Padang,— Prof Asrinaldi, Senin 16/5-2023 dikukuhkan, sekaligus menambah skuad Guru Besar FISIP dan UNAND.
Prof Asrinaldi pada pengukuhannya di Convention Hall UNAND menyampaikan pidato Guru Besar dengan judul Eksistensi Partai Politik Dalam Keberagaman Identitas Bangsa Serta Dampaknya Pada Penguatan Demokrasi Pancasila di Indonesia.
Di pidato Prof Asrinaldi identitas politik adalah keniscayaan dalam mewujudkan perjuangan kelompok politik dalam kondisi yang majemuk.
“Kondisi ini adalah lumrah karena setiap entitas politik memiliki visi dan misi yang ingin mereka wujudkan. Setiap entitas politik berusaha mendapatkan apa yang mereka cita-citakan dalam perjuangan mereka. Begitulah dinamika dalam sistem politik yang menempatkan kelompokkelompok politik saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan yang bertujuan membentuk pemerintahan yang absah,”ujar Prof Asrinaldi di banyak media publik terkenal dengan kepakaran pada Komunikasi Politik.
Perjuangan dari entitas politik ini tentu memiliki perbedan-perbedaan yang didasari oleh identitas politik yang mereka ciptakan. Identitas politik ini diwujudkan dalam bentuk manifesto politik yang mereka perjuangkan.
Tentu tidak ada persoalan dengan identitas politik ini sepanjang identitas tersebut ditempatkan dalam tatanan berbangsa dan bernegara.
“Apalagi NKRI dibangun dari identitas-identitas yang beragam dari aspek suku, bangsa, agama dan antar golongan yang menjadi karakter Indonesia,” ujar Prof Asrinaldi.
Untuk membingkai agar manifesto politik entitas yang beragam
ini berada dalam tatanan NKRI, maka negara harus mengatur identitas politik
kelompok yang berbeda ini berada dalam wadah UUD 1945.
“UUD 1945 dijadikan sebagai dasar dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan modern ke depannya. Apalagi tujuan NKRI sudah ditegaskan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yaitu “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…, “ujarnya.
Ada makna yang jelas dalam pembukaan UUD 1945 tersebut bahwa identitas-identitas politik yang berbeda dalam masyarakat tersebut harus melebur ke dalam identitas nasional yang tercermin dalam tujuan bernegara yang harus dicapai.
“Pemilu selalu memunculkan friksi identitas dari kelompok politik
yang bertanding, tidak hanya partai politik, tapi juga individu-individu yang
menjadi peserta Pemilu. Fenomena ini juga lumrah terjadi karena setiap peserta Pemilu akan bersaing mendapatkan dukungan pemilih melalui identitas politik yang menjadi dasar membangun garis perjuangan mereka dalam sistem politik,”terangnya.
Mereka membangun manifesto politik dari identitas yang ditonjolkan sehingga
diketahui oleh para pendukung mereka sekaligus menjadi landasan bagi
pendukungnya untuk memilih calon dan partai politik tersebut.
Oleh karena identitas politik yang berbeda masing-masing partai dibingkai dalam wadah UUD 1945 sebagai landasan bernegara, mestinya tidak akan terjadi politisasi identitas yang mengarah pada konflik politik di antara partai politik yang bertanding. Karena konstitusi dan undang-undang sudah tegas mengaturnya serta sanksi yang diberikan kepada kelompok yang melanggarnya.
Karenanya kata Prof Asrinaldi, cukup mengherankan kalau muncul politik identitas ini dalam setiap Pemilu, kecuali elite partai politik yang mempolitisasi tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai asas politiknya.
“Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan keberadaanya dibangun di atas keberagaman ini. Tidak ada persoalan sesungguhnya dengan keberagaman ini kecuali memang ini sengaja dipermasalahkan oleh kelompok
tertentu dengan tujuan politik tertentu. Hanya dinamika politik di antara elite
yang ada di lembaga negara yang dapat menjaga keragaman Bangsa Indonesia
ini,”ujar Asrinaldi.
Sebaliknya, elite politik pulalah yang dapat menjadikan keragaman ini
sebagai dasar untuk berkonflik.
Demokrasi akan hidup dan berkembang dengan baik, jika elite menjadikan keberagaman ini sebagai dasar berpolitik.
Sebaliknya, demokrasi akan mengalami defisit, jika pilihan elite politik adalah
memperkuat identitas politik kelompok mereka dan mengabaikan identitas
bersama yang sudah disepakati dalam UUD 1945 dan Pancasila.
“Sejarah sudah membuktikan, kehancuran sebuah negara yang berbilang kaum dimulai dengan menguatnya identitas-identitas etnis, suku, ras dan agama yang dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan belaka,” ungkap Asrinaldi.
Realita ini harus dipahami oleh elite politik dan massa pendukungnya untuk tidak bermain-main dengan politik identitas, apalagi untuk memenangkan Pemilu.
Walaupun Pemilu adalah sarana untuk rakyat memilih elite dalam kerangka pembentukan kepemimpinan di level lokal dan nasional, namun tidak berarti rakyat harus dimanipulasi dengan isu-isu identitas sempit yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan.
“Kondisi inilah yang harus dipahami secara bijaksana oleh elite
politik dalam menggunakan kekuasaanya,” ujar Asrinaldi.(adr)