Ini Pemicu Polemik Pencabutan Minyak Goreng versi Hj Nevi Zuairima

oleh -102 views
oleh
102 views
Hj Nevi ungkap polemik Minyak Goreng saat dialog di televisi lokal. Sumbar. (hd)

Padang – Anggota DPR RI Asal Sumatera Barat II, Nevi Zuairina pada dialog di Padang TV (televisi lokal Sumbar) ungkap polemik yang terjadi di pencabutan subsidi minyak goreng.

Polemik ini semakin meningkat ketika minyak goreng curah dicabut setelah sebelumnya minyak goreng kemasan premium sesuai mekanisme pasar.

“Saya sangat menyayangkan ketika subsidi minyak goreng curah dihilangkan. Kebijakan pemerintah mencabut subsidi minyak goreng curah, mengakibatkan masyarakat menengah bawah dan pelaku usaha kecil bergejolak karena mereka masih sangat membutuhkan subsidi minyak goreng,”ujar Hj Nevi Zuairina di dialog tersebu.

Nevi sangat menyadari bahwa tidak mungkin seluruh konsumen curah dicover oleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) Migor (minyak goreng) oleh karena itu ketepatan penyampaian subsidi inilah yang menjadi tantangan berat.

“Melepas Migor subsidi ke mekanisme DMO hanya akan mengulangi kesalahan yang sama, dimana harga akan semakin mahal”, kritik pokutisi nasional PKS ini.

Istri Irwan Prayitno ini menegaskan bahwa, pencabutan subsidi pada saat ini tidak tepat, mengingat harga minyak goreng curah yang masih tetap mahal.

Hj Nevi Zuairina juga menekankan, pada pemberian BLT minyak goreng kepada masyarakat yang membutuhkan belum tentu mengcover semua masyarakat miskin. Karena data yang dimiliki pemerintah juga perlu di validasi ulang.

“Saya melihat, pencabutan subsidi minyak goreng ini bukan rakyat kecil yang diuntungkan. Apalagi sampai sekarang harga minyak goreng curah masih mahal di atas HET yang ditetapkan pemerintah.Kalau dari sudut pengusaha, mereka pasti diuntungkan dan tidak akan rugi. UMKM kita yang menggunakan minyak goreng, tentu akan berdampak secara langsung , terutama terhadap operasional mereka. Biaya produksi yang dihasilkan akan menjadi lebih mahal, dan tentu secara tidak langsung akan berdampak pada menurunnya omset penjualan UMKM,”ujar Hj Nevi.

Legislator asal Dapil Sumatera Barat II ini mengingatkan pemerintah bahwa saat ini, masyarakat baru saja merasakan dampak pandemi, sehingga mereka tentu akan lebih menahan keinginan belanja.

Tapi ia yakin, masyarakat kita akan mampu bertahan melewati krisis ini dan untuk dirinya akan terus berupaya melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat.

“Saya menyarankan, agar pemerintah membenahi distribusi minyak goreng curah untuk kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro,”uajr Hj Nevi.

Kemudian kata Hj Nevi mesti menyepakati model bisnis dan mekanisme distribusi minyak goreng dengan produsen besar dalam konteks tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk sama-sama menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kedua kelompok tersebut dengan harga terjangkau.

“Berikutnya tentu mendorong BUMN Pangan baik Bulog maupun ID Food, untuk memperbesar perannya baik dalam mekanisme distribusi dan pengendalian pasokan. Hal itu penting untuk menjadikan BUMN sebagai kekuatan penyeimbang sekaligus representasi negara dalam memenuhi hajat hidup masyaraka,”ujar Hj Nevi menyarankan.

Anggota DPR Komisi VI ini berpendapat bahwa peraturan-peraturan terkait minyak goreng ini masih belum dapat mengontrol penetapan HET migor.

Hj Nevi memberi fakta bahwa harga minyak goreng curah tiap harinya fluktuatif cenderung naik dengan rerata nasional Rp18.100 per kg.

Harapannya menurut Nevi yakni segala upaya dan terobosan pemerintah dalam menstabilkan harga dan kuota minyak goreng curah bisa terlaksana dan tidak menyusahkan masyarakat.

“Yang jelas, sampai hari ini harga minyak goreng curah masih di atas HET yang ditentukan pemerintah. Jadi kita akan terus mengawasi dan evaluasi pemerintah dalam menyelesaikan urusan minyak goreng ini,”ujar Hj Nevi.

Berkaitan dengan program SIMIRAH, Nevi meminta pemerintah mesti membangun sistem yang terintegrasi sempurna. Keadaan masih adanya penjual dan pembeli yang gaptek pasti akan kita temukan dalam dunia pasar Indonesia, khususnya pasar tradisional. Dan ini tentu akan menjadi masalah kalau tidak ada tindakan preventif oleh pemerintah.

“Seharusnya pemerintah sudah memikirkan hal ini berikut dengan solusinya. Melihat profil masyarakat kita yang akan belanja minyak goreng curah ini rendah literasi digital, saya akan terus mendorong pemerintah untuk memasifkan sosialisasi dan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, utamanya konsumen minyak goreng curah. Termasuk masyarakat di pelosok nusantara. Intinya harus merata dan berkeadilan,” ungkapannya.

Untuk para produsen sawit terutama petani rakyat, Nevi berpendapat, adanya sebuah ironi yang melanda para pelaku usaha rakyat ini.

“Tentu menjadi ironi ketika harga sawit turun, tapi harga minyak goreng belum juga terlihat tanda-tanda turun. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok tajam sejak pemerintah mengumumkan larangan ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya sejak 28 April 2022. Namun tidak sampai sebulan kebijakan ini sudah dicabut. Dan perlahan harga sawit kembali mulai naik dan menguntungkan petani. Terkait masih mahalnya harga minyak goreng curah, seperti yang saya sampaikan tadi, ada permasalahan dalam hal distribusi. Sehingga harga masih belum bisa mengikuti HET yang ditetapkan. Dan semoga saja dengan program SIMIRAH, hal ini bisa diatasi dengan cepat,”tambahnya.

Nevi menyampaikan gagasannya terkait program yang relatif pas dengan kondisi masyarakat Indonesia bahwa.

Untuk program jangka pendek, dalam menyelesaikan krisi minyak goreng ini, seperti yang disampaikan tadi, ada 3 hal, yaitu Pertama, pemerintah harus membenahi distribusi minyak goreng curah untuk kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro.

Persoalan utama krisis minyak goreng, khususnya untuk dua kelompok masyarakat tersebut adalah persoalan distribusi bukan produksi. inilah yang menyebabkan distorsi harga dan penyelewengan alokasi kepada kelompok yang tidak berhak.

Gagasan kedua ia mengatakan, menyepakati model bisnis dan mekanisme distribusi minyak goreng dengan produsen besar dalam konteks tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk sama-sama menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kedua kelompok tersebut dengan harga terjangkau.

Dan gagasan ketiga mendorong BUMN Pangan baik Bulog maupun ID Food, untuk

memperbesar perannya baik dalam mekanisme distribusi dan pengendalian pasokan. Hal itu penting untuk menjadikan BUMN sebagai kekuatan penyeimbang sekaligus representasi negara dalam memenuhi hajat hidup masyarakat.

“Untuk program jangka Panjang, Sebagai upaya nyata menyelesaikan masalah kelangkaan dan kemahalan, pemerintah perlu segera membentuk BUMN minyak goreng sawit. Hal ini penting karena masyarakat kita banyak yang bergantung dengan minyak goreng ini. Dari hulu hingga hilir, produksi hingga tata niaga minyak goreng mesti dikuasai dan dikendalikan pemerintah sehingga kebijakan harga akan efektif di lapangan,”ujar Nevi Zuairina.(hd) 2