Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Pribadi

oleh -306 views
oleh
306 views
Hendra J Kede (foto: dok)

Oleh : Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

KOMISI Informasi Pusat (KI Pusat) kedatangan tamu spesial dan istimewa yaitu Ibu Christina Aryani, S.E., S.H., M.H., Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Senin 14 Desember 2020.

Melihat gelar akademiknya saja penulis dan pembaca yang budiman pasti sepakat kalau beliau orang cerdas, apalagi kalau berdialog langsung dengan beliau.

Disamping Anggota Komisi I DPR RI yang menjadi mitra kerja KI Pusat, beliau juga Anggota Badan Legislasi DPR RI yang menjadi dapur lahirnya seluruh Undang Undang, termasuk dan tidak terbatas Rancangan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)

Beliau Anggota Komisi I DPR RI pertama yang berkunjung ke KI Pusat atas inisiatif sendiri dan berdialog tentang isu-isu Keterbukaan Informasi Publik dan isu terkait pada periode KI Pusat 2017-2021.

Tentu saja hampir semua Komisioner KI Pusat hadir dan bersemangat untuk berdiskusi. Kepada beliau disampaikan banyak hal, termasuk kalau tahun depan akan ada seleksi Anggota KI Pusat periode 2021-2025. Ujung proses seleksi adalah pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi I.

“Semuanya masih bisa dipilih lagi kan?”, Bu Aryani memotong pembicaraan. Penulis termasuk Komisioner yang ikut menjawab berbarengan : “Bisa Bu”. Hahaha….

PDP

Salah satu isu yang dibahas adalah keterkaitan isu Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan isu Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Sekilas seolah kedua isu tersebut saling bertentangan. Satu bicara keterbukaan informasi (bisa dibaca juga : data), satunya lagi berbicara perlindungan data (bisa dibaca juga : informasi). Satu bicara hak publik atas infornasi, satu lagi bicara hak pribadi untuk dilindungi datanya.

Isu lainnya masih seputar KIP dan PDP yang dibicarakan adalah kelembagaan PDP. Presiden (pemerintah) berkeinginan tidak ada lembaga baru yang dibentuk. DPR keberatan kalau pelaksanaan PDP dijalankan bukan oleh lembaga independen. Arah kompromi bisa saja pelaksanaan PDP dijalankan oleh lembaga independen yang sudah ada.

Kalau kompromi itu yang dipilih maka pertanyaan intinya : lembaga independen yang sudah eksis mana yang akan menjalankan UU PDP tersebut?

Bicara lembaga independen seperti ini, biasanya digolongkan kedalam Lembaga Non Struktural (LNS).

Maka PDP bisa akan dijalankan oleh LNS yang betul-betul murni independen seperti KPK, KPU, Bawaslu, Ombudman?.

Atau akan dijalankan oleh LNS yang merupakan Kuasi Kementerian seperti KIP, Dewan Pers, KPI, dan lain sebagainya. Institusinya independen dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya namun dukungan kesekretariatan dan keuangannya melekat pada salah satu Kementerian.

Atau alternatif lain, PDP di jalankan LNS yang saat ini merupakan Kuasi Kementerian namum ditingkatkan menjadi LNS murni independen dalam segala hal, termasuk kesekretaritan dan keuangan?

Menurut Ibu Christina Aryani, hal ini termasuk salah satu isu yang belum diputuskan dalam pembahasan RUU PDP.

KIP-PDP Bertemtangankah?

Pertanyaan awal yang perlu dijawab adalah apakah benar isu Keterbukaan Informasi Publik dan Perlindungan Data Prinadi itu sebagai sesuatu yang bertentangan,.yang saling meniadakan, yang memiliki filosofi kerja berbeda?

Menemukan jawaban tepat atas pertanyaan ini haruslah dimulai dengan pemahaman yang prolosional tentang rezim pengelolaan informasi publik.

Semenjak Amandemen II UUD NRI 1945 yang melahirkan Pasal 28F dan menurunkan UU Nomor 14 Tajun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan turunannya, berlaku rezim pengelolaan informasi publik di Indonesia sebagai berikut : semua informasi yang tersimpan dalam dokumen Badan Publik Negara merupakan informasi terbuka kecuali yang dinyatakan sebagai Informasi Dikecualikan dari terbuka (bisa dibaca : tertutup atau rahasia)

UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disamping menegaskan bagaimana mengelola informasi publik yang bersifat terbuka, juga dengan jelas dan tegas menentukan :

1. Informasi apa saja yang bersifat dikecualikan dari terbuka (bisa dibaca : tertutup atau rahasia) tersebut;

2. Bagaimana mekanisme menetapkannya sebagai Informasi Dikecualikan dari terbuka; 3. Sangsi pidana dan perdata bagi pihak-pihak yang membuka dan menggunakan Informasi Dikecualikan dari terbuka yang tidak sesuai dengan hukum.

Penulis semenjak mendaftar sebagai Calon Komisioner Komisi Informasi Pusat tahun 2017 lalu berpandangan bahwa rezim Keterbukaan Informasi Publik, sehingga dan oleh karena itu menjadi kewajiban Komisi Informasi, adalah untuk memastikan Badan Publik membuka informasi yang bersifat terbuka dan menutup serta melindungi informasi yang beraifat dikecualikan dari tertutup. Seimbang antara kewajiban membuka dan menutup.

Hal ini didasari pada kenyataan bahwa membuka dan menutup informasi publik hanya semata-mata boleh dilakukan atas perintah Undang Undang dan kepentingan publik. Membuka informasi adalah karena perintah Undang Undang dan demi kepentingan publik. Menutup informasi pun adalah karena perintah Undang Undang dan demi kepentingan publik. Kedua hal itulah tuhas dan kewajiban KI Pusat menurut UU 14/2008 tentang KIP.

Hanya rezimnya saja yang berubah dengan sebelum Amandemen II UUD NRI 1945. Sebelum Amanademen, informasi diberi status hukum awal tertutup dan yang akan diberi status dibuka yang berproses dan memerlukan penetapan. Sementara pasca Amandemen II berlaku sebaliknya, informasi diberi status hukum awal terbuka dan yang akan ditutup yang berproses dan memerlukan penetapan. Sementara kewajiban memperlakukan informasi terbuka dan informasi tertutup sama.

Sehingga dengan demikian tugas utama Komisi Informasi pada dasarnya adalah untuk memastikan dan mengawasi melalui kewenangan hukum yang dimilikinya agar informasi terbuka itu diperlakukan sebagai informasi terbuka, dan juga untuk memastikan dan mengawasi secara ketat informasi tertutup itu diperlakukan sebagai informasi tertutup.

Membuka informasi yang bersifat tertutup itu sama berbahayanya dengan menutup informasi yang bersifat terbuka, sama-sama membahayakan kepentingan publik dan membahayakan kepentingan bangsa dan negara.

Penulis, baik dalam menjalankan kewajiban dan amanah selaku Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, saat menjadi pembicara di Badan Punblik, maupun dalam dalam beberapa kesempatan persidangan selalu menekankan hal ini : kewajiban Komisi Informasi itu adalah memastikan informasi diperlakukan sesuai statusnya, membuka yang terbuka dan menutup yang tertutup.

Informasi Dikecualikan

BAB V UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan jelas dan tegas menjelaskan jenis-jemis informasi yang bersifat Dikecualikan dari terbuka (baca : tertutup atau rahasia) dan bagaimana mekanisme menetapkannya.

Sehingga dan oleh karena itu merupakan tugas dan kewajiban Komisi Informasi melalui segala sarana dan kewenangan yang dimiliki untuk memastikannya sebagai informasi yang bersifat tertutup.

Penulis kutipkan Pasal 17 dalam BAB V tersebut terkait jenis-jenis informasi yang harus ditutup dan dirahasiakan sehingga tidak dapat diakses publik dan tidak dapat diberikan kepada publik :

Pasal 17
Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:

A. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:

1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;

2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;

3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;

4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau

5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.

B. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;

C. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:

1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;

2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;

3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;

4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;

5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;

6. sistem persandian negara; dan/atau
7. sistem intelijen negara.
D. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

E. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:

1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;

2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;

3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;

4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;

5. rencana awal investasi asing;
6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau

7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.

F. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:

1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telahdiambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;

2. korespondensi diplomatik antarnegara;
3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau

4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.

G. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;

H. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;

3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;

4. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau

5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.

I. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;

J. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Pada Pasal 17 huruf h dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa informasi (baca : data) pribadi merupakan informasi yang bersifat Dikekecualikan dari sifat terbuka.

Sehingga dan oleh karena itu tidak dapat diakses oleh siapapun dan tidak dapat diberikan kepada siapapun kecuali dinyatakan sebaliknya oleh hukum.

Sehingga dan oleh karena itu wajib dilindungi dan menjadi kewajiban hukum Komisi Infornasi untuk melindunginya melalui segala instrumen kewenangan hukum yang dimiliki Komisi Informasi.

Sampai dengan RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) disetujui Presiden dan DPR dan diundangkan nantinya, maka satu-satunya norma hukum, sepanjang pengetahuan penulis, mohon dikoreksi jika salah, yang melindungi data pribadi dalam segala sektor apapun hanya Pasal 17 huruf h UU 14/200 tentang Keterbukaan Informasi Publik tersebut. Pengaturan PDP dalam banyak UU lain bersifat parsial hanya untuk sektor yang diaturnya saja, misal sektor kesehatan mengatur data pasien saja.

Dan kenyataannya, Komisi Informasi telah menjalankan kewajibannya selama 3 (tiga) periodesasi kepengurusan, semenjak 2009, untuk memastikan perlindungan data pribadi lintas sektor ini ditegakan sebagai perintah dan amanah langsung dari Undang Undang, yaitu UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Melindungi data pribadi sudah merupakan ruh utama dari Komisi Informasi dan merupakan bagian integral dari tugas pokok dan fungsi Komisi Infornasi sehingga dan oleh karena itu menjadi kewajiban dan pekerjaan sehari-hari Komisioner Komisi Informasi pada semua tingkatan.

UU PDP Aturan Komprehensif

Lantas bagaimana kedudukan UU PDP nantinya dikaitkan dengan KIP? Apakah akan saling tumpang tindih?

Menurut hemat penulis, dengan penjelasan diatas, keberadaan UU PDP merupakan pengaturan lebih konperhensif, pengaturan lebih menyeluruh, dari Paal 17 huruf h UU KIP. Sehingga semakin mempermudah dalam mendifinisikan dan mengawal ketentuan Pasal 17 huruf h UU KIP.

Lebih mempermudah dalam menjalankan perlindungan data pribadi karena UU PDP akan dipandang oleh KIP sebagai UU organik yang mengatur perlindungan data pribadi. Dan sesuai Pasal 17 huruf j UU KIP, informasi yang dinyatakan sebagai infornasi rahasia oleh UU organiknya haruslah dipandang dan diperlakukan sebagai Informasi Yang Dikecualikan oleh rezim keterbukaan informasi.

Kembali ke pertanyaan awal diatas, apakah Keterbukaan Informasi Publik bertentangan dengan Perlindungan Data Pribadi?

Pandangan penulis, kedua isu dan regulasi tersebut tidak saling bertentangan, bahkan justru saling menguatkan dan melengkapi. UU PDP, setelah diundangkan nantinya, akan semakin menguatkan dan memudahkan Komisi Informasi dalam melaksanakan sebagian kewajiban hukumnya yaitu melindungi data pribadi warga negara Indonesia (Pasal 17 huruf h UU KIP).

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah Komisi Informasi dapat menjalankan UU PDP itu nantinya jika diberikan tugas kewajiban itu oleh UU PDP kepada Komisi Informasi?

Menurut hemat penulis, Komisi Informasi dapat dan akan dengan senang hati menjalankan amanah tersebut jika memang demikian keputusan pembuat Undang Undang.

Komisi Informasi tentu saja akan menerima tanggung jawab tersebut dengan penuh dedikasi dan rasa tanggung jawab.

Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa melindungi data pribadi warga negata memang sudah merupakan ruh dan bagian intergal dari Tugas Pokok dan Fungsi Komisi Informasi semenjak dari awal berdirinya, sebagaimana diamanatkan Pasal 17 huruf h UU KIP.

Semoga negara dapat melindungi kekayaan negara yang tak ternilai ini, yang bahkan menurut Presiden Jokowi merupakan kekayaan masa depan yang lebih bernilai dibanding oil, yaitu data, khususnya data pribadi, Allahumma aamiin.(anlisa/dikirim via japri whatsApp)