Kearifan Warga ‘Badorai’ Sambut Perantau

oleh -495 views
oleh
495 views
Demi menjaga keasrian Air Terjun Badorai tidak untuk umum, kearifan lojak (ilhamsyah_mirman)

Oleh: Ilhamsyah Mirman

(Founder Ranah Rantau circle/RRc)

MENYELINAP malu di pinggang gunung Marapi, nagari Sungai Puar, tak dinyana terselip keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa untuk kita yang tak henti bersyukur.

Air dari puncak gunung yang dulunya ‘sagadang talua itik’, sebagian mengalir jernih dari sungai-sungai kecil menyatu di ujung wilayah jorong Limo Kampung, Nagari Sungai Puar, Kabupaten Agam.

Menuju Air Terjun Badorai

Berjarak tidak lebih dari lima ratus meter dari jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat.

Perjalanan menyusuri alur air yang langsung ke rumah-rumah penduduk ini tidak terlalu lama. 15 hingga  20 menit, jalan setapak bertemankan merdu gemericik.

Meski kondisi rumput dan perdu liar agak mengganggu, diselingi patahan pohon atau batang bambu bertebaran disepanjang jalan, namun panas terik matahari pukul sebelas siang itu justru membantu kelancaran ‘petualangan’.

Hembusan angin menyelip dedaunan dan ‘lengkingan’ suara ‘uir-uir’ menjadi penambah indah harmoni. Nada hewan ini sungguh sangat mengisi kesunyian perjalanan saya bersama ketiga anak kemenakan.

Petualangan Ramadhan 

Ananda Ridho, Faiz dan Nabil penuh semangat berselimut rasa keingintahuan. ‘Tiga ratus meter lagi Pak Manih’, ucap Faiz menyampaikan laporan ‘Maetek Google’.

Jarak 6,8 km ke air terjun ini dari rumah gadang Uwak Taluak, Sumua, Tigobaleh Bukittinggi kami pilih, ketimbang 4,4 km ke Sungai Tanang atau ke Sungai Janiah sejauh 10 km untuk mencari lokasi mandi pagi jelang akhir Ramadhan.

Tulisan Air Terjun Badorai di perempatan balai nagari Sungai Puar yang kerap terlihat saat melintas jalur alternatif Padang-Bukittinggi mendasari pilihan kali ini.

Disamping melampiaskan rasa ingin tahu. Sungai Janiah dan Sungai Tanang relatif telah dikenal dengan akses yang mudah dan fasilitas mencukupi untuk menjadi tempat rendezvous.

Maka pencaharian Badorai ini sungguh satu pengalaman mengesankan.

Cuaca cerah mengantarkan kita seakan berjalan tegak lurus bumi, menggapai puncak kawah. Amat dekat rasanya merayap jalan ke ‘atap’ ranah Minang ini. Tanjakan berliku terjal dengan lebar pas seukuran roda mobil, membutuhkan ketepatan teknik dan keahlian mengemudi.

Terlebih saat berpapasan dengan petani yang membawa hasil buminya turun. Menggunakan motor kecepatan tinggi, membawa sayur mayur segar.

Keadaan air terjun yang dipagari bebatuan besar dan pepohonan hijau, amat indah dan sejuk. Penampakan kombinasi cadas, lumut, dedaunan dan ‘dorai’ (derai) air dipastikan membuat pengunjung tak henti mengambil spot yang ‘instagramable’ ini.

Terdiri dari 3 (tiga) tingkatan, yaitu Badorai 1 (yang tertinggi), Badorai 2 (1.468 mdpl) dengan ketinggian 60 m serta Badorai 3 atau air terjun Banda Laweh (1.440 mdpl). Ketiga tempat mandi dan bermain air alami, oleh warga di beri nama Air Terjun Badorai Indah.

Agak aneh sebenarnya, spot cantik dilingkungi berbagai macam tanaman hortikultura dan berlokasi dekat pusat pariwisata namun belum terlalu dikenal wisatawan. Biasanya kalau ada destinasi dengan karakteristik seperti ini, dipastikan bakal di banjiri pengunjung.

Kearifan Lokal vs Pariwisata

Tidak perlu berlama-lama, didapat jawaban. Adalah petani aneka sayur mayur dan daun bawang bernama Pak Jon yang memberi jawaban.

“Bukannya tidak ingin kami mengembangkan lokasi ini, pemuda berinisiatif untuk mengelola namun tidak diperbolehkan oleh Nagari,” ungkap petani yang baru saja memetik cabai dan kembang kol ini.

Perangkat Nagari tidak setuju, karena kalau dibuka resmi bakal banyak pengunjung. Meski untuk kelompok kecil atau keluarga yang datang kami membuka diri. Namun rombongan besar atau pengunjung dalam jumlah banyak, mohon maaf, diminta untuk balik kanan. tidak diperbolehkan.

Sekiranya tidak dibatasi, aliran yang digunakan sebagai bahan baku memasak, mandi dan keperluan sehari-hari, berpotensi terganggu. Sampah berserakan. Air ‘aqua’ yang amat jernih dan ‘manis’ ini adalah andalan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok air minum sejak berbilang tahun.

Tentu bakal menimbulkan konflik kepentingan antara kedua sektor tersebut, pengembangan destinasi wisata atau menjaga ‘keperawanan’ untuk memenuhi hajat hidup masyarakat.

Meski keduanya tidak perlu dipertentangkan karena sama-sama menyangkut orang banyak, namun tampaknya kearifan lokal strategi menyambung kehidupan sehari-hari jauh lebih bernilai ketimbang ‘modernisasi’.

Pola pikir yang subur di tengah masyarakat memang menjadi satu kekhasan tersendiri. Kalau dibandingkan dengan daerah lain. Atas nama modernisasi maka semua nilai-nilai sosial dan tradisi dikesampingkan, bila perlu dihilangkan. Yang penting bisa mendatangkan uang dan dianggap modern. Meski kadang makna kemajuan itu sendiri absurd.

Apalah arti modern kalau merusak lingkungan dan mengganggu tatanan sosial yang sudah berjalan dengan asri. Terlebih umumnya masyarakat tidak bisa menikmati, hanya segelintir orang mendapatkan manfaat.

Sambut Perantau 

Demikianlah, di tengah hingar bingar keriuhan sanak yang berdatangan dari rantau. Di bulan penuh berkah, di mana 1,8 juta perantau bergeduru mengetuk rumah gadang.

‘Sudah delapan puluh ribu warga Bukittinggi yang pulang’, ucap Bu Pendi dari Balaibanyak.

Entah darimana dia mendapatkan angka eksak itu. Namun yang jelas ‘parkiran dan kondisi pasar Aur Kuning makin ramai’, sambungnya meyakinkan tentang asal angka yang jumlahnya dua pertiga penduduk kota Bukittinggi.

Apapun dan berapapun angka itu, dipastikan sebagian besar bakal mengisi waktu menikmati pesona kampung halaman, setelah berjibaku menjalani prosesi pulang basamo. Berkunjung ke tempat-tempat wisata bersama keluarga.

Maka perlu kearifan kita semua, agar tidak membuat kecewa keluarga kita yang datang dari jauh. Ingin menikmati Rahmat Yang Maha Kuasa di tempat bunda melahirkan. Berpandai-pandai agar kita saling menjaga. Boleh datang, tapi jangan riuh dan merusak lingkungan.

Penutup

Sikap masyarakat di sekitar Air Terjun Badorai ini patut untuk dihargai sekaligus jadi salah satu contoh, bagaimana kiat harus menghindari kesilauan duniawi.

Menjaga harmoni dan adab yang ada ditengah masyarakat, agar rezeki yang Allah berikan melalui keindahan alam dan kejernihan air mengalir, mampu menjadi penopang hidup hingga generasi berikutnya.

Sampai kapankah ini bisa bertahan….waktulah yang berbicara.

Bktg, 260422-Ilh/RRc/(analisaa)