Matrilineal dan Perempuan Politik

oleh -220 views
oleh
220 views
Muhammad Galant Jasit Mahasiswa FISIP. UNAND. (dok)

Oleh: Muhammad Galant Jasit

Mahasiswa Ilmu Politik UNAND

MASYARAKAT  suku Minangkabau percaya dengan konsep Bundo Kanduang, di mana perempuan memiliki peran sentral sebagai penerus keturunan, pewaris harta, penyimpan hasil ekonomi, pemilik rumah gadang, dan penentu keputusan.

Namun sayangnya, posisi perempuan yang kuat itu berbanding terbalik dengan keterlibatan mereka di bidang politik. Sumatra Barat adalah salah satu wilayah dengan partisipasi perempuan dalam politik yang masih rendah.

Kedudukan perempuan menurut adat Minangkabau adalah sebagai tokoh sentral. Perempuan harus menjalankan peran dan fungsinya sekaligus. Peran tersebut berlaku baik di sektor domestik maupun publik. Petatah petitih Minangkabau yang menggambarkan figur ideal perempuan yakni bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari dan sebagai nan gadang basa batuah, ka undang undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Figur tersebut tentu memiliki berbagai tugas dan kewajiban yang harus ditaati antara lain manuruik alua nan luruih (mengikuti aturan), manampuah jalan nan pasa (mengikuti cara yang benar), mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan). Oleh karena itu, bundo kanduang ialah perempuan Minangkabau dipandang mulia dan memegang fungsi yang penting dalam masyarakat.

Posisi perempuan yang kuat dalam sistem matrilineal sekarang ini hanya diartikan sebatas pada peran domestik perempuan dan adat belaka. Kepemimpinan mereka hanya bersifat personal (personal effort), belum sampai pada gerakan politik progresif yang dapat membawa perubahan pada posisi perempuan di ranah publik. Kekuasaan perempuan Minangkabau masih berkutat pada peran ganda sebagai seorang ibu dan pemimpin adat, terkait dengan budaya patriarkal yang membatasi ruang perempuan.

Namun bila kita telusuri bahwa garis keturunan ibu masyarakat Minangkabau adalah untuk menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu, kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki. Perempuan memiliki kekuasaan yang terbatas, dan laki-laki memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang jelas.

Tidak ada tumpang tindih antara keduanya. Sistem egaliter masyarakat Minangkabau menyamakan kedudukan laki-laki dalam hal adat dan agama. Peran politik perempuan di Minangkabau tidak menerapkan hukum gender, tetapi dalam hal kapasitas dan pengalaman manusia, perlindungan dan pengawasan. menemukan bahwa. Kerugian budaya dan material terhadap kelompok yang mereka wakili.

Jika berbicara tentang peran perempuan dalam berpolitik wujudnya adalah peran dalam demokrasi. Peran dalam demokrasi tersebut tercermin dalam bermufakat. Seperti yang ungkapan adat “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sendiri”.

Ini artinya kita sebagai masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi demokrasi, artinya tidak ada pembedaan jenis kelamin disini.

Bahkan di Indonesia keterwakilan perempuan dalam politik juga menjadi isu sentral pada masa reformasi. Berbagai undang-undang politik mulai memenuhi tuntutan perwakilan perempuan sebagai ekspresi gagasan kesetaraan politik.

Pada akhirnya, lahirlah UU No. 10 tahun 2008 (pemilihan legislatif) tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik yaitu mengenai kewenangan diberikan kepada partai politik, terutama untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan di dalam politik khususnya di lembaga perwakilan rakyat. Namun sayangnya sampai saat ini keterwakilan itu belum maksimal. Inilah yang menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi perempuan dalam ranah politik. Sehingga kepentingan-kepentingan perempuan dalam kehidupan tidak terwakili. Keberadaan mereka yang dibawah 30 % tidak memudahkan mereka dalam memperjuangkan kepentingan ditengah dominasi laki-laki.

Rendahnya keterwakilan ini sebenarnya harus menjadi introspeksi diri bagi kaum perempuan terkhusus di ranah Minangkabau. Mengapa ini terjadi, padahal kuota tersebut sudah diberikan, namun kenyataannya tak pernah tercapai. Oleh karena itu banyak upaya yang harus dilakukan oleh para kaum perempuan agar kepentingan mereka terwakili dalam berdemokrasi.

Salah satunya yakni dengan terus meningkatkan pendidikan dan pengetahuan agar bisa sejajar dengan laki-laki. Apalagi jika dilihat dari paham masyarakat Minangkabau yang egaliter. Tak ada dibedakan secara gender, bahkan sesungguhnya perempuan Minangkabau memiliki kesempatan yang lebih untuk berkarya.

Terlebihnya lagi perempuan Minangkabau memiliki kesempatan untuk berperan lebih luas karena dalam pepatah dikatakan bahwa perempuan minang merupakan figur ideal. Namun, tentu saja semua itu tidak mudah. Banyak usaha keras yang harus dilakukan bagi semua perempuan Minangkabau agar benar-benar bisa wakil kaumnya di tengah demokrasi.

Salah satu keunggulan perempuan Minangkabau yang dikenal memiliki sifat bijaksana, seperti ungkapan “bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik ndak putuih tapuang ndak taserak”. Artinya bahwa dalam mengambil sebuah keputusan tidak dilakukan secara grasa-grusu melainkan dengan hati-hati dan tidak melukai siapapun. Hal yang sulit tetapi itu bisa dilakukan dengan terus mengasah kemampuan untuk bisa bijaksana.

Rendahnya partisipasi perempuan di ranah politik ini cukup membuktikan bahwa budaya matrilineal kepemimpinan perempuan masyarakat Sumatera Barat hanya berlaku dari segi kultural atau adat masyarakat Minangkabau saja, sedangkan di tatanan politik yang lebih formal tidak begitu berpengaruh.(analisa)