Jati Diri Kaum Terdidik

oleh -973 views
oleh
973 views

Oleh :Asep Sapaat
Pemerhati Pendidikan,
Litbang di Klinik Pendidikan MIPA

MARI saksamai lirik sajak Seonggok Jagung (1975) karya W. S. Rendra, … Aku bertanya, apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota, kikuk pulang ke daerahnya? Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata di sini aku merasa asing dan sepi.” Sajak Rendra seolah menggugat kesadaran kita, untuk apa dan untuk siapa pendidikan itu?

Sekolah itu penting, tapi belajar jauh lebih penting. Karena esensi hidup itu untuk belajar, bukan cuma bersekolah. Belajar itu menuntut ilmu. Menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar mendapatkan selembar ijazah untuk mencari pekerjaan. Karena belajar, benar dan keliru pun jadi tahu. Ketika anak-anak Indonesia bersekolah, siapa bisa jamin anak-anak kita sudah belajar? Jika tak ada perubahan yang relatif permanen dalam ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik, maka itu tanda anak-anak Indonesia sudah bersekolah tetapi tidak belajar.

Pendidikan telah mengalami reduksi makna menjadi persekolahan. Yang bisa bersekolah itu orang terpelajar. Tapi, tak otomatis terdidik dengan baik. Seluruh energi kita habiskan untuk membuat anak bangsa bisa bersekolah. Kita teramat percaya diri dengan angka partisipasi kasar maupun angka partisipasi murni anak Indonesia yang bisa mengenyam bangku persekolahan mendekati angka 100 persen. Sayang seribu sayang, hasil dunia persekolahan masih saja melahirkan kaum terpelajar tapi tak terdidik. Indikatornya, rendah sikap kemandiriannya, miskin kreativitas, tak cakap bernalar, berperilaku buruk (menyontek, tawuran, perundungan, lemah tanggung jawab, dsb), dan muara dari semua itu, kaum terpelajar kita mengalami krisis jati diri. Alih-alih jadi aset masa depan bangsa, kaum terpelajar malah kerap menambah beban persoalan bangsa.

Idealnya, sistem pendidikan mampu membangun jati diri anak. Menanamkan kesadaran diri lewat aktivitas belajar, di mana pun dan kapan pun. Inilah tantangan terbesar dunia pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Secara tersirat, kesempurnaan hidup hanya bisa terwujud jika anak memiliki jati diri.

Tahap pertama membangun jati diri anak-anak Indonesia adalah dengan cara membantu mereka mengenali diri sendiri. Manusia terdiri dari unsur raga dan jiwa. Raga itu tampak, sedangkan jiwa tak kasat mata. Posisi raga sebagai kulit, sedangkan jiwa adalah isinya. Pendidikan harus mampu mengembangkan potensi fisik, potensi akal, dan potensi hati secara utuh dan menyeluruh agar bisa mendorong proses pembangunan jati diri anak-anak kita.

Saat proses mengenal diri, temani dan pandu mereka untuk memahami esensi hidup. Darimana kita berasal? Apa tujuan hidup? Apa tujuan belajar? Akan kembali ke mana kita? Kita adalah manusia yang diciptakan Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba, kita mesti taat dan senantiasa beribadah kepada-Nya. Sebagai pemimpin, kita menyadari tugas untuk berbuat kebaikan dan membangun kehidupan, bukan merusak harmoni dalam berbagai aspek kehidupan.

Setelah tahapan kenal diri, anak-anak Indonesia harus diajarkan dan dididik agar bisa merawat diri. Kunci keberhasilan pada tahap ini terletak pada kemampuan untuk mengeksplorasi kelebihan diri dan memperbaiki kekurangan diri. Manusia terlahir dengan kelebihan dan kekurangan. Pemerintah memiliki tugas untuk mengembangkan kelebihan anak-anak Indonesia agar menjadi kekuatan dan potensi kebaikan untuk bangsa. Sebaliknya, kekurangan diri terus diperbaiki agar bisa diubah menjadi kekuatan. Yang punya kelebihan diri bersemangat untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Yang sadar punya kekurangan diri tak lantas menjadi minder dan kehilangan kepercayaan diri. Mereka sabar berproses melakukan perbaikan diri. Sikap mental yang nyatanya dibutuhkan untuk menjalani kehidupan di masa depan.

Terakhir, tahapan tertinggi dari proses pembangunan jati diri adalah sadar diri. Puncak sadar diri adalah memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Karena telah selesai dengan persoalan dirinya sendiri, mereka kelak siap mengemban amanah menjadi pemimpin di masa depan, baik pemimpin dengan jabatan maupun pemimpin tanpa jabatan. Anak-anak kita ditempa jiwa kepemimpinannya. Kurikulum pendidikan kita mesti merancang pengalaman belajar yang mengasah jiwa kepemimpinan anak-anak.

Kita sudah terlalu sering merasa terpukul dan kecewa ketika masih ada saja kaum terpelajar kita yang tak punya jati diri. Meski gelar pendidikannya tinggi, alumni jebolan sekolah favorit dan kampus elit, bahkan memiliki jabatan penting, mereka masih bisa tersenyum dan tak merasa malu sudah berperilaku yang meresahkan masyarakat. Sudah saatnya kita sungguh-sungguh mendidik anak-anak Indonesia dengan memberi tuntunan dan menyokong tumbuh kembang anak atas kodratnya sendiri. Anak Indonesia boleh jadi apa pun dengan kecerdasan yang beragam sesuai anugerah yang diberikan Allah Swt berikan kepada masing-masing anak. Untuk menyempurnakan hal itu, anak-anak Indonesia harus dibina agar memiliki jati diri sebagai manusia terdidik. Masa depan bangsa ini ada di tangan anak-anak kita. Jika anak-anak Indonesia tak kenal diri, tak pandai merawat diri, dan tak sadar diri sebagai manusia terdidik, akankah Indonesia masih mempunyai masa depan? (analisa)