Edriana: Mahasiswa Agen Perubahan, Jangan Biarkan Pemilu Berlalu Begitu Saja

oleh -470 views
oleh
470 views
Edriana optimis mahasiswa pasti menggebu sebagai agem perubahan dan tidak apatis terhadap kegiatan politik Indonesia, Kamis 4/4 (foto: edrianacenter)

Padang,—Sejak dulu hingga kini, Edriana tetap yakin dan optimis bahwa mahasiswa adalah agen perubahan.

“Mahasiswa itu agen perubahan, saya tidak percaya kalau mahasisiwa sekarang apatis politik dan membiarkan Pemilu berlalu begitu saja,”ujar Caleg DPR RI Edriana saat talkshow millenial di Ballroom Kawana Hotel di Padang.

Minimnya peran mahasiswi atau disebut pemudi untuk menyatakan pandangan terrhadap perpolitikan di Indonesia dan Internasional, dikarenakan adanya keragu-raguan, ketakutan serta intervensi akademik.

Dampaknya membuat mahasiswa pasif untuk mengkritisi persoalan negeri. Sementara sebutan mahasiswa merupakan kaum terpelajar tingkat paling atas dalam konteks kelembagaan pendidikan.

“Tidak adanya keterlibatan aktif dalam orientasi pembangunan negara, sosial, budaya dan politik dari mahasiswa. Sudah dapat dipastikan sandangan kata aktivis, memudar dan dianggap tidak mampu menentukan arah bangsa,”ujar Director Women Research Indonesia (WRI) Edriana Noerdin, di hadapan ratusan mahasiswa saat talk show, Kamis 4/4 kemarin.

Aktivis dari lembaga penelitian perempuan itu menjelaskan, pihaknya selama ini terus melakukan aksi kepedulian perempuan dalam partisipasi politik, terutama meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen.

Edriana menjelaskan, sistem kuota yang ada di Indonesia terkait hal ini, telah lahir sejak pemilu 2009 dan mengalami lonjakan atau kekuatan di 2014.

Tahun itu memang terjadi karena ada desakan untuk dipersistem yakni satu laki-laki dan satu perempuan untuk mewakili masyarakatnya, meskipun berujung pada penolakan dari tiap partai politik (parpol). Namun, itu sudah mulai satu diantara tiga.

“Walau sistem kuota, namun itu terjadi pada tingkat partisipasi untuk menjadi caleg bukan partisipasi untuk anggota legislatif. Partisipasi untuk caleg, memang tidak mudah bagi kita diterjunkan dalam sistem politik yang sangat liberal,” ungkap Edriana.

Pemicunya karena perempuan tidak terbiasa terekspos dalam dunia politik. Seperti beli suara, ini menyebabkan kaum perempuan tidak berani tampil. Sementara sama-sama diketahui, ada paket-paket hal itu terjadi di Indonesia.

Secara persentasenya dapat dilihat pada pemilu 2014, dimana partisipasi perempuan hanya 17 persen berhasil duduk di parlemen, sementara dalam konteks calon wakil rakyat sudah hampir 40 persen .

“Tingkat keterpilihan masih kecil, selain dari mobilitas perempuan kurang, tingkat pendidikan yang masih minim dan apalagi disertai tidak terbiasa dengan politik garis keras,” jelas Edriana kepada peserta yang dominan perempuan itu.

“Ketika tidak ada peran perempuan dalam politik, lantas siapa akan memperjuangkan kepentingan kaum perempuan nantinya,” ujarnya.

Ia memberi contoh, catatan Komnas HAM tercatat 350 ribu lebih kekerasan terhadap perempuan.

“Angka-angka kekerasan itu kalau bukan kita (perempuan) yang mendorongnya dalam pengalokasian anggaran tentu siapa yang akan peduli terhadap perempuan dalam hal ini. Ditambah lagi dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan dan itu terjadi dalam kurun lima tahun terakhir,” katanya.

Ia berharap peran dari generasi muda (mahasiswa-red) turut aktif dalam menyambut pemilu yang jujur dan adil serta berpartisipasi dalam menyuarakan hak memilih, dalam mendorong partisipasi perempuan ditingkat legislatif.

“Maka jangan takut terhadap politik identitas dan jangan takut berpolitik karena itu tidak ada yang tunggal. Mahasiswa memiliki peran terhadap ketimpangan itu dengan memilih calonnya yang sinkron terhadap program memperjuangkan hak dan peduli terhadap perempuan,” terang Edriana, penulis buku politik identitas perempuan Aceh (2005)

Sementara itu mantan Komisioner KPU RI periode 2004, Chusnul Mari’iyah mengutarakan, bahwa pentingnya mendorong kaum perempuan duduk di parlemen, karena isu-isu perempuan harus diperkuat dengan mendorong pembawa pesan tersebut.

“Itu ada hubungannya dengan politik dan perempuan. Sebab yang menyuarakan isu-isu seperti stunting, kekerasan terhadap perempuan, kematian ibu melahirkan stunting, itu yang akan teriak-teriak di sana politisi perempuan. Sebab, dalam berdemokrasi ada kebebasan dalam menyatakan pendapat, membentuk organisasi yang dilindungi,” ungkapnya.

Ia mengajak generasi muda untuk merebut kembali dan mewujudkan kembali kekuatan perempuan lewat partisipasi memilih tokoh yang tepat memperjuangkan hak-hak kebijakan gender dalam bernegara.

“Jangan sampai suara adik-adik hilang, sementara yang gila itu lho ikut memilih. Masa yang pinter-pinter depan saya tidak ikut memilih,” ungkapnya disambut riuh tepuk tangan peserta. (*rilis: edrianacenter)