Ekofeminisme : Relasi Perempuan, Alam Dan Konflik Sosial

oleh -1,313 views
oleh
1,313 views
Tanty Herida (dok)

Oleh: TANTY HERIDA

Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dan Koordinator Program LP2M

GERAKAN Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati.

Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Feminisme bukan lah paham yang membenci laki-laki dan feminisme hanya melawan paham Patriarki. Apa itu Patriarki? Patriarki merupakan salah satu budaya di mana kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. gerakan feminisme masih memperjuangkan banyak hal hingga saat ini. salah satunya memperjuangkan kesetaraan gender dan melawan paham Patriarki.

Dalam Feminisme, ada satu gerakan namanya Ekofeminisme. Ini adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta degradasi lingkungan hidup dan subordinasi dan opresi terhadap perempuan.

Ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang muncul di kalangan perempuan di berbagai belahan dunia dari berbagai profesi sebagai akibat adanya ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu dimitoskan dengan alam.

Di tengah krisis lingkungan hidup dan meningkatnya konflik sumber daya alam di negara ini, peran Ekofeminisme jadi lebih penting. Ini tak lain karena perempuan adalah yang paling terdampak dalam konflik lingkungan hidup. Posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial.

Di sisi lain perempuan selalu terkait erat dengan lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Perempuan selalu bergaul akrab dengan produk-produk yang berdampak pada limbah dan pencemaran lingkungan. Misalnya limbah rumah tangga, dampak pemakaian kosmetik dan limbahnya, pemakaian obat kimiawi, baik makanan maupun kesehatan, pemakaian produk fashion, termasuk suplemen untuk pembentukan tubuh yang langsing.

Dengan demikian perempuan mempunyai peran sentral dan strategis dalam pengelolaan lingkungan. Bagi para Feminis di Dunia Ketiga, Feminisme bukanlah semata-mata peniruan dari Barat yang asing bagi perempuan di Timur. Feminisme hadir bersamaan dengan kesadaran yang dimiliki perempuan, dalam lingkup personal maupun publik, dimana mereka menyadari ketidakadilan dan mengambil langkah untuk mengubahnya.

Jauh sebelum feminis dikenal di Eropa, Putri Minangkabau telah menyuarakan Gerakan feminis melalui surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1912 satu zaman dengan R.A Kartini dan Dewi Sartika, ketiganya adalah tokoh awal feminis di Indonesia.

Argumebtasinya adalah Kartini menunjukan pemikiran feminsnya melalui surat – suratnya dalam baghasa Belanda kepada teman Belandanya, Stella Zehandelaar, kemudian Siti Roehana lebih progresif, dimana beliau mempublikasikan pemikirannya di koran Soenting Melajoe, koran yang ditujukan untuk kalangan pribumi dengan menggunakan Bahasa Melayu. Rohana Kudus berupaya menaburkan benih pembebasan dan melakukan pemberdayaan perempuan; karena ketika itu perempuan masih terkukung dalam ranah marginal yang sangat berlebihan. Hal ini karena beberapa faktor.

Pertama, akibat konstruksi budaya. Artinya perempuan dipetakan atau dipolakan sebagai kaum yang memiliki domain (ranah) kerja yang sentralistiknya domestik. Kedua, akibat pemberdayaan perempuan yang belum merata. Pemberdayaan ini sangat terkait dengan pendidikan, sebab keterbelakangan perempuan dominan karena rendahnya asupan dan kualitas pendidikan kaum perempuan pada saat itu (Ema Pratama, 2019: 264). Dalam perpektif masyarakat kontruksi gender pendidikan bagi perempuan mempunyai katerbatasan, mengingat pekerjaan perempuan itu sudah jelas, sebagai pelayan rumah tangga.

Posisi perempuan yang masih selalu dipinggirkan di sebagian besar belahan dunia mungkin sama dengan yang dialami oleh bumi kita. Perlakuan yang kurang baik terhadap perempuan merupakan gambaran bahwa baik bumi maupun perempuan mendapatkan perlakuan yang kurang baik sehingga mengakibatkan kerusakan dan penindasan.

Di bumi, pembangunan yang dijalankan cenderung tidak memerhatikan faktor keberlangsungan lingkungan hidup yang baik. Sebagai akibatnya, kerusakan lingkungan yang terjadi semakin parah. Perempuan memiliki keterkaitan yang erat dengan lingkungan.

Dalam perannya sebagai pengelola rumah tangga, mereka lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan sumber daya alam. Dampak kerusakan lingkungan pun lebih sering dirasakan oleh perempuan. Contoh sederhana adalah ketersediaan air. Berkurangnya ketersediaan air lebih dirasakan kaum perempuan karena mereka merupakan pemakai air terbesar dalam rumah tangga.

Di tengah krisis lingkungan hidup dan meningkatnya konflik sumber daya alam di negara ini, peran Ekofeminisme jadi lebih penting. Ini tak lain karena perempuan adalah yang paling terdampak dalam konflik lingkungan hidup.

Posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial. Beberapa potret konflik sumber daya alam yang berdampak pada hidup perempuan termasuk antara lain penolakan pabrik semen di Kendeng – Jawa Tengah, dan penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali, konflik masyarakat daerah tambang batu bara Sawahlunto dan lain – lain.

Ekofeminisme merupakan penggabungan antara ekologi dan feminisme. Penggabungan ini berdasarkan suatu renungan bahwa dominasi serta diskriminasi yang dialami baik oleh lingkungan hidup maupun perempuan, bersumber dari problem yang sama yakni, budaya patriarki. Sehingga perjuangan untuk bumi sejatinya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis. Perempuan merupakan korban dari suatu sistem yang bertumpu pada ketimpangan dan eksploitasi.

Demikian juga yang terjadi pada alam, gerakan Ekofeminis di dunia muncul sebagai reaksi protes terhadap ketimpangan tersebut. Adapun perubahan yang diupayakan oleh perempuan menggarisbawahi representasi atau kepemimpinan perempuan dalam gerakan-gerakan lingkungan hidup.

Ekofeminis tidak menampik kedekatan emotif perempuan dengan alam. Contohnya ancaman krisis air di beberapa daerah terutama di daerah tambang tambang. Isu ini genting untuk seluruh masyarakat tentunya.

Namun, para petani perempuan merasakan ketidakseimbangan tersebut sebagai pengalaman riil yang mereka geluti sehari-hari, sebab mereka dekat dan paham mengenai air dan pentingnya menjaga mata air.

Bagi Ekofeminis, problemnya sistemik, terjalin melalui pandangan ekonomi, sosial, dan politik yang mengandalkan diskriminasi, kompetisi, dan kekerasan. Ekofeminis ingin merombak sistem tersebut; bagaimana tidak lagi ada hierarki antara manusia dan alam, ataupun kelas antar masyarakat. Perubahan ini harus ditempuh secara politis, diperjuangkan melalui transformasi budaya yang mengarah pada keadilan ekologis/keberlanjutan, juga transformasi politik yang meninggalkan pandangan lama mengenai politik, khususnya yang memisahkan antara manusia dan alam.

Di Indonesia, Ekofeminisme sendiri muncul sebagai reaksi atas proses pembangunan yang mengesampingkan peran perempuan, serta dampak dari pembangunan yang tidak berpihak pada keberlangsungan alam yang membuat alam menjadi semakin rusak.

Menurut Vandana Shiva (1993), Ekofeminisme merupakan salah satu cabang ilmu teori Feminism. Ekofeminisme mengaitkan adanya hubungan alam dan perempuan. Ekofeminisme lainnya menyikapi keterkaitan perempuan dan alam secara lebih kritis.

Keterhubungan antara perempuan dan alam berdasarkan nilai-nilai tradisional memberikan afirmasi terbatas dan berefek pada penegasan kekuatan maskulin yang mengidentifikasi laki-laki sebagai subjek yang dominan, liar, dan kuat, sedangkan perempuan bersifat jinak, domestik, dan lembut. Plumwood (1993) menegaskan bahwa hubungan antara perempuan dan alam yang bersifat inferiorisasi resiplokal tidak berasal dari masa lalu, melainkan terus menerus terjadi. Misalnya, terkait dengan penolakan aktivitas perempuan dari lingkup reproduksi.

Dalam Feminisme, salah satu kritik yang dilontarkan adalah pemilahan antara privat dan public. Oleh karena itulah dikatakan: the personal is the political. Kritik terhadap dualisme ini dilatarbelakangi bahwa subjugasi terhadap perempuan terjadi melalui pembatasan perempuan di ruang domestik atau privat saja.

Dialamkan, diasosiasikan dengan binatang, misalnya Ayam, Harimau, Kerbau. Sementara itu perempuan difeminimkan berkaitan dengan aktivitas seperti diperkosa, digarap, dan dieksploitasi. Perhatikan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dipakai dalam menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam.

Misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan tambang yang dieksploitasi. Jadi tidak mengada-ada jika perempuan dan alam mempunyai kesamaan semacam simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin. Sejarah mencatat banyaknya penindasan terhadap kaum perempuan, karena mereka melihat perempuan sebagai objek atau bahkan sebagai budak yang hanya dapat digunakan untuk pemuas hawa nafsu belaka.

Krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan (penindasan perempuan), merupakan dua masalah besar kehidupan. Keduanya saling terkait secara historis dalam sejarah peradaban hidup manusia. Para filusuf Ekofeminisme berpendapat, konsep dasar dari dominasi kembar terhadap alam dan perempuan adalah dualisme nilai dan hirarki nilai. Darmawati (2002) berpendapat, peran etika Feminisme dan lingkungan hidup adalah mengekspos dan membongkar dualisme ini serta menyusun kembali gagasan filosofis yang mendasarinya.

Gerakan Feminime dan ekologi sebenarnya mempunyai tujuan yang saling berhubungan erat dan saling memperkuat satu dengan lainnya. Gerakan ini ingin mengubah paradigma dunia yang bukan hanya berdasarkan pada model patriarki dan dominasi semata, di mana ada superior ada inferior atau ada yang menjadi subjek dan objek.

Tetapi lebih pada relasi yang sejajar di mana antara laki-laki, perempuan, maupun alam. Ketiganya sama-sama memiliki hak yang harus saling dijaga.

Ekofeminisme merupakan suatu keterkaitan dan keseluruhan dari sebuah teori dan praktik. Hal ini menuntut kekuatan khusus dan integritas dari setiap unsur hidup. Bila kita berbicara tentang Ekofeminisme, maka kita berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan.

Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam. Bahwa ada pendapat yang mengatakan, kampanye mengenai pelestarian lingkungan masih belum banyak menjangkau perempuan yang memiliki keterbatasan dalam akses informasi.

Akses informasi mengenai lingkungan hidup seolah datang dari kota, kampus, dan sebagainya. Padahal banyak gerakan ini justru dimulai di wilayah pedesaan dan pesisir oleh perempuan adat. Upaya untuk menyebarluaskan misi lingkungan hidup terjadi justru melalui gerakan-gerakan lokal. Bahkan inisiatif ini terjadi dimulai dari para perempuan adat yang mencemaskan alam liar yang semakin tergerus. Tantangannya adalah bagaimana terus mengamplifikasi suara-suara ini, dan bagaimana tuntutan-tuntutan ini dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan publik yang berorientasi pada keselarasan.

Bencana sering terjadi, seperti banjir maupun kebakaran hutan menunjukkan betapa gentingnya krisis iklim. Problem lingkungan hidup telah menjadi suatu isu global yang butuh penanggulangan  secara radikal. Namun masih banyak orang-orang menyangkal dan abai terhadap isu ini. Prinsip hidup yang seimbang dengan alam semestinya mengedepankan kesadaran untuk mengurangi, memakai kembali, dan mendaur ulang (reduce, reuse, recycle). Cara hidup yang memiliki orientasi terhadap lingkungan hidup berarti hidup yang bersahaja, yang mempertimbangkan secara etis dari konsumsi makanan maupun barang-barang yang peka terhadap lingkungan hidup.

Hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini terkait usaha pelestarian lingkungan hidup adalah bagaimana mencegah meningkatnya suhu bumi. Perlu terobosan agar tidak lagi tergantung pada bahan bakar fosil. Perlu didorong suatu revolusi energi ke arah energi terbarukan dan pelestarian sumber daya air. Ini tentunya akan memperbaiki relasi manusia dengan alam dan menjaga kepentingan perempuan sebagai penerima manfaat dan subyek dari alam tersebut. Kita semua, laki-laki dan perempuan harus berpartisipasi melestarikan alam, the mother of nature.(analisa)