Memahami Kepentingan Petani

oleh -642 views
oleh
642 views
Senator DPD RI periode 2014-2019 Novi Candra dikabarkan tidak ikut lagi pada perebutan DPD RI Pemilu 2019. (foto: dok)

Oleh: Nofi Candra                             Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia/DPD RI

MENURUT Kementan produksi beras di tanah air dari tahun ke tahun alami surplus, dan cadangan beras di gudang-gudang Perum Bulog cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi domestik sampai masa musim panen padi tiba sekitar akhir Februari.

Pernyataan Mentan Amran Sulaiman itu bukannya tanpa dasar, tapi merujuk pada data yang secara resmi dirilis oleh kementerian yang dipimpinnya.
Kementan (2017) menaksir produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Maret 2018 mengalami tren peningkatan yang signifikan. Pada Januari produksi GKG mencapai 4,5 juta ton, sementara memasuki Februari meningkat menjadi 8,6 juta ton, dan Maret meningkat lagi menjadi 11,9 juta ton. Sedangkan ketersediaan beras pada Januari mencapai 2,8 juta ton, Februari (5,4 juta ton), dan Maret (7,47 ton).

Dari sisi konsumi, kebutuhan beras nasional pada Januari mencapai 2,5 juta ton, demikian juga jumlah yang sama pada Februari dan Maret 2018. Sehingga pada Januari terdapat surplus pasokan beras di tanah air sebesar 329,3 ribu ton, Februari (2,9 juta ton), dan Maret (4,971 juta ton).

Namun faktanya berbeda, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan malah harus mengimpor beras dari beberapa negara tetangga karena alasan instabilitas harga.

Miris memang, di satu sisi Kementan mengklaim Indonesia surplus beras. Di sisi lain, harga terus menggila alias tidak stabil, sehingga berimbas pada kebijakan impor beras. Kondisi ini bukan hanya saat ini. Gonjang-ganjing harga beras selalu berulang. Lihat saja data beberapa tahun terakhir, rata-rata harga pangan menanjak.

Sejak 2014 hingga kuartal I-2017 harga beras naik 19,7%. Kenaikan harga juga dialami bawang merah (72,54%), cabai keriting (24,76%), gula pasir (27,33%), daging sapi (14,29%), dan jagung (14,79%).

Dengan fakta harga yang demikian, logika sederhananya, kenaikan harga produk pertanian semestinya menambah tebal kantong petani.

Apa lagi, pemerintah sempat menghentikan impor beras dan jagung. Tapi nyatanya kenaikan harga tidak serta merta membuat petani sejahtera. Malah yang terjadi sebaliknya, daya beli petani justru tercatat melemah. Hal tersebut bisa dilihat dari turunnya nilai tukar petani (NTP). NTP adalah indikator yang mengukur pendapatan petani dari penjualan hasil panen, dibagi pengeluaran konsumsi dan biaya produksi.

NTP petani yang di 2014 berada di angka 102,03 justru merosot menjadi 101,65 pada tahun 2016, dan turun lagi menjadi 100,01 sampai bulan April 2017. NTP petani pangan lebih buruk lagi. Di tahun 2016, NTP petani pangan sudah di bawah 100, yakni 99,48 dan per April 2017, jatuh lagi ke 95,91. NTP di bawah 100 menunjukkan petani mengalami defisit. Mengapa bisa defisit? Karena kenaikan harga jual produk yang dihasilkan lebih kecil ketimbang kenaikan harga barang konsumsi.

Masalahnya memang tidak sesederhana angka-angka yang ternyata terus memburuk itu. Boleh jadi persoalan yang dihadapi petani di Indonesia jauh lebih pelik dan kompleks. Mulai dari infrastruktur yang terabaikan hingga kongkalikong harga komoditas. Dan di luar itu semua, ada satu akar masalah fundamental yang membuat petani terus-menerus terjerat dalam kemiskinan struktural: yakni terlalu kecilnya luas lahan untuk bercocok tanam. Berdasarkan survei pertanian tajun 2013 misalnya, rerata kepemilikan lahan petani di Indonesia hanya 0,85 hektare.

Tidak bisa tidak, lahan yang terbatas, atau katakan saja kecil, tentu akan membuat pendapatan petani juga menjadi sangat terbatas pada ujungnya.
Sebut saja contohnta satu keluarga dengan 2 anak. Lalu umpamakan mereka punya 1 hektare (ha) sawah. Dengan produksi padi sesuai dengan rata-rata nasional 5,1 ton per ha per panen (setahun 2 kali panen) dan harga rata-rata gabah saat ini Rp 4.410 per kilogram, maka rata-rata penghasilan keluarga ini setelah dikurangi biaya produksi Rp 10 juta per ha per musim, hanya sekitar Rp 2 juta per bulan. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya si petani menghidupi dua anak dan istrinya dengan penghasilan yang sebesar itu.
Kondisi bahkan bisa menjadi lebih buruk lagi jika terjadi serangan hama atau gagal panen, misalnya. Keluarga dengan kualifikasi seperti tadi tidak hanya akan kehilangan pendapatan selama 6 bulan, tapi juga kehilangan modal untuk bercocok tanam di musim berikutnya. Nah, kondisi seperti ini berkemungkinan besar bisa menarik petani jatuh ke dalam jerat rentenir, bahkan boleh jadi akan terpaksa menjual, atau minimal menggadaikan, lahannya.

Dan bayangkan seperti apa posisi dan porsi kepemilikan lahan di masa depan di mana luas kepemilikan lahan pertanian yang sudah kecil akan semakin kecil lagi setelah orang tua mewariskan tanah yang tak seberapa luas tersebut kepada anak-anaknya.
Jadi saya kira, langkah pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menambah lahan dan mendistribusikannya harus benar-benar ditagih realisasi nyatanya, agar lingkar kemiskinan petani seperti skenario di atas bisa secara perlahan dipatahkan.

Langkah lain yang secara paralel harus terus didorong adalah pembangunan infrastruktur, mengembangkan bibit unggul, meningkatkan teknologi pertanian dan akses kepada permodalan bagi petani. Tanpa itu semua, kedaulatan pangan hanya janji-janji kosong dalam kampanye, sementara petani akan terus mewariskan kemiskinan kepada anak cucunya di negara yang katanya negara agraria ini.

Kemudian yang terakhir, yang benar-benar memerlukan koordinasi dari banyak pihak, mulai dari niat serius istana, koordinasi lintas kementerian dan departemen, pemda beserta dinas-dinas terkait, adalah mengurangi disparitas antara harga jual di pasaran dengan harga jual petani.

Tata kelola dan tata niaga hasil produksi hasil pertanian harus benar-benar dibenahi secara adil. Pembenahan infrastruktur akan memperbaiki jalur distribusi, mendekatkan sentra-sentra penjualan hasil pertanian kepada sentra-sentra produksi.

Dan dari sisi lain, kepastian hukum atas perilaku-perilaku patologis distributor, yang semena-mena memonopoli supply dan menentukan harga juga harus diutamakan. Pelaku distribusi yang menikmati disparitas yang sangat tinggi antara harga jual di pasaran dengan harga jual petani harus ditertipkan, agar keuntungan yang mereka terima tercatat dalam batas wajar alias tidak memeras keringat para petani dengan cara-cara yang tidak etis serta manusiawi. Pesan sederhananya untuk kawan-kawan petani, pilihkan wakil rakyat di semua level pemerintahan dan kepala daerah yang paham dunia petani dan siap menelurkan inovasi-inovasi kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani.(analisa)