MINGGU pagi 3 Maret 2024, beberapa menit setelah ibadah subuh, penulis telah berada di dalam sebuah minibus yang membawa Pengurus Bundo Kanduang Propinsi Sumatera Barat yang mulai bergerak dari Padang menuju Kota Solok, menembus jalan yang masih berembun.
Beberapa waktu tak bertemu, suasana di dalam bus diwarnai penuh dengan kehangatan perbincangan para Bundo sambil sesekali terdiam untuk menikmati pemandangan indah di kiri kanan jalan yang tampak menakjubkan oleh hijaunya pepohonan hutan hujan tropis yang khas terutama sebelum dan setelah gerbang Taman Hutan Raya Bung Hatta.
Beberapa saat lagi kami akan bertemu para Bundo kanduang Kota dan Kabupaten Solok untuk mengikuti acara Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Bundo Kanduang yang digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Tema acaranya membuat keingintahuan lebih, “Manjapuik nan Tingga, Manyalami Nan Tabanam”.
Setelah berlangsungnya acara pembukaan, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat Prof. Dr. Ir. Puti Reno Rhauda Thaib, MP menyampaikan materi bimtek dengan judul, “Etika dan Estetika Menjalin Sambungan Tali Nasab dan Tali Rahim dalam Sebuah Pernikahan Menurut ABS_SBK”.
Bundo Rhauda, seperti biasanya memaparkan materi secara menarik dan mencerahkan para Bundo Kanduang yang senantiasa haus untuk belajar. Peserta diingatkan bahwa perjodohan dan pernikahan adalah sebuah takdir yang ditentukan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Manusia juga diberikan modal sabar dan ikhlas untuk menghadapi berbagai rintangan yang mungkin akan menghadang dalam perjalanan biduk rumah tangga.
Untuk itu diperlukan niat yang jelas dalam membangun rumah tangga agar tercapai tujuan pernikahan, yaitu untuk menjalin sambungan tali nasab (Ayah) dan tali rahim (Ibu/kaum) sehingga dapat melahirkan keturunan yang baik yang sehat jiwa dan raga yang berakhlakulkarimah.
Bundo Rhauda mengingatkan hadirin untuk memahami bahwa di dalam Islam, pernikahan dilakukan sejatinya adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Pernikahan yang diridhai juga akan membuka pintu rezeki dan berbagai kemudahan.
Oleh sebab itu hendaknya kita senantiasa bersyukur sehingga Allah SWT menganugerahkan hidayah kemudahan membina kebaikan hati dan keindahan akhlak dalam keluarga dan kaum serta masyarakat.
Filosofi kita orang Minangkabau adalah “ Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru”.
Maksudnya, pelaksanaan ajaran adat harus mempedomani hukum-hukum Islam, sedangkan hukum-hukum Islam harus diterapkan secara nyata dalam ajaran adat. Dalam masyarakat Minangkabau setiap laki-laki dan perempuan mempunyai dua keluarga yaitu; 1) Keluarga kaum yang berpunca dari rahim perempuan yang membentuk kaumnya (basuku ke ibu) dan 2) Keluarga inti yang dibentuk oleh perkawinan melahirkan keturunan yang bernasab kepada ayah.
Yang paling menggugah penulis adalah penjelasan Bundo Rhauda tentang konsep pernikahan dalam adat Minangkabau, yaitu: “ukhwah” yang menjalin sambungan tali nasab (Ayah) dan sambungan tali rahim (Ibu/Kaum/Suku).
Dapat diperjelas bahwa yang melakukan pernikahan adalah individu A sebagai seorang laki-laki dengan individu B sebagai seorang perempuan. Sedangkan yang melakukan perkawinan adalah kaum A dengan kaum B. Sebuah perkawinan yang ideal yang diharapkan adalah perkawinan yang dapat menjalin sambungan tali nasab dengan sambungan tali rahim /kaum/suku. Maka keluarga inti/keluarga kecil yang dibentuk oleh pernikahan yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang dilahirkan adalah “sarana” bertemu dan berinteraksinya antara kaum suami dengan kaum istri.
Suami dan isteri adalah: “duta” dari kaumnya-masing-masing ke kaum suami atau isteri, yang meletakkan kedudukan istri dan suami adalah “setara”seperti dua sisi mata uang. Tergantung sejauh mana pemahaman mereka terhadap kedudukan dan perannya di dalam kaumnya dan dalam keluarga intinya.
Akibat pernikahan dan perkawinan maka suami dan isteri mempunyai dua kedudukan dan peranan di keluarga kaumnya dan diluar keluarga kaumnya. Artinya, sebuah perkawinan menurut Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru, akan melahirkan pengasuhan, penjagaan dan pengawasan untuk setiap individu dari keluarga kaum dan keluarga intinya dalam pola asuh bersama. Hal ini secara otomatis dapat menjaga perilaku suami, isteri dan anak-anak serta cucu-cucu mereka.
Keluarga merupakan fondasi awal tumbuh kembangnya anak. Di dalam keluargalah nilai-nilai agung transendental untuk pertama kali ditanamkan. Pola asuh dan interaksi, sikap dan perilaku: keluarga inti (ayah bunda, kakak) dan keluarga kaum (nenek, kakek, mamak) dan pengasuh ikut memengaruhi pembentukan karakter anak. Orang tua berkewajiban mengarahkan anak-anaknya menjadi orang yang beriman dan berakhlak mulia serta menjalankan ajaran agama dengan baik, sehingga terhindar dari perbuatan atau perilaku yang menyimpang.
Perkembangan globalisasi dewasa ini menunjukkan kecendrungan pendidikan anak lebih dominan terdapat pada keluarga inti saja, sehingga peran mamak atau keluarga kaum dalam ikut membina seorang anak menjadi semakin tersingkirkan.
Angka perceraian yang tinggi juga memicu ketidaknormalan perkembangan anak, misalnya anak cenderung menjadi tidak percaya diri dan tidak peduli terhadap orang lain atau lingkungan masyarakatnya. Untuk itu, masyarakat Minangkabau dihimbau untuk kembali pada pola berkeluarga dan pola mendidik anak sesuai filosofi Minangkabau, yang akan menjadi kontrol sosial yang sangat kuat bagi anak dan keluarga. Melalui penguatan peran keluarga inti dan keluarga kaum secara bersama dalam pendidikan keluarga dan anak ini, diharapkan berbagai godaan penyimpangan yang dapat menghancurkan masa depan generasi muda (seperti terjerat narkoba, penyuka pornografi (narkoba lewat mata/narkolema) yang dapat memicu ke perilaku LGB), dapat ditekan.
Pada saat jeda acara, penulis sempat berdiskusi dan menyampaikan kecemasan terkait berkurangnya peranan keluarga kaum bagi pendidikan anak di Minangkabau. Namun Bundo Rhauda meyakinkan bahwa jika usaha dan kebersamaan terus diupayakan, Insyaallah situasi akan membaik. Bundo Rhauda menyarankan, “Usahakan anak kita dapat memenuhi tiga pegangan utama dalam proses mendidik anak di Minangkabau: 1) Jangan membuat Ibumu menangis, 2) Jangan membuat ayahmu mendapat masalah dan 3) Jangan membuat Mamakmu merasa malu”. Masya Allah, sungguh dalam makna dari ketiga hal ini. Penulis Pun mendapat pencerahan baru. Semoga kita mampu mendidik anak menjadi sosok yang percaya diri dan peduli karena ingin menjaga hati kedua orang tuanya, menjadi anak yang matang dan terkendali karena tak ingin mempermalukan kaumnya. Aamiin ya Allah…
Oleh: Henny Herwina
Dosen Biologi FMIPA Universitas Andalas, Biro Pendidikan dan Hukum Adat, Bundo Kanduang Sumatera Barat.