Jurnalis Ujung Tombak Lawan Hoax

oleh -741 views
oleh
741 views
Sekjend DPP IKA Unand Prof Reny Maryeni mendukung diskusi yang digelar bidang Humas DPP IKA Unand, Minggu 12/2 di Padang

Padang, Pemberitaan media harus merubah mindset, berita media harus menginspirasi masyarakat tidak sekedar informasi yang masuk telinga kiri, kekuar telinga kanan, jika ini tidak diantisipasi maka hoax makin merajalela dan kecemasan akan menggerus nilai-nilai kebangsaan tak bisa dihambat lagi.

“Wartawan harus terpacu dalam penyajian beritanya,

Komisioner Komisi Informasi Yurnaldi yang juga mantan wartwan Kompas memaparkan peran pers melawan informasi hoax pada diskusi DPP IKA Unand, Minggu 12/2 di Padang.

 

jangan sumber informasi dari atas atau menjadi corong narasumber pemerintah, meskinya ada perbandingan terhadap fakta di tengah masyarakat, selama ini tidak ada, maka hoax akan menjadi informasi pembanding oleh publik,”ujar mantan watawan Kompas yang kini menjadi Anggota Komisi Informasi Sumbar, Yurnaldi pada diskusi publik dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional di DPP IKA Unand Padang, Minggu 12/2.

Diskusi IKA Unand ini digelar oleh Bidang Humas DPP IKA Unand dalam rangka menjadi solusi untuk persoalan kekinian yang berkembang di masyarakat.
”Ini kegiatan awal di masa kepengurusan DPP IKA Unand dan bidang Humas berkomitmen untuk melaksanakan minimal satu bulan sekali,”ujar Humas DPP IKA Unand Adrian Tuswandi.
Selain itu, menurut Yurnaldi  kecendrungan media dengan berita analisis cepat dari akademisi, banyak pakar terutama dari Unand menurut Yurnaldi tidak siap.
“Akibatnya berita menarik sebuah media jadi hambar tersaji tanpa ada analisis dari pakar akademis, tidak media yang salah, tapi ketaksiapaan pakar saat diminta hari itu memberikan analisanya terkait isue trend kekinian,” ujar Yurnaldi.
Sedangkan soal hoax yang menggurita di lini masa sosial, menurut Yurnaldi bukan sebuah karya jurnalistik.
”Banyak cara untuk mengungkap apakan informasi itu hoax atau tidak kembalikan sajan ke pakem kode etik jurnalistik dan mekanisme chek and ricek, lalu kapasitas sumbernya, tak mungkin ahli pertanian bicara tentang obat-obatan,”tegasnya.
Sementara praktisi media pers, Almudazir mengakui bahwa ada gejala ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan media pers.
”Masyarakat penikmat informasi mulai jengah karena menikai informasi media massa pers cendrung menjadi corong pemerintah, apalagi media telat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, akibatnya penikmat informasi itu suka tidak suka dan mau tidak mau menjadi penyuka informasi hoax,”ujar Almudazir.
Praktisi pers Padang, Almudazir mengatakan pers terlambat memanfaatkan kemajuan informasi teknologi

 

Ada banyak cara mengantisipasi ini sehingga informasi hoax tidak meruyak ke tangah masyarakat. ”Pertama regulasi dan pengawasan pemerintah harus diperketat lagi, dan media massa mau membuka diri untuk menyajikan informasi yang berbasis idealisme jurnalis,”ujarnya.
Terkait minimnya akademisi untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, Almudazir belum maksimal, padahal sudah diberi lampu hijau oleh pimpinan perguran tinggi itu.
”Meminta hasil pebelitian dosen saja untuk ditampilkan di koran sulitnya minta ampun, padahal ketika penelitian dipublish ke publik, benefitnya sangat besar,”ujarnya.
Informasi di media sosial tidak sebuah pembenaran, tapi harus ada berita dari media menstream sebagai pembanding dan memberikan penyadaran bahwa informasi di media sosial adalah hoax. ”Jurnalis adalah ujung tombak penangkal informasi hoax yang tidak karya jurnalistik,”ujar Almudazir.
Akademisi Fisip Unand Hary Efendi mengatakan hoax merupakan hantu.
“Ini tantangan dan problem kita semua untuk mnghabisi hoax dan semua pihak harus berkontribusi untuk meniadakannya dari ruang ruang publik penikmat informasi,” ujar Harry.
Akademisi Fisip Unand Hary Efendi mengatakan Hoax adalah hantu yang harus dihabisi dari ruang lini massa penikmat informasi.
Dan ingat kata Harry hoax menggurita tidak terlepas dari kemajuan teknologi. “Era dulu berita bohong saya kira ada tapi itu tidak menyebar luas karena dulu itu tidak ada media sosial, tipsnya penikmat media sosial harus memintarkan diri dalam menerima apa saja informasi dari akun akun media sosialnya, kalau dinilai tidak informasi benar jangan dishare pula,”ujarnya.
Harry juga tidak menyakahkan media karena hambarnya berita tanpa analisa pakar. ”Ada banyak aturan melekat kepada guru besar di perguruan tinggi sehingga tidak menarik menjadi analisator isue trend kekinian di media, guru besar diatur harus memmbuat jurnal ilmiah kalau tidak tunjangannya tidak dibayarkan itu regulasinya,”ujar Harry.
Sementara Prof Reny Mayerni mengakui hoax tidak bisa dibiarkan, alat alat negara harua berbuat untuk menangkal ini.
”Kalau di Jakarta ada Kementerian Komunikasi Informasi dan di daerah ada Dinas Komunikasi dan Informasi bekerjalah sesuai regulasi untuk menangkal ini, jangan biarkan hoax mengopini baru ditangkal,”ujar Reni.
Lalu terkait minimnya guru besar bicara di media ini tidak terlepas sari beban kerja.
” Dosen Unand saya kira tidak ada yang alergi diwawancarai wartawan, tapi ya itu tadi ada beban aturan yang harus dikerjakan, dan itu menjadi penyebab agak berkurangnya animo dosen tampil di media pers,”ujarnya.
Sedangkan praktisi pers Sumbar, Alimran mengatakan kondisi kekinian pers tengah diserang oleh hoax.
”Hoax menyerang pers hingga keulu hati pera sendiri, mestinya pers melawan gelombang hoax ini,  mengatakan pers tidak hoax, pers bekerja sesuai kode etik jurnalis, kalau pers tidak melawan maka pers tengah berada di titik nadir dan tidak lagi menjadi pilar ke empat dari negara demokrasi,”ujar Alimran. (Adv/humas)