Ini Benang Merah Putusan MK tentang Eksekusi Jaminan Fidusia

oleh -2,415 views
oleh
2,415 views
DPP IKA FHUA gelar diskusi tenyang putusan MK terkait fidusia, Kamis 16/1 di Tebet Jakarta Selatan. (foto:dok)

Jakarta,—Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) dan (3) serta Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berlaku secara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional).

Artinya, ketentuan tersebut harus dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) jika syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi sesuai dengan amar putusan.

Ada 3 (tiga) syarat yang kemudian diberikan oleh MK yakni;

Pertama, terkait Pasal 15 ayat (2) diberikan syarat bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Kedua, terhadap Pasal 15 ayat (3) diberikan syarat bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

Ketiga, terkait Penjelasan Pasal 15 ayat (2) diberikan syarat bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.​

Jika melihat secara keseluruhan, pasal yang diuji tersebut sesungguhnya merupakan jantung dari ketentuan mengenai fidusia. Didalam ketentuan tersebut diatur bagaimana kreditur memiliki hak eksklusif untuk sewaktu-waktu dapat menyita atau mengambil hak kebendaan yang diperjanjikan.

Namun dalam praktiknya pengambilalihan ini dianggap tidak adil bagi debitur karena adanya perbedaan interpretasi bagaimana memaknai kalimat “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan” yang diatur dalam pasal tersebut.

“Pemohon pada awalnya menginginkan seluruh Pasal 15 UU tentang Jaminan Fidusia itu dibatalkan, namun tentu saja ada pertimbangan bahwa jika dibatalkan semuanya akan berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi ekonomi”, ungkap Veri Junaidi, salah satu Kuasa Hukum Pemohon dalam sebuah Diskusi bertema “Implikasi Putusan MK tentang Jaminan Fidusia terhadap Peran Notaris dan Kedudukan Kreditur” digelar DPP Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas (FHUA) di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan 16/1.

Veri mengatakan ketentuan tersebut merugikan kepentingan kliennya sebagai debitur. Misalnya apa yang menjadi kriteria terjadinya cidera janji atau wanprestasi, serta siapa yang bisa memutuskan bahwa telah terjadi cidera janji atau wanprestasi?

“Prinsipnya kan perjanjian itu dibuat oleh kedua-belah pihak dalam posisi yang setara, sehingga jika terjadi tindakan atau perbuatan yang disebut melanggar isi perjanjian, maka jika tidak tercapai kesepakatan seharusnya ada pihak lain yang memutuskan bahwa memang telah terjadi cidera janji. Selama ini dalam praktiknya cidera janji itu justru diinterpretasikan secara sepihak oleh kreditur, atas dasar itulah klien kami menilai itu tidak adil,”ujar Veri.

Sedangkan Dewi Andriani yang Notaris dan PPAT di Jakarta Timur menyebutkan pada konteks profesi notaris sebetulnya putusan MK tersebut tidak terlalu mempengaruhi.

“Fidusia itukan sudah menjadi pekerjaan sehari-hari profesi notaris, biasanya fidusia itu didaftarkan, jika tidak maka tidak akan diakui. Terkait fidusia ini, notaris hanya berperan diawal saja, ketika terjadi pelanggaran maka itu sudah diluar ranahnya notaris”, ungkapnya.

Dewi berpandangan sebetulnya MK tidak perlu merubah norma dalam undang-undang fidusia, karena selama ini masih dianggap cukup. Hanya saja dalam ranah praktik, perjanjian kredit yang dibuat seharusnya lebih detail, termasuk bagaimana dan kapan sebuah peristiwa dianggap wanprestas atau kelalaian.

Denny Azani B. Latif, yang berprofesi sebagai pengacara yang juga seorang kurator, di forum diskusi DPP IKA FHUA mengatakan jika dalam praktik eksekusi jaminan fidusia dilakukan secara paksa, misalnya terjadi ketika menyangkut kendaraan bermotor yang dilakukan di jalan raya. Maka bisa saja itu masuk ranah pidana.

Namun Denny menyarankan bagi para debitur yang merasa dirugikan bisa melakukan pengecekan terhadap akta fidusianya.

​“Dalam praktiknya, kebanyakan tidak ada yang mendaftarkan fidusia, apalagi jumlahnya ratusan bahkan ribuan, ini tentu berimplikasi terhadap biaya. Sehingga jika ada debitur yang komplain, bisa mencoba langkah ini, sebab jika tak ada akta fidusia, maka itu menjadi murni kesalahan perusahaan sehingga fidusia dianggap tidak ada,”ujar Denny.

Kata Denny komponen-komponen biaya yang dibayar debitur, sudah termasuk di dalamnya biaya fidusia, hanya saja perusahaan enggan melakukan pendaftaran.

Denny juga menyarankan dalam perjanjian seharusnya disebutkan juga, jikapun ada penarikan objek fidusia maka itu dilakukan sendiri oleh kreditur, bukan melalui pihak ketiga apalagi melalui cara-cara kekerasan yang bisa berujung pidana.

Peserta dan narasumber foto bersama usai diskusi putusan MK, Kamis 16/1.(foto:.dok)

​Di penghujung diskusi muncul beberapa catatan tambahan yang sekiranya perlu diantisipasi pasca keluarnya putusan MK ini.

Misalnya apa definisi secara formal dan teknis tentang apa yang disebut sebagai “upaya hukum”, apakah melalui proses peradilan atau bisa diluar pengadilan.

Kemudian apakah ini berlaku untuk seluruh jaminan fidusia atau hanya untuk objek tertentu yang memiliki nilai yang besar. Termasuk bagaimana merumuskan kriteria didalam perjanjian mengenai apa yang disebut sebagai wanprestasi atau cidera janji.

​Terakhir tujuan dari putusan MK ini tentu dalam konteks upaya untuk mencapai suatu kondisi yang menempatkan kreditur dan debitur dalam posisi yang seimbang.

Selama ini praktik perjanjian fidusia kurang memberikan perlindungan kepada debitur selaku konsumen sekaligus pihak yang seharusnya setara dengan kreditur. Dan ketika terjadi wanprestasi seharusnya memang ada proses hukum, misalnya secara perdata, sehingga debitur bisa melakukan perlawanan hukum.

Namun proses hukum ini tentu saja tidak harus dimaknai melalui prosedur pengadilan, mesti ada alternatif agar lebih efektif dan efisien. Dilain pihak persoalan fidusia ini tentu tidak hanya sebatas eksekusi saja, dalam praktiknya ada juga kreditur yang “nakal”, misalnya ketika jaminan fidusianya diasuransikan, maka akan objeknya akan dirusak/dihancurkan agar bisa diklaim kepada asuransi (rilis: rz/ diskusi).