Kebijakan Afirmatif Terhadap 30℅ Keterwakilan Perempuan Dalam Parpol di Indonesia

oleh -309 views
oleh
309 views
Danisa Luthfi Azura, Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh: Danisa Luthfi Azura

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas

DEMOKRASI dicirikan dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan partisipasi dalam politik sehingga aspek penting dari demokrasi adalah adanya partisipasi politik.

Bentuk partisipasi politik adalah kegiatan di mana seseorang atau sekelompok orang berpartisipasi secara aktif dalam politik dan secara langsung atau tidak langsung seperti Pemilu. Partisipasi politik dan pemilu menjadi hal yang penting karena partisipasi dalam politik mutlak yang diperlukan.

Realitas politik di banyak negara terutama Indonesia, harus melibatkan semua kalangan termasuk perempuan namun ada masalah dengan peran dan posisi gender antara laki-laki dan perempuan.

Diskriminasi berbasis gender saat ini masih terjadi di semua bidang kehidupan dan semua sektor pembangunan di seluruh negeri. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, isu kesetaraan gender menjadi isu yang menonjol dalam platform pembangunan.

Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional. Budaya patriarki yang tidak ramah perempuan dan ada konstruksi sosiokultural yang melihat perempuan hanya mengurus keluarga saja dan tidak ada akses ke tempat umum lainnya.

Pada pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat2 dan pencalonan anggota DPR/D.

Pengaturan mengenai 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan bentuk Affirmative Action (kebijakan afirmatif) yakni tindakan sementara untuk menyelamatkan kondisi yang tidak setara menuju keadilan dan kesetaraan. Kebijakan ini diambil guna memperoleh peluang yang setara antar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Affirmative Action adalah langkah awal dalam menyeimbangkan antara kepentingan perempuan dan laki-laki dalam suatu kesetaraan baik profesi dan keikutsertaan dalam berpolitik.

Pada kenyataan saat ini, kuota 30% yang tertulis dalam undang-undang belum dapat terpenuhi. Pemenuhan-pemenuhan kuota dalam partai politik hanya sebatas formalisasi, karena jika kuota tersebut tidak terpenuhi maka KPU akan menyatakan partai politik tidak memenuhi syarat sehingga partai politik tersebut tidak dapat berkompetisi dalam pemilihan umum. Ini membuktikan adanya tidak kesesuaian antara legalitas dan realitas, banyak faktor yang menjadi penghambat dan menyebabkan peran perempuan tidak maksimal.(analisa)