Lima Tahun, Desa di NTT Diguyur Rp 7,5 Triliun

oleh -497 views
oleh
497 views
Menteri Desa PDT dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo (tengah) menjadi pembicara pada Plenary Indonesia Development Forum 2019 bertema Mission Possible, Seizing the Opportunities of Future Work to Drive Inclusive Growth, Jakarta, Selasa 23/7. foto: angga/ kemendespdtt)

Jakarta,—Pembangunan di Wilayah Timur Indonesia terus digenjot pemerintah. Kolaborasi lintas sektor diharapkan mempercepat pertumbuhan Sumber Daya Manusia dan pengembangan ekonomi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, mengatakan Nusa Tenggara Timur memiliki karakteristik alam yang keras, sebagian wilayahnya susah air, kering, infrastruktur kurang sehingga aktifitas ekonomi kurang efisien.

Sejak pemerintahan Joko Widodo, NTT yang kering dibangun 7 bendungan diharapkan pertanian mulai membaik sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Selain itu dikucurkannya dana desa diharapkan bisa membantu infrastruktur di NTT.

“Kita juga berikan dana desa selama 5 tahun ini lebih dari Rp 7,5 Triliun ke desa, kita harapkan dana desa bisa membantu infrastruktur di NTT, dan sama-sama berpartisipasi dalam pengawalan dana desa,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam Sesi Plenary Indonesia Development Forum (IDF) 2019 dengan tema “Mission Possible : Seizing the Opportunities of Future Work to Drive Inclusive Growth” di Assembly Hall 1 & 2 Jakarta Convention Center (JCC) Selasa 23/7.

Lebih lanjut, Mendes Eko mengajak untuk melibatkan dunia usaha, perbankan, dengan konsep klaster ekonomi pertanian dan pariwisata terintegrasi untuk membangun NTT. Juga dengan potensi sebagai penghasil garam nasional, NTT sedang mengembangkan tambak-tambak garam kerjasama dengan swasta, masyarakat, komunitas, pemerintah daerah, sehingga semua bisa berpartisipasi.

“Buat kluster ekonomi di desa-desa.
Kemendes PDTT punya program Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades), dengan model Prukades banyak membuka peluang kewirausahaan. Juga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa mengelola pariwisata. Kita sama-sama bangun NTT,” ajaknya.

Dengan adanya IDF ini, ia berharap bisa memformulasikan satu bisnis model berdasarkan masukan dari semua stakeholder untuk menciptakan bisnis model yang cocok dan bisa mendengarkan aspirasi dari masyarakat NTT. “Saya yakin masyarakat NTT kemauannya keras,” pungkasnya.

Sejalan dengan hal tersebut, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Josef Nae Soi mengatakan NTT memiliki SDA yang melimpah, salah satunya dengan mengembangkan sektor pariwisata.

“NTT punya pariwisata luar biasa. Untuk sejahtera kita mulai dengan pariwisata, karena pariwisata membuat mata rantai ekonomi masyarakat. Pariwisata berbicara tentang aksesibilitas, listrik, air minum, rumah layak huni, dan ini masih kurang di NTT,” ujarnya.

Ia melanjutkan, dengan adanya dana desa Rp 3,3 Triliun di NTT dapat membantu dalam hal aksesibilitas dan pembangunan infrastruktur. Juga memicu awareness masyarakat, dan itu penting untuk pengembangan pariwisata.

“Bangun secara inklusif, mengentaskan kemiskinan tak perlu niru dari luar tapi dari kemampuan masyarakat itu sendiri. Kami mengirim anak-anak muda kami untuk belajar ke Luar Negeri dan saat kembali lagi jadi wirausaha-wirausaha muda. Mereka bisa mengembangkan pariwisata. Untuk peningkatan kualitas SDM kami menargetkan 100 taman baca di desa-desa, dan target akan membuat 22 desa model,” terangnya.

Seorang pemudi dari NTT, Meybi Agnesya Lomanledo, Co-founder, Indonesian Organic Timor Moringa Field School telah mendirikan Sekolah Lapangan Kelor di NTT dua tahun lalu. Ia melihat potensi kelor yang melimpah di sana, dan manfaatnya untuk mengurangi stunting karena nutrisi yang terkandung di dalamnya.

“Saya buat Sekolah Lapangan Kelor, sehingga masyarakat bisa memaksimalkan yang ada, dari budidaya kelor sampai pasca panen. Bisnis modelnya, kami buat kebun kecil saja tapi untuk mengedukasi petani, kami yang punya teknologi, kami yang beli hasil bumi dari petani, ini merupakan gerakan sosial dan edukasi,” jelasnya.

Sementara itu, Aleta Baun, 2013 Goldman Environmental Prize Winner, menjelaskan bagaimana pembangunan NTT kedepannya bisa inklusif dan masyarakat ikut berpatisipasi.

Semangat membangun berbasis dari kampung/desa, semangat pemberdayaan. Teknisnya perlu bangun bisnis model yang fokus dan terintegasi. Kolaborasi dengan berbagai pihak salah satu cara kreatif untuk proses pembangunan di NTT.

“Pemberdayaan komunitas, pembangunan dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang ada di kampung, pemerintah, NGO dan akademisi, pembangunan yang saling menopang antar stakeholder.
Mereka (masyarakat NTT) kaya dengan SDA, mereka tidak miskin. Bagaimana meningkatkan pendampingannya, walaupun programnya kecil tapi sesuai kebutuhan masyarakat,” terangnya.(rilis: humker/kdpdtt)