Kisah Aina, Seuntai Doa, dan Kemanusiaan Kita

oleh -1,295 views
oleh
1,295 views

Catatan : Bhenz Maharajo

Aina namanya. Tepatnya Aina Talita Zahran. Bocah kampung dari lereng Gunung Sago, Nagari Situjuah Banda Dalam, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota. Dia piatu. Ibunya wafat ketika dia masih berusia 24 bulan. Setelah sang ibu wafat, ayahnya meninggalkan rumah, pergi mengadu nasib. Tinggallah Aina bersama empat saudaranya.

Sejak ibunya tiada, Aina yang kini berusia delapan tahun dibesarkan oleh kerabatnya. Sama seperti bocah lainnya, Aina menghabiskan masa kecil dalam keriangan. Tanpa beban, tanpa tahu nestapa hidup. Dia disenangi orang kampung. Keluguannya, karena tawa renyahnya.

Tapi, kisah keriangan masa kecil Aina berjalan singkat. Di sela keriangan itu, tubuh Aina rupanya menyimpan lara. Dia sakit yang tak biasa. Aina mengidap liver. Penyakit berbahaya yang menyerang hati manusia. Menurut data WHO tahun 2013, angka penderita penyakit liver di Indonesia diperkirakan mencapai 28 juta orang. Aina salah satunya.

Alangkah memilukannya, gadis sekecil Aina menderita penyakit yang merupakan salah satu dari 10 penyakit terbesar penyebab kematian di Indonesia. Tak hanya itu, Aina juga mengidap kista. Komplikasi. Terbayangkan derita yang ditanggung tubuh kecilnya?

Kebahagiaan Aina terenggut. Cahaya matanya pudar, senyumnya hilang seiring sakit yang menjangkiti tubuh kurusnya. Aina tak lagi gadis kecil yang ceria. Masa-masa bocah yang mestinya dihabiskan dengan bermain, punah sudah.

Dia tergolek lemah di dipan rumah sakit. Kawannya tidak lagi boneka, peralatan main masak-masak, tapi beragam selang. Entah itu selang infus, selang bantuan pernafasan, atau selang oksigen. Aina koma sudah lebih sepekan. Anak piatu itu berjuang melawan kesakitan. Sendiri. Alangkah pedihnya.

Kisah pilu Aina pertama sekali saya dengar dari Uni Eri, perempuan paruhbaya yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Memang, walau sekampung saya tak mengenal Aina. Maklum, setamat SMA saya langsung merantau. Aina belum lahir. Tapi dengan Wira, almarhumah ibunya, saya kenal baik.

Sebenarnya, waktu Uni Eri bercerita, Aina sudah sepekan lebih dirawat di RS Ibnu Sina Payakumbuh. Sebelum dirawat, dia berobat jalan saja. Diagnosa petugas medis RS Ibnu Sina sakit Aina sudah akut. Parah. Dokter di sana angkat tangan dikarenakan tak punya alat memadai untuk merawat dan mengobati. Aini mesti dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Djamil Padang. Di sana alatnya canggih-canggih. Aina bisa dirawat dengan memadai.

Masalahnya, proses rujukan ke RSUP M Djamil belum bisa dilaksanakan. Tak segampang yang dikira. Alasannya karena Ruang NICU di RSUP M Djamil Padang yang dikhususkan bagi anak-anak yang perlu perawatan ketat, sedang penuh. Aina tak kebagian kamar, sementara fisiknya kian lemah.

Masalah lainnya, BPJS Aina belum aktif pula. Baru diurus. Kerabatnya pening. Mereka juga bukan orang berada. Jangankan untuk berobat Aina, untuk biaya transportasi dan makan sehari-hari saja selama menunggui Aina acap kurang.

Uni Eri menceritakan segala hal tentang Aina dengan mimik sedih. Saya terbawa suasana. Memang, saya paling tak bisa mendengar kisah-kisah pilu seperti kisah Aina. Saya pernah merasakan kepedihannya. Dulu keponakan saya juga begitu, keluar masuk rumah sakit. Kadang tak punya uang, kadang berharap pemberian orang agar bisa berobat. Ah, biarlah kisah pahit itu jadi kenangan kami sekeluarga saja, Aina jangan.

Setelah mendengar cerita Uni Eri secara utuh, saya spontan menghubungi Direktur Utama (Dirut) RSUP M Djamil, Dokter Djovi Djanas. Menceritakan ulang kondisi Aina dan halangan-halangannya dalam mendapatkan perawatan medis. Sebelumnya, saya juga menghubungi petugas di RS Ibnu Sina untuk bertanya secara detail kondisi Aina, biar saya tak salah penyampaian pada Dokter Djovi.

Dokter Djovi orang baik. Belasan kali saya membawa orang kurang mampu berobat ke RSUP M Djamil. Sakitnya beragam, tapi intinya mereka tak punya dana untuk berobat. Dokter Djovi tak pernah bertanya soal uang. Baginya, pengobatan nomor satu, uang urusan belakangan. Seringkali, tak ada biaya yang dikeluarkan. Khusus untuk Aina, Dokter Djovi berjanji mengusahakan agar Aina bisa dirawat di RSUP M Djamil. Hari itu memang tak bisa. Kalender merah.

Selain menghubungi Dokter Djovi, saya juga mengontak Dokter Farhan Abdullah. Dokter satu ini saya panggil Uda. Dia sebelas dua belas dengan Dokter Djovi. Hobinya membantu orang miskin. Baginya, keriangan absolut itu ketika dirinya bisa membantu orang lain. Hidupnya demikian, beranjak dari satu kebaikan menuju kebaikan lainnya.

Saya juga mengabarkan kondisi Aina pada Ketua DPRD Sumbar, Supardi. Kepada saya, Supardi memastikan akan mengupayakan segala hal untuk kesembuhan Aina. Tak lupa pula saya berkomunikasi dengan salah seorang pejabat BPJS. Meminta agar kartu kesehatannya bisa cepat diaktifkan, agar biaya berobat bisa ditanggung negara.

Sembari menunggu kabar dari petugas RSUP M Djamil terkait keberadaan NICU, saya menyebarkan pula kisah Aina ke beberapa group whatsApp. Banyak yang respek. Kisah Aina menghentak nurani banyak orang. Mereka iba, ingin Aina sembuh. Ingin senyum kembali hadir di wajah kecilnya.

Doa orang banyak untuk Aina sepertinya didengar Yang Kuasa. Sehari berselang, Dokter Farhan menghubungi saya. Katanya. Ruangan sudah oke. Dia sudah berkoordinasi intens dengan Dokter Djovi. Aina bisa dibawa ke Padang hari itu juga. Petugas medis juga standby. Saya sebelumnya telah mengirimkan rekam medis Aina ke Dokter Farhan untuk dicermati.

Kabar dari Uda Farhan adalah kabar secerca harapan. Cepat-cepat saya menghubungi kerabat yang menjaga Aina dan berkomunikasi dengan pihak RS Ibnu Sina agar Aina segera dilarikan ke Padang. Alhamdulillah, pihak rumah sakit juga punya komitmen yang sama agar Aina bisa sembuh dan mendapatkan penanganan seutuhnya. Urusan tidak dipersulit, Aina langsung dibawa ke Padang menggunakan ambulans.

Sebelum berangkat naik ambulans, saya mengatakan kepada pihak keluarga untuk fokus saja pada penyembuhan Aina. Tak perlu pikirkan yang lain, termasuk biaya. Saya bertanggungjawab untuk mengakalinya. Terpenting Aina bawa dulu ke Padang, dirawat. Urusan lainnya, jadi urusan saya belakangan.

Sampai di Padang, dokter di RSUP M Djamil langsung memberikan perawatan maksimal. Aina dijaga dengan telaten. Diperiksa total. Mereka juga melaporkan kondisi Aina pada saya dan pihak keluarga secara berkala dan lengkap. Katanya, kalau terlambat sehari saja, hal buruk bisa saja terjadi pada Aina.

Aina kini sudah dirawat dengan maksimal, dengan peralatan canggih yang ada di RSUP M Djamil. Beberapa rekan saya yang dermawan juga menyalurkan bantuan langsung pada keluarga Aina yang menunggui di rumah sakit. Bantuan-bantuan itu berapun nilainya sangat bermanfaat.

Banyak memang, orang yang membantu Aina dengan caranya masing-masing. Menyalurkan bantuan, memastikan penanganan medis maksimal, bahkan membagikan kisah Aina ke media sosial. Itu sudah hebat. Hebat sekali. Ikhtiar rasanya sudah. Para dokter berjibaku, pihak keluarga menjaga tak kenal hari. Tugas selanjutnya adalah berdoa. Mengetuk pintu langit agar Aina sembuh. Selebihnya pasrahkan saja pada Sang Pencipta.

Oh iya, segala upaya untuk Aina bukan soal politik-politik, tidak untuk pencitraan, cari nama, cari panggung, apapun itu. Hentikan dulu kecurigaan-kecurigaan yang tak perlu dipersoalkan. Sekarang ada seorang gadis kecil yang butuh uluran. Ya sudah bantu. Tanggalkan segala atribut perbedaan, entah itu perbedaan politik, pandangan, atau sekadar cara berpikir. Apapun kondisinya, kemanusiaan harus diutamakan. Tak peduli ruang dan waktu.

Kisah Aina ini adalah kisah kecut tentang hidup, kisah perjuangan tak putus seorang perempuan delapan tahun untuk sembuh dari liver dan kista yang menggerogoti tubuhnya. Kisah Aina adalah kisah kita, kisah kemanusiaan…(*)