Korelasi Keterwakilan Politik Perempuan dan Dinasti Politik

oleh -254 views
oleh
254 views
Fauzul Hasni, Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh: Fauzul Hasni

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UNAND

KORELASI Keterwakilan Politik Perempuan Dan Dinasti Politik Keterwakilan Perempuan dalam politik belum sepenuhnya memenuhi kuota 30% dari anggota legislatif seperti yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2007 tentang partai politik menetapkan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan, namun nyatanya banyak yang belum memenuhi kuota tersebut.

Fenomena minimnya keterwakilan perempuan berkaitan dengan pembagian ruang antara laki-laki dan perempuan. Tidak mengherankan jika paradigma politik tidak cocok dengan perempuan. Politik dianggap dunia yang penuh intrik di mana bertentangan dengan karakter perempuan yang pengasih, sabar, lembut dan kurang tegas.

Anggapan umum bahwa politik lebih tepat bagi laki-laki dibandingkan perempuan karena politik identik dengan maskulinitas. Selanjutnya budaya patriarki meletakkan kontrol oleh laki-laki dalam setiap dimensi kekuasaan. Sedangkan perempuan yang memiliki sedik pengaruh dalam masyarakat atau kurang memiliki hak pada wilayah publik dalam masyarakat.

Mereka memilki ketergantungan kepada laki-laki baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi. Maka baik dalam keluarga maupun masyarakat meletakkan perempuan pada posisi subordinat dan inferior. Padahal pada dasarnya perempuan dan politik memiliki hak yang samadalam berbagai bidang, termasuk juga bidang politik.

Namun, hak yang sama itu tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga keterwakilan perempuan dalam politik menjadi timpang.

Harapan aktifis perempuan untuk mewujudkan kesamaan di bidang politik masih jauh dari kenyataan. Seperti yang kita lihat bahwa kualitas dan kuantitas perempuan di parlemen nasional dan daerah belum signifikan, ini bermakna jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif masih jauh dari yang dicita – citakan.

Perempuan belum mampu menunjukkan diri sebagai agen perubahan, lemahnya peran perempuan dalam parlemen disebabkan kapabilitas perempuan yang lolos ke parlemen kurang teruji. Kebanyakan perempuan yang terpilih dan berada di dunia politik formal saat ini berasal dari dinasti politik.

Pemenuhan 30% keterwakilan perempuan menjadi salah satu sebab penyumbang politik dinasti. Politik dinasti merupakan dimana calon dari kepala pemerintah yang akan berkuasa, berasal dari keluarga yang sama atau ada hubungan kekerabatan dengan penguasa sebelumnya.

Sebagai contoh sebut saja mantan gubernurr banten ratu atut chosiyah menempatkan kerabatnya di pemerintahan banten. Dinasti banten tidak hanya dibangun atut dijajaran pemerintah daerah tapi juga antar provinsi daan lembaga legislatif.

Menantunya Ade Rossi Khoerunisa menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang 2009-2014, begitu juga saudara atut yaitu Ratu Tatu Chasanah yang menjadi wakil bupati kabupaten serang pada 2010-2015.

Munculnya pemimpin-pemimpin perempuan di Banten, tak berdiri sendiri begitu saja. Dorongan bosisme, local strong man, dan oligarki yang sangat kuat yang menjadi background pemimpin dari perempuan-perempuan di Banten. hal ini menjadikan perempuan politik di Banten ini maju bukan karena atas kesadaran diri akan kesadaran gender dan melek politiknya, namun adanya dorongan oligarki yang tidak dapat lepas dari struktur politik di Banten.

Perempuan yang dipilih oleh keluarga mereka sebagai pemimpin, akan mudah diatur oleh keluarga mereka untuk melanggengkan oligarkinya. Karena oligarki, mereka berpikir bahwa perempuan lebih mudah diatur dan akhirnya perempuan ini menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Ini pula yang nantinya berpotensi menimbulkan korupsi. Kebanyakan dari kandidat perempuan mencalonkan diri untuk melanggengkan dinasti politik,karena motivasi perempuan dalam berpolitik sangat dipengaruhi oleh keluarga, baik dari suami ataupun orang tua. Dari beberapa perempuan yang mencalonkan diri hanya sedikit yang punya keberpihakan pada isu perempuan.(analisa)