Lebur atau Menghilang dalam Naskah Cina-Jawa: Seni Tradisi Lisan dan Tradisi Tulis

oleh -238 views
oleh
238 views
(dok/google)

Oleh: Anjeli Maharani

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

BANGSA CINA merupakan bangsa yang sudah terkenal akan ekspedisinya sejak beradababad yang lalu. Dari sekian banyak daftar tempat yang mereka singgahi, Jawa termasuk salah satu daerah di dalamnnya. Tujuan utama dari ekspedisi bangsa Cina tentu untuk berdagang.

Namun dari perdagangan tersebut mereka secara tidak langsung juga melakukam tindakan glory (penyebaran agama) dan penyebaran kebudayaan. Dari hal ini, bangsa Cina yang notabene nya tinggal di suatu tempat yang ia singgahi dalam kurun waktu yang lama menjadikan mereka yang awalnya tadi yang hanya ingin singgah sementara malah menjadi menetap.

Ada berbagai macam bentuk akibat dari proses migrasi bangsa Cina ke wilayah yang mereka singgahi. Contoh nya karena telah tinggal lama di daerah tersebut menjadikan para ras Tionghoa (Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok) mayoritas tidak dapat menguasai/menggunakan bahasa Cina/Mandarin lagi. Tetapi mereka malah menggunakan bahasa daerah/Nasional setempat untuk berkomunikasi dalam sehari-hari.

Hal ini menjadi lumrah seiring berjalan waktu karena proses berkomunikasi yang bukan hanya dengan sesama mereka (ras Tionghoa) tetapi juga dengan pribumi.

Dari hal di atas dapat kita lihat proses akulturasi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Ada beberapa contoh akulturasi dan asimilasi lainnya yang dapat kita lihat berbekalkan dari teks Cina-Jawa yang telah berkembang sejak awal abad ke-19. Teks ini tersebar di berbagai perpustakaan dan museum (perpustakaan FIB UI, perpustakaan Nasional RI, museum Ronggowarsito, museum senobudoyo dan Pura Alaman, serta berbagai museum lainnya) serta milik pribadi masyarakat (Claudine Salmon dan ibu Titik)

Berdasarkan naskah Cina-Jawa ada 2 jenis tradisi yang berkembang seiring terjadinya proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan oleh Masyarakat Cina-Jawa, yakninya adalah:

1.  Tradisi Tulis

Yakninya teks-teks maupun naskah-naskah Cina-Jawa yang berkembang sejak abad ke-19. Sejauh ini berjumlah 119 buah. Naskah CinaJawa ini dapat kita temukan sebagian besar ditulis di kertas HVS yang sudah berwarna kuning kecokelatan serta tidak memiliki watermark. Menggunakan dua warna tinta yaitu hitam untuk menulis serta merah untuk rehabilitasi. Dengan ukuran kertas 34 × 21,5 cm. Bersampul kulit berwarna cokelat.

Naskah Cina-Jawa juga memiliki ilustrasi-ilustrasi untuk tokoh-tokoh dalam ceritanya. Dan terdiri dari dua aksara yaitu Aksara swara dan aksara Reken. Bedanya, aksara swara merupakan aksara untuk menulis aksara vokal yang berasal dari bahasa asing.

Sedangkan aksara Reken merupakan aksara yang dipakai untuk menuliskan aksara konsonan pada kata asing. Namun sayang naskah-naskah tersebut tidak berkembang pesat dikarenakan kalah pamor dengan naskahnaskah Jawa Kuno/Jawa Klasik yang pada masa itu sangat digandrungi oleh masyarakat.

2. Tradisi Lisan

Dapat kita temui dalam berbagai bentuk pergelaran seni pertunjukan. Contohnya seperti seni pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa (Wacinwa) dan wayang potehi serta kethoprak Mataram Cina-Jawa.

a) Wayang kulit Cina-Jawa (Wacinwa)

Lahir di Yogyakarta pada tahun 1925. Wayang ini merupakan jenis yang populer di daerah Jawa hingga tahun 1967. Wayang ini juga dikenal dengan nama wayang thithi. Dalam wayang ini lakon yang dipertunjukkan adalah epos serta legenda-legenda pada zaman dinasti Tiongkok Klasik.

Meskipun demikian hal unik dalam lakon wayang kulit ini adalah gelar dari petinggi ataupun jabatannya menggunakan istilah Jawa seperti narendra, adipati, abdi, prajurit dan sebagainya.

b) Wayang Potehi

Biasanyaa masyarakat peranakan Tionghoa-Jawa terlebih di daerah Jawa Timur menjadikan wayang kulit sebagai seni pertunjukan yang pementasannya itu merupakan bentuk ritual kepada dewa di klenteng. Para pemain wayang ini identik dengan menggunakan pakaian berwarna merah dan dimainkan oleh 5 orang seniman di panggung. Serta diiringi dengan berbagai macam alat musik.

c) Kethoprak Mataram Cina-Jawa

Pengertian Kethoprak sendiri ialah seni teater tradisional Jawa di mana menceritakan kepahlawanan yang terkenal pada masa Kerajaan Mataram. Pergelaran kethoprak Mataram Cina-Jawa pernah dipentaskan di Yogyakarta dengan melakonkan kisah Tiongkok yang di Jawakan. Namun sayang, akibat kebijakan pemerintah (politik) melarang seni pertunjukan yang berbau Tionghoa, pergelaran kethoprak Mataram Cina-Jawa juga ikut menghilang dari masyarakat. Kontribusi Naskah Cina-Jawa dalam Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa Jawa

1. Teks pakem ringgit thithi dapat digunakan sebagai sumber acuan catur dalam pedalangan wayang kulit Cina-Jawa.

2. Teks epos Tiongkok Klasik di dalam naskah Cina-Jawa yang tersebar di beberapa tempat dapat digunakan sebagai referensi untuk pembuatan lakon dalam seni pertunjukan wayang potehi

3. Teks babad Cina dapat digunakan sebagai bahan suduran dalam lakon kethoprak Mataram seri Sampek Eng Tay

4. Ilustrasi-ilustrasi yang terdapat di dalam teks Cina-Jawa dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan dan pembuatan kostum pada tokoh-tokoh di dalam seni pertunjukan Cina-Jawa.

Dengan terjadinya proses akulturasi dan asimilasi dari Cina-Jawa tentu membawa dampak positif dan negatif bagi masing-masing kebudayaan.

Dari hal itu kita sebagai generasi muda saat ini hendaknya mampu melihat dari berbagai sudut pandang tentang dampak yang timbul dari proses akulturasi dan asimilasi budaya tersebut.

Lebur maupun hilang suatu bentuk kebudayaan tersebut kini hanya tinggal sejarah bagi kita. Yang dapat kita lakukan sebagai generasi muda ialah dengan mulai kembali menggali corak akukturasi yang ada serta keberagaman budaya di dalamnya lalu kita kembangkan lagi agar tidak hilang tanpa diketahui oleh generasi ke depannya.(analisa)