiran-pemikiran dari dalam lembaga perguruan tinggi itu sendiri.

Dengan demikian, kepemimpinan perguruan tinggi harus memiliki pemahaman tentang kompleksitas, sehingga siap menghadapi masa depan, tak peduli bagaimanapun bentuk masa depan itu sendiri. Selain itu, harus mampu berpikir sistem (systemic thinking).

Kurangnya kejelasan dan sulitnya memahami dengan tepat mengenai situasi pendidikan tinggi saat ini menimbulkan ambiguitas (ambiguity) di perguruan tinggi. Dengan kata lain, ambiguitas adalah kurangnya pemahaman yang jelas dan ketidakmampuan membuat keputusan karena terlalu banyaknya opsi yang akan dipilih. Pendidikan di perguruan tinggi bertahan dengan cara dan gaya lama, karena kurangnya kejelasan dalam metode belajar-mengajar dengan memanfaatkan, misalnya kemajuan teknologi.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa volatitas (volatility) akan mengarahkan ke visi, ketidakpastian (uncertainty) akan menghasilkan pemahaman, kompleksitas (complexity) akan mampu menimbulkan kejelasan dan ambiguitas (ambiguity) akan membuat semangat untuk belajar (agility) terpelihara terus – menerus.

Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi dan kondisi pendidikan tinggi di lingkungan VUCA ini, kepemimpinan perguruan tinggi perlu meyakini bahwa ia tidak menguasai semua jawaban, nyaman dengan siapa kita di inti (core) pendidikan tinggi kita, meminta bantuan, memahami masalah karena seiring dengan tsunami perubahan. Selain itu, perlu lebih mempercayai dan menanyakan. Kepemimpinan perguruan tinggi perlu mencurahkan segenap energinya, keyakinan, dan kepercayaan pada timnya untuk meraih keberhasilan pendidikan tinggi, sekarang dan di masa depan.(analisa/terbit di Padeks 14/3)