“KENAPA PRABOWO KALAH DI SUMBAR?”

oleh -1,332 views
oleh
Webinar Series X, angkat tema seksi tentang Prabowo kalah di Sumbar, Sabtu 9/3-2024. (dok)

Webinar Series X Ruang Baca Departemen Ilmu Politik

Padang,—Ruang Baca Departemen Ilmu Politik kembali lagi mengadakan webinar series, di mana pada kali ini bertemakan, “KENAPA PRABOWO KALAH DI SUMBAR?“.


Kegiatan dihadiri beberapa mahasiswa dan dosen dari berbagai departemen dan umum, tidak hanya mahasiswa dari Departemen Ilmu Politik saja.

Kegiatan ini dibuka Pembina Ruang Baca Andhik Beni Saputra, S.IP, M.A. Kegiatan ini menghadirkan dua pemateri yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, yaitu: Sadri, S.IP., M.soc,Sc dan Dr. Zulfadli, S.HI., M.SI.

Kedua nya merupakan dosrn Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas. Webinar Series X dilaksanakan secara daring melalui zoom yang telah disediakan langsung oleh Ruang Baca Departemen Ilmu Politik UNAND. Hebatnya webinar disiarkan langsung di YouTube Departemen Ilmu Politik Unand.

Kegiatan dihadiri oleh hampir 70 peserta webinar yang sangat antusias mengetahuinya informasi penting terkait tema dari webinar kali ini yang dijelaskan oleh para pemateri yang hebat dan berkompeten di bidangnya.

Kegiatan ini dipandu moderator yang merupakan dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas sekaligus Sekretaris Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas Andri Rusta S.IP, M.PP.

Dr Sadri menjelaskan bahwa lebih melihat dalam konteks islam lokal di Minangkabau dan nilai-nilai filsafat politik Minangkabau yang mengkin mempengaruhi pilihan dari masyarakat minangkabau di pemilu.

“Yang menjadi persoalan adalah kalau memang itu merupakan konsepsi dari budaya orang Minang tentunya dia mesti berangkat dari nilai-nilai filsafat politik Minang itu sendiri, sepanjang hal-hal tersebut yakni 3T (tokoh, takah dan tageh) tidak bisa di buktikan ini mungkin konsepsi yang tidak bisa diasumsikan sebagai hal yang mewakili adat Minang, mungkin hanya mewakili tokoh tertentu saja,”ujar Sadri.

Persoalannya di 2024 mengapa Anies menang mengalahkan Prabowo di Sumbar karena kubu Prabowo menganggap bahwa sumberdaya adalah kekalahan bagi mereka.

L

“Apa yang dinukilka Prof. Asrinaldi dan Kompas juga, kenapa Anies menang di Sumbar karena pertama merupakan tokoh yang agamis dan religius berkaitan juga dengan budaya Minang yang kental akan agamanya yakni Islam. Kemudian Anies di kenal melalui kecerdasan, fisik, berkharisma dan lainnya. Satu hal lagi mungkin karena kekecewaan pemilih Sumba kepada Prabowo adalah karena bergabungnya Prabowo kepada kabinet Jokowi dianggap sebagai bentuk ‘pengkhianatan’,”ujarnya.

Prabowo dicap pengkhianat salam tanda kutip terkait terhadap perjuangan berdarah-darah yang dilakukan oleh relawan dari Sumbar, ini menjadi salah satu yang dicurigai kenapa orang Minang berbalik arah tidak lagi mendukung Prabowo.

“Secara filosofinya filsafat politik ini sudah paham bahwasanya orang Minang sekali saja di khianati seumur hidup mereka tidak akan percaya lagi,”ujar Sadri.

Merujuk nilai-nilai Minangkabau itu sendiri, sebagai contoh konsepsi pemimpin sejati di Minangkabau, kata Dr Sadri, sebagaimana kita paham itu bukan kepada orang -ini mungkin bisa menjelaskan berubahnya cinta (kepercayaan) dari Prabowo ke Anies.

“Jadi orang Minang itu pemimpin bukan kepada orangnya, ini prinsip dasar. Tapi kenapa die ataupun ideologi, ini bukan diliat orangnya tapi diliat benar atau ngga (benar imannya, adat, Islam, dan suasana dinamika sosial politik) ini menjadi standarnya bukan orangnya,”ujarnya.

Konsepsi pemimpin di Minangkabau datangnya karena di angkat “tingginya karena dianjuang, gadangnya karena di ambak“.

“Artinya kalau tidak dirajakan atau diangkat oleh orang tidak akan berhasil. Kemudian di Minangkabau tujuan tidak menghalalkan cara dalam memilih pemimpin sehingga pemimpin ketika diangkat mesti mempertimbangkan alur yang semestinya,”ujar Dr Sadri.

Selain itu pada pikiran orang Minangkabau Gibran selalu wakil Prabowo masih anak-anak tidak ada kapasitanya walau sehebat apapun dia sebagai anak presiden dan walikota Solo.

Jadi Sadri memaparkan bahwa pemimpin di Minangkabau bukan suatu hal luar biasa tetapi hanya hal biasa.

“Ada sifat-sifat ideal seorang pemimpin ataupun calon pemimpin yang harus dimiliki dalam perspektif filsafat politik Minangkabau yaitu benar dan lurus, tidak plin-plan lain di hati lain di mulut, untuk menegakkan kebenaran tidak takut nyawa melayang. Ketika pak Prabowo bergabung dengan pak Jokowi itu dianggap plin-plan,”ujarnya.

Sedangkan pemateri Dr. Zulfadli, S.HI., M.SI, lebih menajamkan pada fenomena-fenomena dasar yang sebelumnya secara umum yang dapat ditangkap dari data yang ada, ada yang telah ada jadi politik nasional pemilihan yang telah terjadi 2014 dan 2019 dapat bahwa secara umum kemenangan Prabowo berasal dari kawasan provinsi-provinsi yang mayoritas muslim.

“Sebaliknya Prabowo mengalami kekalahan besar di daerah yang minoritas pemilih muslimnya. Satu satu alasannya tentu tidak lepas dari voting behavior dari faktor agama dan masih menjadi alasan utama perilaku memilih di masyarakat Indonesia. Mengapa Prabowo menang di Sumbar pemilihan tahun 2014 dan 2019, tidak bisa lepas dari pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 yang telah menimbulkan polarisasi politik tidak hanya di tingkat nasional tapi mengalami transformasi ke tingkat lokal sehingga narasi-narasi yang di bangun itu berkembang di dalam konteks politik lokal berbagai kawasan muslim, sehingga terdengar misalnya Prabowo dekat dengan ulama dan Jokowi anti islam,”ujar ya.

Jadi kata Dr Zulfadli faktor kemenangan Prabowo pada tahun 2019 di antaranya di pengaruhi oleh dukungan penuh oleh politik islam. Di Sumatra Barat mayoritas muslim.

“Islam tidak hanya dianggap sebagai identitas muslim yang kolektif, tapi telah di konstruksikan menjadi sebagai identitas kultural dan struktural bagi masyarakat Minangkabau,”ujarnya.

Oleh karena itu dukungan politik islam sebagai yang terjadi pada Gubernur DKI Jakarta punya kolerasi untuk memberikan dukungannya pada pemilihan presiden 2020 sehingg memberikan dukungan suara cukup besar atas Prabowo di provinsi Sumbar.

“Lalu mengapa 2024 menunjukkan hasil yang berbeda jika 2020 Prabowo menang dengan cukup besar sementara di 2024 telah di geser oleh Anies Baswedan, fenomena ini sebetulnya sama dengan yang dialami oleh provinsi Aceh bahwa kemenangan Prabowo telah di geser oleh Anies Baswedan,”ujar Zulfadli.

Doktor ini menjelaskan evaluasi-evaluasi terhadap kandidat menjadikan pemilih-pemilih muslim yang membabi-buta memenangkan Prabowo lalu mempunyai persepsi buruk terhadap pemerintahan Jokowi karena dianggap mengancam, perasaan-perasaan identitas keislaman merasa di marginalkan tentu semakin menambah kekecewaan muslim supaya untuk meninggalkan Prabowo, apalagi di dukung oleh pemberitaan-pemberitaan yang hoax yang banyak tersebar di berbagai sumberdaya media.

“Misal, kemenangan Prabowo: nanti Prabowo menang PKI naik dan itu bukan kemenangan bukan islam” “Indonesia akan dikuasai oleh bukan islam” narasi-narasi seperti inilah yang banyak kita jumpai di dalam pemilu 2024 ini menjadikan kekecewaan kepada pak Prabowo ditambah di dukung oleh pak Jokowi yang mempunyai persepsi keislaman yang negatif sehingga mengalihkan dukungannya ke calon alternatif yaitu Anies Baswedan. Anies Baswedan tampil dan telah menjadi magnet dan daya tarik tersendiri pemilih-pemilih muslim yang ada di Sumbar,”ujarnya

Daya tarik yang dimiliki Anies dikenal sebagai personalisasi yang mudah di kenal di bandingkan oleh Prabowo maupun dengan calon lainnya. Religius personal atau pribadi akan mempengaruhi religius politiknya dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan religius itu sendiri.

“Oleh karena itu, lebih mudah di terima dan ditambah gagasan-gagasan yang disampaikan oleh Anies, setelah di telusuri Anies lima kali telah mengunjungi Sumbar dalam kunjungannya dan menawarkan kesempatan seluas-luasnya dalam diskusi langsung ke masyarakat,”ungkap Prof Zulfadli. (ar)