Kisah Nyata 8 Jam Terapung-Apung, Terdampar di Pulau tak Berpenghuni

oleh -1,242 views
oleh
1,242 views
Menunggu bantuan, 12 penunpang Speedboad terdampar di bagian pulau Bunyu tak berpenghuni, Kamis 17/8 malam.

*Abie di Mana Posisi, Ada Sehatkan*

Menunggu bantuan, 12 penunpang Speedboad terdampar di bagian pulau Bunyu tak berpenghuni, Kamis 17/8 malam.

Pengantar

Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang rombongan Kemendes PDTT, bermaksud ke Tarakan, setelah memperingati upacara detik-detik proklamasi di Pulau Sebatik, terkatung-katung dihempas badai dan gelombang besar di laut Nunukan, Kalimantan Utara.

Bagaimana kisah nyata selama terombang-ambing di laut sampai terdampar di Pulau Bunyu, hingga dievakuasi ke KRI Kerapu-812, Firdaus menuturkannya secara bersambung dan redaksi www.tribunsumbar.com menyadur utuh dari Harian Umum Rakyat Sumbar., tulisan ke enam. Tulisan berikut ‘Jadi Pemeran di Mimpi Isteri Jurumudi’.

ADA jeda hampir lima menit sejak speedboat merapat ke pantai, suasana masih hening. Semua berada dalam diam. Tafakur. Berdoa memanjatkan syukur.

Saat hening itu, bang Akbar meminta agar tak ada yang turun dari speedboat. Pantainya tak berpenghuni, hanya hutan lebat. Tak tahu ancaman apa di pantai berhutan lebat tersebut.

“Adakah handpone yang dapat signal?” tanya Nugroho Notosutanto, Kabag Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT.
“Tak ada signal di sini,” kata bang Akbar

Semua sibuk melihat ke alat komunikasi masing-masing. Saya memperhatikan telpon genggam yang baru saja saya keluarkan dari saku celana. Ada satu garis. Semua melihat telpon selular masing-masing. Tina dan Bobby yang semula duduk dibarisan kedua dan pertama, memandu bang Akbar, sudah kembali ke belakang.

Telpon genggam Tina, Julie, dapat sgnal. Begitu juga telpon genggam Datuk Febby, Adji Setyo Nugroho (Tim Ahli Kantor Staf Menteri Kemendes PDTT). Saya melihat, Datuk Febby mengutak-atik selularnya.
Dari arah belakang saya, ada bunyi dering telpon masuk. Tina dan Julie kembali bersorak gembira.

“Kami di pantai barat pulau Bunyu,”

katanya. Ia kemudian mengabarkan, pak nelayan menghubunginya kembali. Beliau akan menjemput. Ia sudah di laut. Tak jauh dari mereka.

“Alhamdulillah. Saya dapat kontak dengan Indra Salim,” kata Datuk Febby.

Orang yang dimaksud Datuk Febby adalah staf ahli Menteri Desa PDTT. Datuk Febby minta bantuan agar ia menyampaikan kepada Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo. Harapannya agar bisa menindaklanjuti koordinasi dengan pihak terkait.

Tak lama berselang, handpone di bagian belakang saya kembali berbunyi. Saya tak tahu handpone siapa, namun saya mendengar Tina dan Julie berteriak gembira mengabarkan. Ada telpon masuk dari Bakamla, tapi keduanya ragu menjawab. Ia memberikan kepada Adji Setyo Nugroho.

Adji yang berpenampilan tenang menerima selular, lalu menyahuti panggilan dari seberang. Ada sedikit basi-basi disampaikan Adji. Ada kalimat pengantar dan penjelasan. Waktu terus bergerak, speedboat masih dipermainkan ombak di pantai. Bang Akbar dan si Mas sibuk membenahi posisi speedboat. Ia turun ke pantai. Toaik ikut membantu, namun ia tetap berada di speedboat.

“Langsung ke pokok masalah saja, Ji. Jangan pakai basa-basi,” potong Datuk Febby lantang.

Hubungan putus, kemudian tersambung lagi. Begitu berulang kali. Beberapa kali pula telpon yang dipegang Adji masuk nomor tak dikenal, namun ia tetap menyahut. Pergantian nomor-nomor telpon yang masuk ternyata dari orang-orang berbeda di Bakamla.

Nomor tim di Bakamla juga diselingi nomor pak nelayan. Ia terus merengsek mendatangi lokasi tempat kami mendamparkan speedboat, “apakah sudah menampak laser hijau saya?” tanyanya.

Semua memandang ke laut. Belum!
Dikontak lain, tim Bakamla meminta koordinat speedboat terdampar. Nana Suryana, Julie Ervina, Tina Istiana Syamsul, Boby, Iwan, Alam Kribo, sibuk memperhatikan kompas melalui selular mereka masing-masing. Satu sama lain saling mencocokkan. Gerak mereka sangat cepat dan tangkas.

Titik koordinat yang mereka dapatkan di kompas, tak berbeda. Koordinat itu dikirim melalui pesan singkat. Tertahan, tidak terkirim. Dikirim melalui nomor lain. Tertahan juga. Signal kembali hilang.
Pandangan Adji, Tina dan Julie tak lepas dari selular mengirimkan koordinat ke Bakamla. Semua berharap, pesan tersebut segera terkirim. Jika tidak terkirim, akan lama terkatung-katung di pantai.

Ketegangannya masih terasa. Menanti penuh harap. Berharap agar sebatang signal pun kembali mampir ke pantai tak berpenghuni ini. Semua berharap dalam doa-doa yang panjang. Di sisi kiri saya,

Datuk Febby sudah terkulai. Kepalanya tersandar ke kaca di dinding speedboat. Ada bunyi dengkur dari arahnya. Saya coba memastikan. Datuk Febby tertidur pulas dibuai goyangan speedboat dipermainkan ombak di pinggir pantai. Dengkurnya terdengar.

“Alhamdulillah. Allahu Akbar. Pesan terkirim..!” pekik Tina dan Julie.
Mendengar kabar itu, saya jadi plong. Lega rasanya. Saya merasakan, kami pasti selamat. Tak ada keraguan sedikit pun.

Ketika itu juga, saya kembali melihat telpon genggam. Ada satu batang signal. Di bagian belakang, Adji menerima telpon. Ia dihubungi orang-orang di Kemendes PDTT dan memberikan kabar terakhir kondisi kami.

Saya mencoba menghibur diri. Saya hubungi nomor istri. Nun diseberang telpon, menembus laut, membelah ruang dan waktu, telpon saya diterima Zidane, putra saya yang masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.

“Abie di mana posisi, sehat-sehat sajakan?” tanyanya setelah membaca salam.

Saya mengabarkan, kondisi sehat. Sedang berada di pulau Bunyi. Sedang istirahat. Lalu ia mengabarkan, timnas Indonesia U-22 menang telak, 3-0 dari Filipina. Zidane sangat suka sepakbola.

Setelah ia mencerikan ketatnya pertandingan, kemudian ia memberikan telpon kepada Zhilan, kakaknya yang kini kelas tiga SMP. Zhilan bercerita sangat antusias soal ia diminta gurunya untuk ikut lomba baca puisi. Ada dua puisi yang akan dibacakannya, Kerawang Bekasi dan Diponegoro.

Saya memberikan semangat kepadanya. Saya bacakan puisi Diponegoro dengan mimik dan semangat. Ada renyah tawanya, “Kok Abie hafal?” tanyanya.

Ketika saya tanyakan uminya, Zhilan memberikan kabar, umi sudah tidur selesai salat Isya. Ia akan membangunkan, namun saya larang. Sejak dulu saya memang terbiasa tidak mengizinkan kalau ada yang membangunkan orang sedang tidur, kecuali sangat terpaksa.

Haluan speedboat menghadap ke laut. Buritannya di pantai, tapi posisinya sudah tersekat di pasir pantai. Kami sudah bersepakat, jika bantuan tak datang, kami akan bertahan saja sampai pagi. Tak akan turun dari speedboat. Melihat kondisi pulau di pesisir pantai, tak menguntungkan untuk turun. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Menurut bang Akbar, sebenarnya di pulau Bunyu ada tambang gas, minyak dan batubara. Penduduknya lumayan ramai, namun mereka mendiami kawasan di arah timur pantai. Tidak ditempat kami terdampar.

Saya kemudian mencari informasi di wikipedia. Pulau Bunyu merupakan sebuah kecamatan, Kecamatan Bunyu. Penduduk di Kecamatan Bunyu berjumlah 9.810 jiwa, lebih separoh pria. Masyarakat di Bunyu cukup beranekaragam, bagian terbesarnya adalah pendatang yang berasal dari Jawa dan Sulawesi.

Penduduk aslinya, suku Tidung berdiam di sekitar Pangkalan dan Bangsal Tengah, nama wilayah kecil di barat pulau tersebut. Suku lain yang menetap di pulau Bunyu, Jawa, Bugis, Tidung, Banjar.

Pulau Bunyu mencatatkan sejarah menjadi pulau pertama di Indonesia yang 100 persen penduduknya telah menikmati layanan listrik yang berasal dari gas.

Prestasi PLN Bunyu dan PLN Area Berau yang berada dalam wilayah kerja PLN Wilayah Kalimantan Utara mendapatkan pengakuan dan tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia.

Kami terdampar di bagian barat pulau. Kawasan di pesisir pantai barat, apalagi ditempat kami terdampar, tidak berpenghuni. *(bersambung, sumber harian rakyat sumbar)