BUDAYA politik adalah nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan dari masyarakat tertetu yang diperoleh melalui sosialisasi dan memengaruhi perilaku politik.
Budaya politik juga didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, simbol ekspresif, dan nilai nilai yang menggambarkan situasi di mana tindakan politik dilakukan.
Sumatera Barat adalah provinsi di Indonesia yang memiliki budaya politik yang kaya.
Budaya politik di Sumatera Barat dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, dan nilai-nilai lokal yang kuat.Salah satu ciri budaya politik di Sumatera Barat adalah adanya sistem kekerabatan yang kuat yang mempengaruhi dinamika politik.
Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan seringkali memiliki peran penting dalam pembentukan aliansi politik dan dukungan politik di daerah ini.
Selain itu, tradisi adat dan nilai-nilai Islam juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam budaya politik di Sumatera Barat.
Prinsip-prinsip adat seperti gotong royong, musyawarah, dan keadilan sosial sering kali tercermin dalam praktik politik lokal.
adat yang sampai saat ini dipercayai dan kental dalam kehidupan demokrasi masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang kuat dengan nilai-nilai ajaran islam dari warisan turun-temurun, yang dikenal dengan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Maksudnya adalah adat Minangkabau bersendikan atau berdasarkan agama islam dan agama Islam itu sendiri dasarnya adalah Al-Qur’an (kitabullah).
Dalam kehidupan berdemokrasi didapati bahwa masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi nilai badunsanak/ kekerabatan yang dapat dilihat dalam kegiatan pemanfaatan ruang publik melalui kadai atau lapau maka tak heran banyak warga sumatera barat bertukar ide di lapau tersebut untuk menentukan calon-calon pemimpin di sumatera barat sehingga dapat tercipta keberlangsungan politik yang terlaksana dengan baik dan menciptakan keselarasan hidup antar masyarakat Minangkabau.
Konsep lapau sebagai sarana diskusi juga semakin berkembang, selain tempat berdiskusi, tak jarang lapau juga menjadi tempat bagi sekelompok masyarakat untuk menentukan pilihan politik setelah terlibat diskusi yang cukup panjang.
Dari sisi tokoh politik, lapau juga menjadi sarana untuk mendulang dukungan masyarakat hingga menyerap aspirasi publik.
Hal ini terlihat dalam beberapa kali pemilu dan pilkada di Sumatera Barat, di saat sejumlah partai politik dan tokoh memanfaatkan lapau sebagai sarana sosialisasi untuk menggalang dukungan.
Ada anekdot di masyarakat Minang, jika ingin menjadi anggota Dewan, maka sering-seringlah duduk di lapau.
Kini, anggapan itu masih terus mengakar. Apalagi pada saat ini memasuki tahun politik di mana pendekatan personal melalui lapau masih digunakan oleh aktor politik lokal.
Selain kampanye di ruang formal, diskusi di lapau juga masih dilakukan demi meraih dukungan di akar rumput.
Selain dimanfaatkan sebagai sarana diskusi, lapau juga menjadi tempat untuk menarik simpati masyarakat melalui berbagai program bantuan. Perbaikan lapau turut diberikan oleh aktor politik sebagai program di tingkat daerah.
Di kutip dari kompas tantangan budaya ota lapau di minangkabau ada dua tantangan utama yang dihadapi berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu. Pertama ialah upaya merawat tradisi diskusi di tengah gencarnya arus informasi melalui teknologi komunikasi.
Jika melihat catatan Badan Pusat Statistik pada 2019, hanya 41,15 persen individu di Provinsi Sumatera Barat yang menggunakan internet. Artinya, lapau masih berpotensi menjadi titik temu untuk meramu berbagai isu, terutama di tengah-tengah masyarakat desa yang belum sepenuhnya melek internet.
Tantangan kedua bagi aktor politik dan penyelenggara pilkada. Ini karena tradisi diskusi di lapau ternyata tidak serta-merta berdampak pada meningkatnya antusiasme masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara.
Kita berharap budaya ini tidak hilang karna di lapau lah para aktor politik bisa mendengarkan suara masyarakat daerah tersebut, di samping itu di lapau kita juga bisa meningkatkan hubungan silahturahmi antar sesama sehingga bisa menciptakan suasa yang rukun dan damai di Sumatera Barat.(analisa)
Oleh: Bagas Azwar
Mahasiswa Ilmu Politik UNAND