KEDOKTERAN BUKAN ARITMETIK

oleh -85 views
oleh
85 views
M Iqbal Mochtar (google/aminef)

Oleh: Iqbal Mochtar

KASIHAN dokter Indonesia. Segelintir masyarakat lagi menohok mereka. Katanya, layanan dokter Indonesia enggak bagus dan tidak profesional. Komunikasinya parah. Sudah itu sok elit pula. Padahal diagnosis dan pengobatan mereka banyak yang salah. Coba lihat dokter Malaysia atau Singapur, katanya. Mereka jago-jago, hebat dan profesional. Mereka kalau menangani pasien langsung sembuh. Pokoknya dimata segelintir masyarakat ini dokter asing adalah diamond dan dokter Indonesia adalah bronze.

Apa yang dinyinyirkan bisa benar, bisa salah. Melakukan review menjadi penting.

Pertama, kurang tepat membandingkan dokter negara satu dengan negara lain. Karena dokter tiap negara memiliki kondisi, tantangan dan sumber daya berbeda. Di Indonesia, dokter berhadapan dengan seribu kendala : alat dan fasilitas yang minim, sistem yang tidak tertata baik serta sistem remunerasi yang tidak fair. Seorang dokter jantung yang melakukan tindakan echocardiography ada yang dibayar Rp 10.000. Sama dengan parkir di mall 2-3 jam. Padahal echocardiography itu tindakan spesialistik lo. Dengan beragam keterbatasan tersebut, mana mau dokter asing berkiprah disini. Selain itu, sehebat apapun mereka, saat menghadapi keterbatasan, kemampuannya pasti pudar. Jangan-jangan mereka berteriak,”Mana bisa diagnosis tanpa alat begini?”.

Masyarakat mestinya fair; membandingkan mesti apple to apple. Masak membandingkan tindakan dokter Indonesia yang dibayar dengan skema terbatas BPJS dengan tindakan dokter asing yang dibayar mahal dengan menggunakan alat super canggih? Ya bedalah. Ada juga yang membandingkan hasil diagnosis dokter yunior yang bekerja didaerah dengan diagnosis dokter super-spesialis luar negeri yang bekerja diinstitusi hebat dengan alat-alat yang canggih. Ya enggak seimbanglah. Bukan apel dengan apel.

Kedua, dari segi kemampuan kognitif, tidak ada bukti dokter asing lebih hebat dari dokter Indonesia. Belum ada studi menunjukkan bahwa IQ mereka lebih tinggi dari dokter Indonesia. Semua dokter memiliki kemampuan kognitif cemerlang; IQ mereka sama tingginya. Sekolahnyapun sama lama dan sulitnya. Pertanyaannya : bila kemampuan kognitifnya comparable, lantas mengapa diagnosis dokter Indonesia dengan dokter asing bisa beda?

Begini ceritanya. Beberapa dekade lampau, dokter hanya mengandalkan pemeriksaan fisik dalam memeriksa pasien dan membuat diagnosis. Modalnya kadang hanya stetoskop. Alat medis masih amat kurang. Saat ini alat medis dan canggih menjadi andalan. Alat-alat canggih inilah yang menjadi senjata utama dokter membuat diagnosis. Semakin banyak dan canggih alatnya, semakin akurat diagnosisnya. Karena alasan ini, dokter yang memiliki akses ke teknologi dan peralatan medis canggih lebih sensitif dalam pekerjaannya. Dokter yang menggunakan alat MRI canggih tipe Tesla (7TMRI), misalnya, akan dengan mudah mendiagnosis tepat dibanding dokter yang hanya menggunakan roentgen atau MRI biasa. Demikian pula saat melakukan operasi; dokter luar sudah menggunakan bantuan robot sementara kita masih manual. Tentu saja hasilnya beda. Ibarat dua tentara yang diberi senjata berbeda dan disuruh menembak sasaran yang jauh. Satu diberi bedil biasa dan satunya diberi sniper rifle dengan bidikan optik jarak jauh yang akurat. Hasil tembakan ya tentu beda; yang memegang sniper rifle pasti lebih akurat.

Karena perbedaan kecanggihan alat ini, diagnosis antara sesama dokter bisa beda. Jangankan dokter antar negara, antar daerah saja bisa beda. Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara maju, hal ini juga terjadi. Diagnosis yang dibuat dokter di New York bisa saja amat berbeda dengan dokter yang di Michigan. Artinya, penentu keakuratan diagnosis bukan hanya dokternya tetapi juga alatnya. Istilahnya, the gun and the man behind the gun. The better the gun, the more precise the shooting.

Ketiga, jangan kira dokter asing enggak bisa keliru. Itu ilusi. Semua dokter bisa keliru. Tahun 2019 di Inggris, NHS menerima lebih lebih 10 ribu klaim kekeliruan medis dan harus membayar ganti rugi sebesar US$ 3,1 miliar untuk kelalaian itu. Nilai ini setara dengan 2% dari total budget NHS. Di Malaysia, sebuah jurnal ilmiah menyebutkan kesalahan medis bervariasi antara 12-98%, tergantung setting-nya. Kalau diambil nilai terendah saja, artinya dari 100 pasien yang berobat, 12 diantaranyta mengalami kesalahan medis. Hal yang sama terjadi di Singapur dan negara lain. Artinya, enggak ada tuh negara atau dokter yang tidak membuat kekeliruan medis. Coba aja tanya pasien-pasien Indonesia yang pernah berobat diluar negeri, berapa banyak diantara mereka yang mengalami kegagalan? Banyak lo. Sebagian bahkan nyaris mengalami kerugian permanen.

Keempat, dokter Indonesia itu banyak banget yang pintar-pintar lo. Mereka terus meng-update ilmu dan ketrampilannya. Mereka bergaul dengan peer internasional. Jangan dikira mereka hanya sekolah dan dapat pengalaman dalam negeri saja. Sangat banyak diantara mereka yang lulusan atau mendapat training diinstitusi kelas wahid dunia. Sangat banyak jumlahnya.

Rumah sakit Indonesia juga sekarang keren dan hebat. Per 2021, telah terdapat 134 rumah sakit Indonesia yang telah memperoleh akreditasi internasional dari Joint Commision Internastional (JCI). Pada saat yang sama, di Singapur baru 24 rumah sakit yang mendapat akreditasi ini. Di Malaysia bahkan hanya 11. Artinya, jumlah rumah sakit Indonesia yang diakui dapat memberikan pelayanan internasional berdasar JCI ini jauh lebih banyak dari Singapur dan Malaysia. Bahkan RS Cipto masuk urutan 36 rumah sakit pendidikan terbaik dunia tahun ini. Artinya, Indonesia tidak kalah hebat dengan negara lain.

Kelima, kedokteran itu bukan absolute science. Ia bukan aritmetik dimana 5+5 mesti 10. Ia bidang yang sangat dinamis. Kondisi pasien bisa berubah dari waktu ke waktu. Saking dinamisnya, selalu saja ada celah terjadinya kekeliruan dan misdiagnosis. Dari 10 orang yang diobati, mungkin saja beberapa yang diagnosisnya tidak tepat. Sama dengan tentara yang menembak sasaran, enggak semua pas kena tengah. Selalu ada ruang ketidaktepatan. Kalau kebetulan kita atau keluarga tidak mendapat diagnosis yang pas, jangan lantas mengeneralisir dokternya bodoh. Apalagi dengan memposting membabi buta kiri kanan. Jangan lupa, banyak diantara pasien yang sembuh oleh pelayanan mereka. Kalau kita kebetulan tidak, artinya nasib kita lagi enggak pas. Tetaplah berprasangka baik. Enggak ada dokter yang bodoh, apalagi mau mencelakakan pasien.

Menghadapi nyinyiran masyarakat begini, dokter Indonesia perlu sabar. Enggak usah emosi. Tetap positif thinking sambil melihat ruang buat perbaikan. Enggak usah mendiskreditkan dokter luar negeri; mereka juga sejawat kita.

Anggap saja masyarakat yang nyinyir lagi ingin menyatakan ‘rasa cinta’ pada dokter. Toh rasa cinta tidak selamanya harus dinarasikan dengan kata-kata ‘you are awesome’ atau ‘proud of you’. Sindiranpun bisa saja bagian dari rasa cinta. Dan enggak perlu merasa kredibilitas dokter menurun akibat segelintir nyinyir begini. Percayalah, down the road disana, ada jutaan rakyat Indonesia yang tersembuhkan oleh dokter Indonesia. Mereka sangat meng-appreciate dan proud dengan dokter kita. Mereka selalu menunggu sentuhan tangan dokter bangsa.

Selain itu, masyarakat yang nyinyir ini mungkin kurang sadar bahwa someday, somewhere, ia dan keluarganya mungkin akan mencari dan meminta bantuan dokter negeri ini. Who knows? (analisa/take from WAG Kawal Covid Sumbar)