Kisah Nyata, Delapan Jam Terapung di Perairan Sebatik-Tarakan, 2,5 Jam Arungi Gelombang Ganas

oleh -786 views
oleh
786 views
2,5 jam terombang-ambing di laut, speedboat hilang arah, gelombang tinggi mengincar ditengah hujan badaiz kisah nyata antara hidup dan mati, Kamis 17/8 malam perairan Sebatik-Tarakan.

 

2,5 jam terombang-ambing di laut, speedboat hilang arah, gelombang tinggi mengincar ditengah hujan badaiz kisah nyata antara hidup dan mati, Kamis 17/8 malam perairan Sebatik-Tarakan.

Pengantar
Kamis – Jumat (17-18 Agustus 2017) lalu, sebuah speadboat berisi 12 penumpang dari rombongan Kemendes PDTT, dari Sebatik ke Tarakan, usai memperingati upacara detik-detik proklamasi di beranda negara Sebatik, terkatung-katung terombang-ambing diperairan laut, kehilangan arah, ini kisah nyata yang disadur dari Harian Rakyat Sumbar karya Firdaus Abie, secara bersambung.

SPEEDBOAT terus menuju ke laut. Matahari telah jauh condong ke barat, sebentar lagi “tenggelam” di laut. Bang Akbar melarikan speedboat dalam kecepatan penuh. Ia langsung tancap gas, setelah menerima telpon dari anaknya.
Benturan bagian bawah speedboat dengan permukaan laut sangat terasa. Bunyinya keras sekali. Tak satu pun penumpang yang bersuara. Hening, kecuali suara benturan air laut dan bagian bawah speedboat. Butuh tenaga ekstra untuk bertahan di tempat duduk agar tidak bergeser posisi.

Saya menatap sekeliling. Semua seakan tak bergerak, hanya ada tarikan nafas. Saya juga. Perasaan cemas mulai menyerang, lalu berganti menjadi rasa takut. Tali baju pelambung saya ikatkan erat-erat. Saat masih di pelabuhan, baju pelampung persis bertumpuk dekat tempat duduk saya. Sengaja saya mencari yang besar, seukuran tubuh saya.

Kecepatan speedboat makin tinggi. Membelah lautan menyongsong petang. Jingga langit mengiringi mentari “tenggelam” ke laut, di ujung barat. Suasana di speedboat tetap tanpa suara penumpang.

Saya terjebak dengan perasaan sendiri. Ada gelisah menyeruak diri. Dada saya bergemuruh. Debarnya kian lama semakin kencang. Saya kembali menatap sekeliling. Tetap tak ada yang bersuara. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bercanda. Semua diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.
Ketika matahari sudah hilang “di laut” di ujung barat, warna jingga pun berganti hitam, hari mulai gelap. Gerimis pun turun. Speedboat terus bergerak dalam kecepatan tinggi, lalu berlahan terasa kecepatannya berkurang. Tak lama kemudian berhenti dan mesin pun mati.

“Tunggu sebentar, hidupkan lampu dulu,” kata bang Akbar, sang jurumudi.
Ia mencari pisau lipat, kemudian meraut kabel di samping kanan kemudi, lalu disambung. Lampu pun hidup. Saya memperkirakan, lampunya lebih besar sedikit dari lampu sepeda motor. Itu pun hanya satu di depan.

Setelah lampu hidup, perjalanan dilanjutkan. Kecepatan speedboat kembali seperti semula. Langsung dalam kecepatan tinggi. Kegelapan malam seakan membungkus laut. Cahaya lampu hanya menerangi bagian depan speedboat. Sekali-sekali bang Akbar mengeluarkan kepalanya ke bagian atas speedboat. Bagian atas dibolongi sedikit lebih besar dari tubuhnya. Dari sana ia membantu penerangan dengan senter di kanan, kemudi di kiri.

Saat gelap semakin pekat, hujan pun turun. Perasaan saya semakin tak menentu. Debar jantung saya semakin kencang. Saya teringat telpon seluluar yang sudah diisi, menggunakan powerbank Alam Kribo.

Saya buka al-quran, lalu saya mengaji. Suara saya tertahan.  “Mas, periksa minyak. Jangan sampai kosong,” kata bang Akbar. Tak ada jawaban dari si Mas. Bang Akbar mengulangi. Juga tak ada jawaban. Saya mendongok ke belakang. Saya tak menemukan di mana si Mas duduk. Saya tuntaskan baca al-quran.

“Mas, minyaknya aman, mas?” tanya saya setengah berteriak.

Teriakan saya disambung penumpang lain yang duduk dibagian belakang. Ada pergerakan. Si Mas memperiksa derigen biru dekat mesin, “aman..” balasnya.

Penumpang di belakang pun menyambung. Saya kemudian melanjutkan ke bang Akbar. “Aman, bang” kata saya.

“Perhatikan setiap saat mas. Jangan lengah,” pintanya.

“Perhatikan mas, jangan lengah” teriak saya menyambung. Penumpang lain pun kemudian melanjutkan.

Hari semakin gelap. Hujan kian deras. Anginpun berhembus kencang. Ombak bergulung semakin besar. Bang Akbar mengambil helm di samping tempat duduknya, lalu dipasang. Ia lalu kembali mengeluarkan sebagian tubuhnya, persis di bagian atas tempat duduk mengemudikan speedboat.

Ia tak lagi duduk diganjal tumpukan jaket pelampung yang tidak dipakai. Ia justru berdiri di tempat duduknya. Matanya liar melihat sekeliling di laut. Senter di tangan kanan, kemudi di kiri. Sekali-kali ia mengendalikan kemudi menggunakan kaki kiri. Saya semakin ngeri.

Dalam kondisi tak menentu, berulang kali speedboat berhenti di tengah gelombang yang bergulung semakin tinggi. Lampu sering mati. Sambungan kabel yang semula disambung, tiba-tiba lepas. Begitu berulang kali.

Setelah disambung, speedboat kembali bergerak, namun kecepatannya tak sekencang saat baru keluar dari pelabuhan. Geraknya pelan, tepatnya speedboat lebih sering dipermainkan gelombang tak bersahabat karena hujan badai di tengah laut. Sepertinya speedboat tak kuat menerjang ombak.

“Bang, kayaknya speedboat kita putar-putar di sini sejak sejak tadi,” Alam Kribo, Staf Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT, memecah kecemasan malam.

Saya menatap kepada Alam. Ia duduk dibarisan ketiga, tetapnya di belakang Datuk Febby, staf khusus Menteri Desa PDTT. Alam kemudian memperlihatkan GPS di tabletnya kepada saya.

“Kita putar-putar di sini saja dari tadi, udah lebih satu jam,” katanya. Saya terkejut. Makin takut.

“Tak mungkin,” bantah bang Akbar.
“Iya bang,” balas Alam.
“Yang lain ada GPS ndak? Coba sini, cocokkan GPS kalian untuk panduan,” kata Nugroho Notosutanto, (Kabag Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT). Lelaki itu duduk persis disamping kiri bang Akbar, atau di depan Datuk Febby.

“Benar, pak. Kini mutar-mutar di sini saja dari tadi,” kata Julie Ervina, Tina dan Boby, serempak. Ketiganya Staf Perencanaan Umum Setjen Kemendes PDTT.

“Sini kalian. Boby, Tina. Duduk di sini,” sambut Nugroho Notosutanto. Ia meminta Boby dan Tina ke depan. Boby duduk persis di depan, di ruangan kosong antara bang Akbar dan Nugroho. Tina duduk di belakangnya, tepatnya diantara saya dan Datuk Febby.

“Abang bisa baca GPS-kan?” tanya Nugroho, nanti dipandu Boby.
“Tidak,” jawabnya singkat.
Plak..! Semua saling berpandangan. Seakan ditampar diri ini. Jurumudi speedboat tak bisa baca GPS. Kecemasan semakin menyelimuti diri bersama gelap malam di tengah lautan, disiram hujan, dipagut badai dipermainkan ombak.

“Ya, sudah. Boby, Tina, pandu beliau,” pinta Nugroho. Ia duduk semakin gelisah.

“Ya, cari pulau terdekat saja!” pinta Datuk Febby. Semua sepakat.

Boby dan Tina memperlihatkan GPS kepada bang Akbar, lalu menunjukkan posisi speedboat. Berada di antara dua pulau. Sebelah kiri, atau dibagian barat, pulau Baru. Disebelah timur, pulau Bunyu. Tarakan yang hendak dituju, masih sangat jauh di depan, tepatnya di sebelah selatan.
Panduan di GPS, pulau terdekat adalah pulau Baru, “oke, kita ke pulau baru saja,” kata sepakat pun diambil. Bang Akbar juga sepakat.

Speedboat kemudian diarahkan ke pulau Baru. Berlahan dan pasti, namun laju speedboat sangat pelan.

“Ombak sangat besar dan sekeliling juga sangat gelap,” kata bang Akbar. Posisi kepala hingga dada atas di atas speedboat, dada hingga kaki berada di dalam. Sekali-sekali ia melongok ke bawah melihat GPS di tangan Boby, sekali-sekali ia berteriak memberikan perintah kepada semua penumpang. Saya melanjutkan teriakannya. Beragam perintahnya.
“Satu penumpang pindah ke kiri..!”

Tak lama kemudian, perintahnya berubah, “dua penumpang pindah ke kanan,” atau ada juga perintahnya, “semua pindah duduk ke bawah,” dan beragam kalimat perintah lainnya. Perintah itu untuk mengimbangi hempasan ombak ke badan speedboat.

Setengah jam speedboat bergerak ke arah pulau Baru, tiba-tiba ombak besar menghantam haluan speedboat. Haluan terbenam, beberapa saat kemudian berhasil keluar kembali. Air masuk dari depan. Semua berteriak kaget dan ketakutan. Allahu Akbar… Allahu Akbar!
“Ombak semakin besar. Angin datang dari arah depan membawa gulungan ombak!” kata bang Akbar mengabarkan.
Semua ketakutan. Saya berzikir tanpa henti!* (bersambung, harian rakyat sumbar)