Hak Perempuan Di Parlemen Sudah Terwakilkan? 

oleh -156 views
oleh
156 views
Andriyan Raqibi, Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh: Andriyan Raqibi

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas

KEBERADAAN perempuan sebagai sebagai warga negara di dalam parlemen sudah pasti merupakan hal yang mutlak penting adanya. Hal tersebut dibutuhkan sebagai alat untuk mewakili golongan perempuan dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak hanya mampu melindungi hak-hak kaum perempuan tetapi juga mampu menyejahterakan para kaum perempuan.

Sehingga kasus-kasus diskriminasi, pelecahan, dan kekerasan terhadap perempuan mampu dihilangkan. Pertanyaannya, apakah saat ini kaum perempuan sudah terwakilkan di parlemen dan apakah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sudah mewakilkan para kaum perempuan?

Keterwakilan perempuan

Berdasarkan data yang diperoleh di situs resmi Badan Pusat Statistik Indonesia. Ditemukan data keterlibatan perempuan dalam parlemen di Indonesia sebagai berikut. Pada tahun 2010-2011 sebesar 17,49%, pada 2012-2013 sebesar 18,04%, pada 2014-2018 sebesar 17,32%, pada 2019 sebesar 20,52%, pada tahun 2020 sebesar 21,09% dan pada tahun 2021 sebesar 21,89%.

Data tersebut menunjukkan bahwa angka keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang tidak stabil bahkan pernah mengalami penurunan pada tahun 2014 sebesar 17,32% dari tahun sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 18,04%.

Pada tahun 2021 meskipun menunjukkan angka peningkatan tertinggi keterlibatan perempuan dalam parlemen sebesar 21,89%. Hal tersebut masih merupakan persentase yang rendah dalam keterlibatan perempuan di parlemen dikarenakan Indonesia memiliki kebijakan affirmative action yang bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan dibidang politik sekurang-kurangnya 30%.

Kebijakan tersebut dimuat dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dengan akhir pembaharuan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keterlibatan perempuan sebesar 21,89% pada tahun 2021 menunjukkan belum efektif dan efisiennya pelaksanaan kebijakan affirmative action di Indonesia atau dapat dikatakan kebijakan tersebut gagal diwujudkan selama dua dasawarsa. Hal tersebut kemudian akan berpengaruh terhadap kebijakan yang diciptakan parlemen dikarenakan rendahnya keterwakilan perempuan di dalam parlemen Indonesia.

Kebijakan Bagi Perempuan

Parlemen memiliki tugas untuk menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), Kemudian menerima RUU yang diajukan DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran daerah; pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah membahas RUU yang diusulkan oleh presiden ataupun DPD, Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD, menetapkan UU bersama presiden dan menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU. Selain itu Parlemen juga bertugas untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.

Data tugas Parlemen di atas menjelaskan bahwa dengan tingginya angka keterwakilan perempuan di dalam parlemen maka akan memberikan kesempatan yang semakin besar terciptanya kebijakan yang melindungi dan menyejahterakan para kaum perempuan.

Hal ini karena hanya kaum perempuan sendirilah yang akan mampu memahami kaum perempuan itu sendiri. Sehingga dengan tingginya angka keterwakilan perempuan di dalam parlemen maka kemungkinan parlemen untuk menyerap, mengimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi kaum perempuan semakin besar yang kemudian dapat ditindaklanjuti parlemen untuk disusun dan dibahas sebagai RUU untuk dijadikan UU.

Sederhananya parlemen merupakan badan yang membuat kebijakan yang berarti bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan maka kemungkinan terciptanya kebijakan yang mewakili perempuan akan semakin besar.

Salah satu contoh bentuk bukti dari penjelasan diatas adalah disahkannya RUU Tindak Pindana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang setelah mangkrak selama 10 tahun dari tahun 2012 yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan. UU tersebut disahkan oleh DPR dibawah pimpinan Puan Maharani pada Selasa, 12 April 2022.

Fenomena tersebut merupakan salah satu dampak positif dari meningkatknya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia yang pada 2021 menjadi sebesar 21,89% bahkan diketuai juga oleh seorang perempuan. sehingga dapat terciptanya kebijakan yang mampu melindungi dan menyejahterakan kaum perempuan.

Namun meskipun demikian angka keterwakilan tersebut masih tergolong rendah bahkan tidak sesuai dengan UU no 8 Tahun 2012 yang mengatur bahwa sekurang-kurangnya keterwakilan perempuan sebesar 30%.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan bagi perempuan di parlemen Indonesia belum terwakilkan. Hal tersebut menyebabkan tidak mengherankan masih tingginya diskriminasi, dan pelecehan terhadap para kaum perempuan dikarenakan kebijakan yang dibuat parlemen minim akan keterwakilan perempuan. berdasarkan Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan 36 Tahun Pengesahan CEDAW (24 Juli 2020) dijelaskan bahwa masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang menghambat penghapusan diskriminasi dan kekerasan pada perempuan, seperti UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang dianggap tidak memiliki kepastian hukum bagi perempuan dan dianggap merugikan perempuan ( pada pasal 1 angka 1, pasal 4, pasal 10, pasal 20, pasal 21, dan pasal 23 yang bertentangan dengan UUD 1945), UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Interaksi Elektronik yang dikarenakan menyebabkan perempuan sering terjerat pasal-pasal represif yang sering merugikan kebebasan ekspresi perempuan, dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 bahwa usia perkawinan minimal perempuan adalah 16 tahun yang dianggap merugikan perempuan untuk mendapatkan hak pendidikannya menjadi lebih panjang yang diperparah pada ayat 2 yang memberi dispensasi sehingga perempuan dapat dinikahi pada usia 14 tahun.

Diskriminasi lainnya juga terdapat pada pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga yang mengakibatkan pada definisi data kemiskinan di Indonesia, perempuan tidak dimasukkan dalam kategori miskin padahal tidak sedikit perempuan yang menjadi kepala keluarga baik karena perceraian maupun dikarenakan ketidaksanggupan suami.

Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa cara untuk menciptakan kebijakan parlemen yang mampu mewakilkan perempuan adalah dengan melalui peningkatan keterwakilan perempuan itu sendiri pada parlemen Indonesia.

UU No 8 tahun 2012 merupakan salah satu kebijakan yang harus dimanfaatkan kaum perempuan yang memberikan affimative action kepada kaum perempuan sebesar 30% untuk masuk dalam parlemen Indonesia. Kemudian pada tahun 27 Februari 2021 dalam diskusi publik “Mengawal Regulasi Keterwakilan Perempuan di Legislatif” Menteri Pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (PPPA) yang optimis keterwakilan perempuan pada parlemen 2024 akan mencapai 30%.

Hal serupa juga disampaikan oleh Kemenko PMK setelah melakukan pertemuan dengan sembilan partai politik yang berkomitmen mendukung untuk mencapai target tersebut. Partai tersebut diantaranya adalah PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.

Semangat tersebut harus mampu dimanfaatkan oleh para kaum perempuan untuk masuk kedalam parlemen 2024. Sehingga dengan demikian keterwakilan perempuan dalam parlemen mampu diwujudkan yang kemudian berperan besar dalam penciptaan kebijakan-kebijakan yang mewakili, melindungi, serta menyejahterakan para kaum perempuan.(analisa)