Kaesang, Surau dan Laki-laki Minang

oleh -2,135 views
oleh
2,135 views
Febby (foto: dok)

Catatan:                                                            H. Febby Datuak Bangso

MENDENGAR nama Kaesang. Menyimak jalan hidup Kaesang. Membaca prinsip kehidupan Kaesang, imajinasi saya seakan tak terhalau pada karakteristik laki-laki Minangkabau. Kaesang seperti tumbuh dalam doktrin konsep kesurauan bagi laki-laki Minang.

Konsep kesuraan bukan hanya bahwa laki-laki Minang tempat tidurnya di surau, karena rumah gadang tak menyediakan bilik bagi anak laki-laki. Kalau ada anak laki-laki Minang tidur di rumah gadang, maka ia akan jadi bahan olok-olok kawan sama gadang dengan sebutan ” Hidup di bawah ketiak amak (ibu)”.

Ini mengingatkan saya pada seorang Kaesang. Ia anak seorang presiden. Pemimpin tertinggi di negara ini. Tapi, ia lebih memilih hidup untuk tidak “mentang-mentang”. Bisa saja ia memanfaatkan “pengaruh dan jabatan” sang ayah. Bisa saja ia menjadi seorang “raja proyek” di mana-mana. Proyek jalan tol. Proyek ekspor impor. Proyek bergelimang minyak. Proyek “yayasan”. Dan proyek-proyek lainnya yang ada hubungannya dengan “pengaruh jabatan bapak”.

Tapi Kaesang tidak begitu. Ia lebih memilih menjadi seorang penggalas martabak. Inilah yang membuat saya sulit untuk tidak mengagumi cara Jokowi mendidik anak. Pitaruh kehidupannya pada seorang anak, sungguhlah bijak. Jokowi justru bertegas-tegas, tak boleh satu pun lingkungan keluarganya untuk “bermain-main dan ikut dalam kegiatan proyek yang berbau dan bersentuhan dengan kepemerintahan”.

Bagaimana pun tegas dan kerasnya Jokowi melarang keras keluarga dan anak-anak ikut berproyek-proyek ria, kalau Kaesang mau, semua bisa saja terlaksana. Tapi, anak muda ini, justru seperti menyatakan diri, “bahwa sukses hidup baginya bukan karena pengaruh kekuasaan sang ayah yang presiden”. Dia memang bukan seperti anak-anak penguasa yang lain.

Kaesang dan karakteristiknya, sungguh sangat mengingatkan saya pada pola pendidikan kesurauan yang merupakan ‘lembaga pendidikan nonformal bagi laki-laki Minang.

Lihat Kaesang. Simak Kaesang. Baca tentang Kaesang. Pahami konsep kesurauan. Simak kesurauan. Baca tentang pendidikan kesurauan.

Lalu, dengan pikiran jernih dan hati yang bersih, hadirkan Kaesang di ruang dada berumpun sukma…

Surau adalah ‘sekolah alam” bagi laki-laki Minang. Di surau laki-laki Minang tak saja berguru soal mengaji memperdalam ilmu agama Islam. Lebih dari itu, laki-laki Minang di surau diajarkan “mengkaji”. Ya, mengkaji kehidupan dan tata cara pergaulan sosial di ruang kesejahteraan ekonomi kita. Belum sempurna eksistensi laki-laki Minang, sebelum ia pandai bersilat. Filosofi silat, lahir mencari kawan, bathin mencari Tuhan.

Mengaji, mengkaji, berdagang, hidup tenggang rasa (sosial), ilmu kepemimpinan, dan bersilat adalah buah dari konsep “hidup berbasis kesurauan”. Anak laki-laki Minang harus terlahir dan terdidik sebagai individu yang berkarakteristik. Harus tumbuh menjadi seorang yang mandiri. Karena, anak laki-laki Minang kelak akan memikul tanggung-jawab yang besar, baik sebagai mamak, maupun sebagai ayah.

Tampaknya, ada kemiripan pola didik Jokowi kepada anak-anaknya dengan konsep pendidikan kesurauan bagi laki-laki Minangkabau.

Adalah kenyataan, bahwa anak laki-laki Minang dituntut untuk berpikir dan berbuat kreatif. Ia tumbuh dan dididik dan tekun berusaha dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, bukan memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan ayah atau sang mamak, bukan begitu. Ia harus punya kegiatan dalam kondisi apapun baik ketika duduk maupun ketika berdiri.

“Duduk marauik ranjau, tagak maninjau jarak”.  Begitulah tampaknya kepribadian Kaesang yang tak mentang-mentang. Jokowi tampaknya menanamkan spirit egaliter pada anak-anaknya.Pada Kaesang yang si tukang martabak itu. Falsafah Minangkabau meletakan kedudukan seseorang pada posisi yang sama (egaliter). Dengan menggalas martabak, pada Kaesang tumbuh budaya kompetitif dan persaingan agar dapat meraih prestasi dan kedudukan yang sama dengan orang lain, bukan karena anak presiden, tapi karena karakteristik diri.

Jokowi dan anak-anaknya, Kaesang dan jualan martabaknya, patut kita jadikan teladan bersama. Coba pulangkan kepada diri kita, sekiranya yang jadi presiden itu adalah “saya” atau “kita”….apakah kita akan sampai hati membiarkan anak “menderita” dengan bersusah-susah menggalas martabak di tempat yang sederhana?

Ya, doktrin didikan Jokowi sepantun dengan doktrin didikan mamak dan ayah di Minangkabau.
“Mamak bapisau tajam, kamanakan badagiang taba” Maksudnya, mamak memiliki kekuatan. Disimbolkan dengan pisau tajam. Mamak memiliki kekuatan mengurus kaum, suku dan nagarinya. Kemanakan berdaging tebal, diibaratkan dengan anak kemenakan yang punya kemampuan memadai, baik pengetahuan, wawasan, pergaulan, kepangkatan dan perekonomiannya.

Kalau diminangkabaukan, Kaesang adalah anak kemenakan yang dididik dengan kekuatan karakter yang mempunyai kemampuan mandiri (bukan karena anak presiden lalu semena-mena), memiliki semangat berdagang (enterpreneurship), berwawasan, pandai berkawan, dan tegak serta berdiri di atas hati dan pikiran sendiri di ruang kecerdasan-kecerdasan hidup.

Jokowi berhasil membentuk karakteristik Kaesang menjadi anak laki-laki yang berpikir aktif, realis, dialektis logis dan dinamis dalam memahami kehidupan. Menurut Rudolf Mrazeck dalam (Tan Malaka, 1999), unsur materialisme dalam budaya matrilinial, mempengaruhi orang Minang untuk selalu aktif dan berfikir realis.

Peran dan kedudukan laki-laki pada masyarakat matrilinial Minangkabau selain menutuntut ia untuk mandiri secara diterminan fungsional personality, ia juga dituntut untuk mandiri secara ekonomi. Dan unsur ini melekat pada Kaesang sang anak presiden yang jadi tukang martabak itu.

Bagi anak laki-laki Minangkabau, kemegahan dan kebanggaan menjadi laki-laki Minang adalah ketika mampu bertanggung jawab pada keluarganya yaitu ibu dan saudara-saudara perempuannya, dengan menjaga dan mengembangkan harta pusaka untuk anak-keponakan (anak dari saudara perempuan) demi kelestarian kaum dan suku yang dimilikinya.

Entah siapa yang menyarukan konsep hidup laki-laki Minang, sehingga prinsip hidup Kaesang benar-benar “berminangkabau”.
Kaesang itu anak seorang presiden. Tapi “kemegahannya” dan “kebanggaannya” bukan bangga dan mempalagakkan diri sebagai anak seorang presiden, namun adalah karena ia berdiri di atas kaki sendiri, bukan di atas kekuasaan sang ayah, bukan pula di bawah ketiak emak.

Lagi-lagi, saya terpana, dan bertanya apakah Jokowi pernah “berguru” kepada “alam Minangkabau” sehingga hidup dan kehidupannya persis seperti falsafah orang Minang dalam kesepakatan “Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah”. Jokowi sosok yang taat beragama, berkearifan lokal, rendah hati, dan tageh. Barangkali, pada Kaesang Jokowi pernah berpitaruh kata. Bila kata itu diminangkabaukan, bisa saja Jokowi berbisik pada Kaesang : ” Nak, kok ingin kayo, kueklah mancari (Nak, bila kau ingin kaya, kerja…kerja…dan kerja keraslah), Nak pandai kuek baraja ( kalau ingin pandai belajarlah !). (analisa)