Keterwakilan Perempuan di Parlemen : Adakah peran sosialisasi politik dalam mendukung keterwakilan mereka?

oleh -329 views
oleh
329 views
Syifa Salsabila, Mahasisea FISIP. UNAND(dok)

Oleh: Syifa Salsabila
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

DEMOKRASI melahirkan suatu bentuk partisipasi yang dimanifestasikan melalui unsur-unsur politik seperti partai politik.

Partai politik merupakan wadah dalam penampung aspirasi rakyat yang akan disampaikan melalui lembaga Perwakilan Rakyat. Dalam Dasar-dasar Ilmu Politik, Prof. Miriam Budiardjo (2008:315) mengatakan,

“Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan People’s Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apa pun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.”

Berdasarkan pernyataan Miriam Budiardjo, dapat disimpulkan bahwa wujud dari aspirasi politik yaitu dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia menduduki posisi yang sangat strategis dikarenakan fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri merupakan sarana penyalur aspirasi rakyat khususnya di parlemen. Di Indonesia sendiri keanggotan parlemen ini diisi oleh anggota dari berbagai partai politik yang memenangkan kursi di pemilihan umum.

Mengutip dari Kompaspedia (2019), tercatat sebanyak 575 keanggotaan yang berada pada kursi perwakilan di parlemen. di mana sebanyak 457 kursi atau 79,48% diisi oleh kaum pria dan sebanyak 118 atau 20,52 persen kursi diisi oleh kaum perempuan.

Berdasarkan paparan di atas, terlihat sebuah perbandingan secara kuantitas antara keterwakilan perempuan dan laki-laki di kursi parlemen Indonesia. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen masih jauh di bawah jumlah keterwakilan laki-laki di parlemen.

Hal ini nantinya akan memicu suatu kesenjangan di mana keterwakilan perempuan dalam politik tidak memenuhi syarat minimal 30% di kursi parlemen. Jauhnya perbandingan kandidat secara gender tentunya disebabkan oleh beberapa factor yang berindikasi pada keterwakilan perempuan di parlemen.

Seiring dengan berkembangnya proses pemilu di negara Indonesia, dapat dilihat gelombang representasi perempuan di parlemen RI cenderung mengalami peningkatan. Adapun maksud dari tabel di atas dapat dilihat bahwa representasi politik perempuan dalam parlemen di Indonesia seiring berjalannya waktu cenderung mengalami pasang surut pada setiap rezim pemerintahannya.

Seperti pada masa orde lama dapat dilihat bahwa keterwakilan perempuan di parlemen hanya sekitar 3,8% dari keseluruhan.

Memasuki masa reformasi hingga sekarang keterwakilan perempuan sudah mengalami kenaikan menjadi sebesar 20,5%.
Namun jika dikaitkan kembali pada Peraturan Undang-Undang No.2 Tahun 2008 mengenai syarat minimal keterwakilan perempuan, tingkat representasi tersebut belum sampai pada angka minimal 30%. Sehingga masih ditemukan adanya kesenjangan gender dalam keterwakilan politik di parlemen Indonesia.

Tercatat bahwa pada tahun 2019 PDIP mendapatkan perolehan kursi sebanyak 128 kursi dari jumlah keseluruhan kursi di parlemen DPR RI. Dengan partai yang memiliki jumlah kandidat lebih banyak, maka peneliti beranggapan bahwa jumlah kandidat perempuan juga akan lebih banyak sehingga kami berasumsi jika kuantitas perempuan sudah mencapai kuota 30%.

 

Berdasarkan aturan UU No 2 tahun 2008 dimana diberikannya kuota minimum ketersediaan perwakilan perempuan dalam politik sebesar 30%, maka peneliti menganalisa data bahwa data tersebut dapat diakumulasikan dengan menghitung jumlah seluruh anggota PDIP di parlemen DPR RI, yaitu sebanyak 128 orang dikalikan dengan nilai sebesar 30%.

Namun berdasarkan keterangan nasional.kompas.com, diketahui bahwa jumlah keterwakilan perempuan dalam partai PDIP ternyata belum muncukupi kuota 30%. Dimana keterwakilan perempuan di parlemen hanya di isi oleh 28 orang saja dan 100 diantaranya merupakan keterwakilan laki-laki.

Jauhnya perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan mencapai rasio 25:7. Terlihat bahwa jumlah laki-laki sekitar 3 kali dari jumlah perempuan. Hal ini patut dipertanyakan mengapa keterwakilan perempuan selalu jauh di bawah keterwakilan laki-laki, padahal berdasarkan data dari website resmi dpr.go.id/, data keseluruhan kandidat PDIP yang duduk di kursi parlemen begitupun dengan profil pribadi para kandidat, terutama kandidat perempuan, rata-rata pendidikan mereka sudah cukup tinggi bersama gelar yang mereka raih sehingga itu menjadi bukti bahwa pengetahuan dan wawasan mereka tidak diragukan lagi.

Berdasarkan ruang lingkup eksternal partai, diperkirakan fenomena ini terjadi karena sistem dari pemilihan politik itu sendiri, kurangnya figur keterwakilan calon wanita bagi masyarakat sehingga mempengaruhi jumlah suara mereka dan beberapa pandangan streotif masyarakat mengenai gender di Indonesia.

Sedangkan mengenai factor internal disini peneliti melihat dari diri kandidat wanita secara pribadi dan bagaimana lingkup interaksi partai politik dengan kandidat politik wanitanya. Interaksi ini bisa terjadi bagaimana partai politik memberikan sosialisasi politik mendalam bagi para kandidat khususnya kandidat wanita.
Partai PDIP tentunya memiliki agen-agen penting yang berperan dalam menanamkan nilai-nilai mengenai segala aspek politik hingga pola perilaku anggota partai.

Pola perilaku anggota partai ini akan mempengaruhi mereka dalam bertindak secara politis berdasarkan pegangan mereka yang diterima selama berada di dalam partai, termasuk bagaimana mereka merasionalisasikan nilai-nilai itu dalam persaingan di parlemen. Namun jika ditelaah kembali bagaimana representasi wanita di parlemennya, menunjukkan rendahnya kuantitas keterwakilan perempuan.

Oleh karena itu, penulis melihat bahwa permasalahan rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen bisa ditinjau dalam analisis sosialisasi politik. Sosialisasi politik dalam partai politik berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai dan membentuk karakter seseorang di partai tersebut untuk memperjuangkan posisinya di parlemen.

Saya melihat bahwa dari banyaknya fenomena rendahnya keterwakilan perempuan rata-rata diteliti dari aspek faktor penyebab, analisa rendahnya, dan konsep sosialisasi politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan yang ditujukan pada partisipasi politik.

Oleh karena itu, saya memandang bahwa terdapat faktor rendahnya keterwakilan perempuan yang dapat dianalisa menggunakan teori dan konsep sosialisasi politik.

Sosialisasi politik pada pada umumnya memiliki sasaran kepada partisipasi politik, sedangkan menurutp endapat saya, sasaran sosialisasi politik itu dapat melalui partai politik terhadap anggota kader, khususnya kader perempuan.

Menurut saya, sosialisasi politik parpol terhadap kader perempuan sebenarnya akan menanamkan nilai-nilai politik perempuan sehingga akan mempengaruhi keterwakilan mereka di parlemen. Dikarenakan keterwakilan perempuan belum mencapai kuota 30%, maka patut diperhatikan bagaimana sosialisasi politik yang mereka dapatkan selama menjadi anggota kader parpol.

Selain itu, pentingnya keterwakilan perempuan dalam parlemen sejatinya akan memberikan manfaat bagi perempuan di Indonesia dimana terdapat penegakkan hak-hak kaum perempuan, seperti hak-hak mereka dalam landasan konstitusi yang selama ini mengalami berbagai permasalahan.

Terdapat beberapa teori Sosialisasi Politik Rush dan Althoff mencakup 4 konsep, yaitu:
Agen Sosialisasi Politik, yaitu aktor-aktor yang berperan dalam menanamkan nilai-nilai kepada individu/kelompok. Misalnya peran kelompok kepentingan dan organisasi masyarakat dapat memberikan pengaruh kepada public sebagai agen sosialisasi politik terhadap peningkatan partisipasi perempuan di parlemen.

Materi Sosialisasi Politik, yaitu berisi nilai-nilai, pengetahuan dan sikap-sikap politik yang hidup di lembaga atau organisasi. Pendekatan ini menurut saya memiliki peran di dalam organisasi parpol terhadap para kader wanita, misalnya bagaimana nilai-nilai parpol bisa mendukung kader wanita hingga ke parlemen.

Mekanisme Sosialisasi Politik, memiliki 3 unsur, yaitu imitasi, instruksi dan motivasi.
Pola Sosialisasi Politik, yaitu suatu proses yang terus berkesinambungan. Untuk mengetahui proses sosialisasi yang terdiri dari badan atau organisasi, diharapkan terdapat suatu hubungan antara organisasi dengan para individu yang ada di dalamnya.
Itulah bagaimana sosialisasi politik pada dasarnya juga memiliki peran dalam keterwakilan perempuan di politik.

Sosialisasi politik sebagai instrument penanam dan penyalur nilai-nilai sejatinya dapat membawa peran perempuan ke ranah politik yang lebih nyata. Nilai-nilai yang terdapat pada organisasi atau parpol pastinya akan mempengaruhi perempuan dari segi sikap, pola pikir hingga bagaimana mereka membuat keputusan. ketiga segi itulah pasti akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam menentukan mereka di kursi parlemen.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik
Umagapi,JuniarLaraswanda. Representasi Perempuan di Parlemen Hasil Pemilu 2019:Tantangan dan Peluang. jurnal.dpr.go.id Kajian 25 (1),19 34,2020
dpr.go.id/anggota/index/fraksi/1
https.//nasional.kompas.com/

(analisa)