Ini Anatomi Perkara Melilit Kadiskes Payakambuh Versi Zamri SH

oleh -1,297 views
oleh
1,297 views
Zamri SH, Penasehat Hukum BKZ publis anatomi kasus dugaan korupsi APD Covid-19 yang melilit klienya. (dok/han)

Payakumbuh — Penasehat Hukum Terdakwa Korupsi Dineska Payakumbuh, Zamri, SH menyampaikan ke publik anatomi kasus melilit klienya yang kini tengah sidang martahon di Pengadilan Tipikor Padang.

Anatomi ini kata Zamri supaya publik tahu bagaimana Tim Kuasa Hukim Kadiskes Payakumbujh ini menganalisa kasus dihadapai Zerdakwa BKZ. Yukk silahakan disimak:

A. Secara sederhana kasus yang kemudian diperkarakan Keari Payakumbuh ini terjadi diawali kebutuhan mendesak APD saat covid melonjak di Payakumbuh.

Satgas Covid-19 yang terdiri dari Walikota, Kajari, Kapolres, Dandim dan Danyon kemudian memutuskan untuk membeli APD bagi Nakes. Pada titik ini kegiatan ini bisa disebut sebagai kegiatan Satgas. Dinas Kesehatan Payakumbuh kemudian melaksanakan kegiatan Satgas dengan melakukan pengadaan.

B. Produsen APD yang direkomendasikan Walikota Payakumbuh (bahasa rekomendasi seorang walikota ke bawahan sama dengan perintah,red) adalah Bunda Puteri. Walikota Payakumbuh sendiri saat bersaksi di persidangan sudah mengakui dirinya yang merekomendasikan Bunda Putri dan mengakui berteman dengan Bunda Putri. Pemesanan APD kemudian dilakukan kepada Bunda Puteri.

C. PPK Dinas Kesehatan (seorang Kabid Dinkes payakumbuh) dan PPK RSUD (Direktur RSUD) kemudian melakukan pengadaan dengan meminjam nama perusahaan untuk memudahkan administrasi. Saat proses administrasi pengadaan tersebut belum selesai, barang yang dikirim Bunda Putri sudah sampai di Padang dan Bunda Puteri mendesak pembayaran atas APD miliknya.

Karena desakan pembayaran, walikota memerintahkan PDAM menalangi pembayaran APD yang dikirim Bunda Puteri sebesar Rp245 juta. PDAM lalu mengirimkan dana ke rekening Eha Julaeha, atas nama perusahaan yang namanya dipinjam dalam pengadaan yang masih proses tersebut. Dalam sidang terungkap jelas rekening pengirim dan rekening penerima.

D. Pembayaran duluan sebelum proses pengadaan selesai secara administrasi secara hukum dibolehkan di masa darurat/pandemi, dan ada aturannya.

E. Setelah proses pengadaan selesai, dana Pemko turun ke Dinas Kesehatan dan kemudian oleh PPK dikirimkan ke rekening perusahaan yang namanya dipinjam tersebut. PPK dan perusahaan yang namanya dipinjam tersebut kemudian mencairkan dana tersebut dan mengirimkan ke PDAM (Perumda Tirta Sago) sebagai pengganti uang yang dikirimkan PDAM sebelumnya kepada Bunda Puteri melalui rekening Eha Julaeha seperti penjelasan huruf C.

F. Kegiatan pengadaan inilah (kegiatan Satgas yang dilaksanakan Dinkes) yang oleh Kejari Payakumbuh sebagai ke Pengadaan Fiktif. Alasan jaksa karena pemesan APD kepada Bunda Puteri tidak sama dengan perusahaan pengirim uang ke Bunda Puteri.

“Terkait ini perlu kami jelaskan bahwa pemesanan APD kepada Bunda Putri dilakukan atas rekomendasi/instruksi walikota, dinas kesehatan melakukan pengadaan untuk pembayaran atas kegiatan Satgas memesan APD. Jadi bisa dikatakan, pengadaan Dinkes adalah kegiatan administrasi agar kegiatan Satgas bisa dibiayai dengan uang negara. Namun jaksa mengabaikan semua peristiwa ini untuk menargetkan Kepala Dinas Kesehatan Payakumbuh,”ujar Zamri SH.

G. Kejari Payakumbuh juga mendasarkan tuduhan bahwa tidak ada APD yang dikirim Bunda Puteri berdasarkan audit akuntan internal Kejati Sumbar.

“Perlu kami jelaskan, audit yang dilakukan auditor internal Kejati Sumbar tak memenuhi syarat minimal standar audit. Auditor hanya mengkonfirmasi kepada beberapa pihak tanpa melakukan kroscek ke penerima APD yaitu, RSUD, Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Fakta di persidangan bahkan menunjukkan pihak yang dikonfirmasi auditor internal Kejati Sumbar saat bersaksi di persidangan mengatakan bahwa APD yang dikirim Bunda Puteri memang ada dan didistribusikan ke penerima seperti RSUD dan Puskesmas. Fakta sidang adalah fakta hukum. Dan fakta hukum ini membantah asumsi jaksa bahwa APD tidak ada sehingga pengadaan Dinkes sebagai pelaksana kegiatan Satgas sebagai kegiatan fiktif, terbantahkan,”ujar Zamri.

H. Perlu diketahui, perkara ini awalnya oleh jaksa dibuat seakan-akan perbuatan sendiri dan tanggung jawab sendiri Kepala Dinas Kesehatan Payakumbuh. Hal itu terlihat sampai terdakwa disidangkan.

Penetapan enam terdakwa baru oleh Kejari Payakumbuh terjadi setelah terdakwa mengirimkan surat pengaduan kepada Kejagung atas perlakuan tidak adil terhadap dirinya dan dugaan adanya upaya kriminalisasi terhadap dirinya oleh oknum jaksa Payakumbuh. Bahkan sebelum penyidikan ada dugaan upaya pemerasan dilakukan oknum jaksa payakumbuh.

I. Kejanggalan lain perkara ini adalah, meski secara terang benderang uang PDAM dikirim ke rekening Eha Jualeha dan ada pemesanan APD kepada Bunda Puteri, jaksa tak memeriksa Eha Julaeha dan atau Bunda Puteri. Jika memang jaksa berniat membuktikan APD tak ada dikirim Bunda Puteri, tentu jaksa memandang Eha Julaeha dan Bunda Puteri menikmati uang negara.

Dan keduanya tidak saja layak menjadi saksi tapi juga layak menjadi tersangka. Dengan tak diperiksanya Eha Julaeha dan Bunda Puteri yang keberadaannya jelas dan terang mengingat rekeningnya jelas, tentu patut diduga jaksa sengaja tak memeriksa keduanya karena keduanya akan melemahkan atau memghancurkan konstruksi jaksa bahwa tak ada APD yang dikirim Bunda Puteri ke Padang Sumbar. Sampai disini sangat patut diduga jaksa sengaja tak memeriksa Eha Julaeha dan Bunda Puteri agar tak terbongkar titik lemah konstruksi jaksa mengkriminalisasi Kepala Dinas Payakumbuh BKZ.

‘J. Demi tegaknya hukum dan terwujudnya rasa keadilan, kami mendesak Majelis Hakim Tipikor agar membuat penetapan yang berisi perintah kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan Eha Julaeha dan Bunda Puteri di persidangan. Jika benar Eha Julaeha dan Bunda Puteri tak mengirimkan APD tapi menerima uang negara, majelis hakim bisa memberikan penetapan kepada kejaksaan melalui JPU untuk menjadikan keduanya sebagai tersangka,”ujae Zamri, SH.

Lebih lanjut, Zamri juga menuturkan harapannya terhadap kasus yang menimpa kliennya, pihaknya berharap Kejaksaan Agung turut andil dalam perkara ini.

“Kami mendesak Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah, untuk memeriksa secara benar-benar objektif perkara korupsi pengadaan APD atas nama terdakwa dr Bakhrizal, Kepala Dinas Kesehatan Payakumbuh,” terang Zamri.

Disisi lain, LSM Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Wilayah Sumatera Barat Rahmatsyah Dirwaster mengatakan selayaknya Pemko Payakumbuh bersikap arif untuk kasus ini.

“Kita dari LSM Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) Wilayah Provinsi Sumbar yang fungsinya sosial kontrol dan selayaknya Pemko Payakumbuh bersikap arif untuk memanite kasus itu. Bahwasannya kasus dugaan fiktif tersebut, di dalam fakta persidangan terungkap dari berapa saksi barangnya ada, lantas di mana bisa disebutkan fiktif, ini yang kita pertanyakan,” ungkap Arif. (han)