Ini Dia.. Urgensi Penataan Kelola Pemilu dan Permasalahan Pemilu 2024

oleh -189 views
oleh
189 views
Departemen Ilmu Politik FISIP UNAND gelar webinar hadiri guru besar dan dua komisioner penyelenggara pemilu, Sabtu 17/12-2022. (ar)

Padang — Departemen Ilmu Politik FISIP UNAND kembali menyelenggarakan webinar dalam rangka menyonsong pemilu 2024, webinar mengangkat topik menghelitik, ini dia “Urgensi Penataan Kelola Pemilu dan Permasalahan Pemilu 20224”.

Webinar berlangsung, Sabtu 17 Desember 2022 pukul 09.00-12.00 WIB, menghadirkan empat pembicara utama – Yuzalmon (KPU Sumatera Barat), Elly Yanti (Bawaslu Sumatera Barat), Asrinaldi (Departemen Ilmu Politik UNAND), dan Adinil Zetra (Departemen Ilmu Politik UNAND).

Yuzalmon menyampaikan ada dua aspek yang menjadi hal urgen dalam penataan kelola pemilu yaitu kebijakan dan manajemen tata kelola pemilu (teknis).

“Aspek kebijakan mencakup masukan untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu dan aspek teknis lebih menyangkut masalah pelaksanaan di lapangan demi terselenggaranya pemilu yang berkualitas dan berintegritas,” uajr Yuzalmon.

Komsioner KPU Sumbar ini juga mengulas beberapa hal yang menjadi potensi permasalahan yang akan muncul pada pemilu 2024 seperti validasi DPT, perbedaan tafsir penyelenggaraan dan isu pemilu antara KPU dan Bawaslu, tingginya beban kerja penyelenggara pemilu, penyediaan dan distribusi logistik, hoax, politik uang uang, kampanye hitam dan ujaran kebencian. Sementara

Elly Yanti menyampaikan di Webinar Departemen Ilmj Politik FISIP UNAND, KPU dan Bawaslu merupakan dua lembaga penyelenggara pemilu dengan tugas yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain.

Bawaslu sendiri lebih fokus pada pekerjaan pengawasan pemilu demi terselenggaranya pemilu yang berintegritas dimana dalam kerjanya Bawaslu menggunakan sistem pengawasan melekat dan pengawasan sampel.

“Terkait permasalahan pemilu, politik uang dan kampanye hitam merupakan dua hal yang berpotensi menjadi persoalan dan pelanggaran pada pemilu mendatang. Potensi pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh peserta pemilu ataupun pemilih (simpatisan parpol) tetapi juga penyelenggara pemilu terlebih lagi pada tingkat ad hoc dimana ada banyak panitia yang memiliki afiliasi ke peserta pemilu (parpol atau kandidat),”ujar Elly Yanti.

Oleh karena itu, Elly Yanti juga mengajak partisipasi aktif dari masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu 2024 dan melaporkannya apabila menemukan pelanggaran pemilu.

Asrinaldi berpendapat, pemilu seharusnya menjadi sarana pendidikan politik untuk masyarakat di mana semakin berintegritas pelaksanaan pemilu maka semakin besar pula kepercayaan publik terhadap demokrasi dan institusi politiknya.

Namun hal yang terjadi, berdasarkan pengamatan Asrinaldi, adalah penyelenggaraan pemilu selama ini lebih banyak berkutat pada aspek demokrasi prosedural daripada demokrasi subtantif.

“Pemilu hanya menjadi rutinitas selama lima tahun dengan permasalahan yang cenderung sama. Pemilu belum bisa menghadirkan peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Asrinaldi.

Terkait tata kelola pemilu 2024, Asrinaldi menyoroti tentang proses verifikasi partai politik yang menimbulkan kecurigaan publik tentang tekanan politik terhadap penyelenggara pemilu, netralitas penyelenggara pemilu, dan sikap penyelenggara pemilu yang kurang tegas dan bermain aman dari gugatan parpol.

“Beberapa persoalan tata kelola pemilu lainnya yang tak kalah krusial meliputi validasi dan verifikasi DCS/DCT, kampanye, dan pemunggutan suara,” ujar Asrinaldi.

Sebagai kesimpulan, Asrinaldi mengatakan bahwa penatakelolaan pemilu yang baik menjadi indikator pemilu yang berkualitas dan berintegritas yang sekaligus menjadi tujuan utama dari demokrasi elektoral.

Aidinal Zetra mengatakan bahwa prinsip utama dari penyelenggaraan pemilu adalah integritas agar pemilu menghasilkan kualitas pemerintahan yang sangat baik. Beberapa indikator dari pemilu yang berintegritas meliputi tersedianya kerangka hukum yang tegas dan jelas, penyelenggara pemilu yang independen, kesetaraan akses untuk semua peserta pemilu, kampanye yang fair dan demokratis, terjaminnya hak pilih, akses media dan kebebasan berekspresi, dan pemunggutan suara yang transparan.

“Meskipun demikian, pada prakteknya juga terdapat intervensi terhadap penyelenggara pemilu dari para partai politik yang dapat memberikan keuntungan untuk mereka. Terkait tata kelola pemilu, Aidinil menyinggung dua hal krusial yaitu aspek teknis dan penerimaan sosial,”ujar Aidinil.

Misalnya dalam hal teknis, Aidinil mengatakan bahwa seharusnya penyelenggara pemilu harus bebas dari segala bentuk intervensi dari parpol mulai dari regulasi, anggaran, hingga daerah pemilihan.

Dari segi penerimaan sosial, masyarakat kita pada umumnya masih percaya pada penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu, partisipasi pemilih yang cukup tinggi, penerimaan terhadap hasil pemilu. Namun penyelenggara pemilu juga memiliki pekerjaan penting untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan agar pemilu menjadi lebih berkualitas.

Sebagai penutup, Aidinil merekomendasikan agar penyelenggara pemilu dapat menyederhanakan kompleksitas pemilu Indonesia melalui proses digitalisasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

“Selain itu, keterlibatan aktif dari masyarakat sipil (civil society) untuk bersama-sama mengawal pemilu yang berintegritas, adil, dan berkualitas sangat dibutuhkan demi kelangsungan masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik,” ujar Aidinil.(ar)