“Gelandangan dan Pengemis ” Menghinakan diri sebagai Profesi

oleh -1,445 views
oleh
1,445 views

 

Nopi Candra Sapendi

PRILAKU konsumtif lahiriah manusia, menjadikan setiap orang berusaha melakukan pemenuhan kebutuhan agar kehidupan terus berjalan. Dengan berbagai cara dan profesi setiap harinya.

Hanya saja, beberapa orang terkadang lebih memilih cara instan dengan berbagai alasan, tidak terkecuali dengan mengemis dan menjadi gelandangan. Hal ini tidak hanya terjadi di kota metropolitan, Padang pun sebagai ibukota Sumatera Barat ikut menjadi sasaran utama gelandangan dan pengemis.

Ya, Kota Padang merupakan pusat Ibukota Sumatera Barat yang menjadi Kota perantauan bagi daerah-daerah kabupaten lain untuk menjadikan tempat pencaharian, tentu Kota Padang semakin ramai dan padat. Banyaknya penduduk yang datang dan tinggal di kota Padang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.

Tidak hanya itu, kemiskinan, pendapatan daerah dan tarif Upah Minimum Regional (UMR) yang masih terbilang kecil berbanding terbalik dengan harga dan kebutuhan menjadi penyumbang kompleksitas permasalahan yang ada.

Sejak diterbitkan Perda Kota Padang no. 1 tahun 2012 tentang pembinaan anak jalanan, pengemis dan pedagang asongan ternyata sampai saat ini masih saja menjadi fenomena.

Berdasarkan data dinas sosial pada tahun pada tahun 2010 pengemis yang terdata berjumlah 210 orang. Tapi pada fakta yang kita lihat di lapangan melebihi angka tersebut.

Target Indonesia Bebas Anak Jalanan dan Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) pada Desember 2017 yang digagas oleh Kementerian Sosial belum juga terwujud dengan maksimal.

Sepertinya pemerintah kota Padang harus meningkatkan kepeduliannya terhadap oknum-oknum yang menjadi aktor sebagai gelandangan dan pengemis. Masih banyak kita lihat gelandangan dan pengemis berkeliaran di pinggir jalan, pasar, toko-toko dan bahkan ada yang mengunjungi rumah warga satu persatu. Sehingga sebagian masyarakat merasa tergangggu dan juga risih atas keberadaan mereka.

Kaum pengemis sangat bermacam, ada yang berasal dari kaum tua, anak-anak, bahkan kaum muda yang sebenarnya masih mampu mencari kehidupan tanpa mengemis.

Namun secara mayoritas pengemis berasal dari kalangan orang tua dan anak-anak. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, sepertinya telah diorganisir secara lebih baik oleh individu maupun kelompok tertentu untuk bekerjasama

mendapatkan keuntungan. Selama ini belum diketahui motif sebenarnya mengapa banyak bermunculan pengemis. Apakah memang benar-benar tidak memiliki harta benda atau bahkan hanya modus kejahatan untuk menghasilkan uang banyak.

Memang ada sebagian dari mereka berasal dari daerah-daerah terpencil yang berlatarbelakang miskin. Kemiskinan memang sampai saat ini masih belum bisa dipecahkan.
Bahkan kemiskinan menjadi salah satu masalah terbesar di indonesia. Sampai sekarang pemerintah belum bisa mengatasi kemiskinan yang terjadi.

Faktor inilah yang memaksa mereka untuk mengemis, dan memaksa anak-anak mereka putus sekolah dan turun kejalan untuk mengemis dan menjadi gelandangan.

Dalam hal melancarkan aksinya, mereka melakukan berbagai macam cara, melakukan drama-drama yang sangat bisa menarik simpati orang lain. Mereka memanfaatkan keterbatasan fisik seseorang pada keluarga atau saudara mereka, untuk memperlancar atau mempermudah aksinya supaya mendapatkan simpati orang untuk mendapatkan uang dengan mudah.

Mengemis adalah satu-satunya pekerjaan mereka. Mereka tidak punya pilihan lain, karena mencari pekerjaan tidak mudah, memerlukan berbagai syarat. Selain itu, tumbuh pesatnya penduduk tidak seimbang dengan peluang pekerjaan yang tersedia
Secara umum, pengemis mempunyai beberapa faktor,yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau lebih bersifat kekeluargaan, maksudnya suatu keadaan individu atau keluarga gepeng (gelandangan pengemis) yang mendorong mereka menjadi pengemis.

Faktor eksternal yaitu tempat tinggal yang jauh dan terpencil sehingga kurang perhatian oleh pemerintah. Namun tak jarang pengemis dan gelandangan bertujuan menipu. Sebenarnya mereka berkecukupan, mempunyai rumah yang layak dan mampu memenuhi kebutuhan.

(PenulisMahasiswa Universitas Ekasakti Padang, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan Ilmu Komunikasi)