Komisi VI Rapat dengan Produsen Minyak Goreng, Hj Nevi: Tahan Dulu Ekspor

oleh -195 views
oleh
195 views
Hj Nevi RDPU dengan produsen besar minyak goreng dalam negeri dan minta komitmen jangan ekspor dulu, sebelum harga minyak goreng dalam negeri turun, Senin 24/1-2022. (dok/eff)

Jakarta — Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI dengan produsen minyak goreng  besar dalam negeri.

Hadir di RDPU Komisi VI DPR RI, GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia), AIMNI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indoensia), GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia ) dan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).

RDPU jadi respon konkret DPR RI untuk membahas tingginya harga minyak goreng di pasaran.

Anggota DPR RI Komisi VI, Hj. Nevi Zuairina, lantang bicara di RDPU, dia meminta ada prioritas dari pemenuhan minyak goreng dalam negeri sebelum melakukan ekspor.

“Tahan dulu ekspor, penuhi kebutuhan dalam negeri. Minyak goreng mahal maka sekian macam kebutuhan pokok rakyat pasti ikut mahal,”Nevi Zuairna Senin 24/1-2022 sebagaimana rilis diterima media ini, Selasa 25/1-2022.

Hj Nevi mengatakan, mengutip data dari BPS, yang memaparkan komoditas yang memiliki andil cukup besar dalam pengeluaran konsumsi masyarakat (0,1%) setelah perhiasan emas (0,26%) dan cabai merah (0,16%).

Selain itu, kebutuhan akan salah satu sumber omega 9 ini juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Proyeksi tingkat konsumsi minyak goreng pada tahun 2019 sebesar 10,86 liter/kapita/tahun.

Angka ini cenderung meningkat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 9,60 liter/kapita/tahun (belum termasuk konsumsi di luar rumah tangga seperti konsumsi oleh hotel, restoran/rumah makan, katering, dan lembaga.

“Selama ini, proporsi serapan minyak goreng dalam negeri memang lebih kecil dari luar negeri sekitar 34 persen. Dengan tingginya harga pasar dunia, ekspor memang sangat menjanjikan ditambah lagi kelangkaan stok dunia. Tapi kebutuhan dalam negeri jangan sampai diabaikan sehingga akibatkan minyak goreng dalam negeri mahal,”terang Hj. Nevi Zuairina.

Berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun 2020 mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (66 persen) diekspor dan 17,34 juta ton (34 persen) terserap di dalam negeri.

Legislator asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat II ini memaparkan, bahwa pendistribusian minyak goreng dari produsen hingga ke konsumen akhir di 34 provinsi di Indonesia dapat melibatkan 3 sampai 7 pelaku kegiatan perdagangan.

Pola utama distribusi perdagangan minyak goreng nasional adalah Produsen–Distributor–Pedagang Eceran–Konsumen Akhir dengan MPP (Margin Perdagangan dan Pengangkutan) total sebesar 17,41 persen yang mengindikasikan bahwa secara nasional kenaikan harga dari produsen hingga ke konsumen akhir berdasarkan pola utamanya adalah sebesar 17,41 persen.

Politisi nasional PKS ini mendorong kepada para asosiasi untuk tunjukam andilnya demi stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri.

Situasi yang sangat mengkhawatirkan, meskipun pemerintah sudah menjanjikan 250 ribu ton ketersediaan tiap bulan, namun masyarakat melakukan panic buying dengan memborong minyak goreng dengan harga 14.000 rupiah.

Bahkan kata Hj Nevi Zuairina situasi pasar dunia, harga CPO semakin tidak terkendali akibat Indonesia akan membatasi ekspor minyak sawit.

Ini menunjukkan, bahwa Negara Tercinta ini semestinya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia pada komoditas minyak sawit ini.

“Meskipun selama ini kita menjadi olok-olok terkait produk sawit yang mengganggu kesehatan dan lingkungan oleh masyarakat Eropa. Saya menekankan kepada pemerintah, agar kebijakan pemerintah ini dapat berdampak jangka panjang dalam persoalan minyak sawit ini. Dengan harga 14.000 rupiah, ternyata memicu gejolak perilaku masyarakat terutama masyarakat yang memiliki kemampuan daya beli. Bagaimana masyarakat yang tidak mampu beli?,”ujar Hj Nevi mempertanyakan.

Berdasarkan informasi dikumpulkan di lapangan, meskipun harga Rp 14 ribu ditentukan pemerintah, ada titik-titik tertentu stok minyak goreng tidak ada.

Ini kata Nevi Zuairina, artinya ada situasi yang tidak terkendali dalam harmonisasi suplai dan demand. Bahkan beberapa supermarket pun memanfaatkan situasi untuk mendapat harga minyak goreng Rp 14 ribu, mesti beli produk lain dulu sebesar Rp 50 ribu, meskipun pemerintah dengan cepat menangani hal ini.

“Saya menyarankan, operasi pasar di titik-titik masyarakat yang memiliki daya beli rendah harus dilakukan pada harga minyak goreng Rp 14 ribu. Selain menjamin adanya stok yang memenuhi kebutuhan masyarakat dengan syarat maksimal pembelian, juga meningkatkan ketepatan sasaran pemenuhan kebutuhan masyarakat,” ujar sosok keibuan yang di Dapilnya Sumbar II sangat sering berinteraksi dengan konstituen.(nzmc*)