Membaca Proses Politik Pemilihan Wawako Padang 2024

oleh -611 views
oleh
611 views
Ilhamsyah Mirman. (dok)

Oleh: Ilhamsyah Mirman

Founder Ranah Rantau circle/RRc

DUA PARTAI penguasa kota Padang, PAN dan PKS, yang selama ini bak dua sejoli bertangan midas, sebentar lagi saling berhadapan memperebutkan kursi wakil walikota. Head to Head, mengatur strategi beradu sakti antara H Ekos Albar dan Ustadz Hendri Susanto disingkat UHS.

Di waktu tersisa, tidak sampai dua digit hitungan bulan, kembali kedua partai mewarnai jagat politik kota Padang. Efeknya bahkan hingga lingkup Sumbar, karena diyakini apa yang terjadi di kota Padang kini bisa berpengaruh terhadap kontestasi elektoral, baik di Pemilu legislatif maupun bagi Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2024.

Dinamika Politik kota Padang

Dalam sejarah modern perpolitikan di ibukota propinsi Sumatera Barat ini seakan kapling BA 1 jatah mereka berdua. Bergantian, sejak Fauzi Bahar, Mahyeldi dan kini di lanjutkan oleh Hendri Septa sebagai walikota. PAN-PKS-PAN dalam satu masa, nyaris dua dekade, cukup panjang dan berliku dalam mengomandoi.

Oleh karenanya, berbagai upaya sebagai modalitas politik bakal dilakoni para aktor. Sebagai penentu, selain kapasitas dan kapabilitas adalah kemampuan membuka komunikasi politik, terutama kepada para anggota DPRD.

Episentrum politik kota Padang diprediksi tidak terlalu menarik perhatian jajaran pengurus pusat atau pendiri partai, sebagai owner, untuk bermain. Diserahkan relatif bulat pada konstelasi lokal. Lebih banyak orang DPP berdarah Minang yang mengambil peran. Sehingga lebih mudah membacanya.

Politik transaksional diprediksi tidak menjadi faktor utama. Bahwa ada ‘cost politic’, tentu semua orang tau.

Masuk toilet saja bayar, masakkan jadi Kepala Daerah gak bermodal. Tidak ada ceritanya. Namun dengan sisa waktu, peran yang bakal dijalankan serta prospek kedepan, menjadi pertimbangan kandidat.

Dengan latar belakang pengusaha yang kerap tampil diajang politik, H Ekos Albar memiliki perhitungan matang. Sementara sebagai da’i dan mantan anggota DPRD Sijunjung, kemampuan finansial UHS yang terbatas tidak mematikan sama sekali langkahnya.

Karier politik sang patron, Buya Mahyeldi bisa jadi cermin. Faktor yang menggayuti kedua Cawawako, kalkulasi njlimet khas pengusaha dan keterbatasan pundi, membuat hitung-hitungan biaya politik yang harus mereka keluarkan makin selektif.

Alasan PKS melalui Ketua DPTD Muharlion yang mengutip sejumlah aturan yang menjelaskan pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan sangat mendasar.

Proses formal yang baru berjalan, ditandai penyerahan dokumen kepada DPRD, memulai pemilihan wawako Padang, bagi warga tidak terlalu antusias merespon. Tidak tampak menggebu seperti saat awal kursi kosong diperebutkan.

Bukan semata kalah menang, namun manuver diujung masa jabatan bak trisula menusuk tiga penjuru.

Tiga Perspektif

Dalam kontestasi pemilihan wakil walikota Padang bisa disederhanakan dengan membaca faktor ketiga aktor, Hendri Septa (HS), H Ekos Albar dan Hendri Susanto (UHS).

Bisa pula ketiganya dianalisis mewakili tiga kutub, yaitu dua PKS, PAN dan pihak masyarakat atau publik yang berkepentingan langsung terhadap proses pemilihan, dalam hal ini 45 (empat puluh lima) anggota DPRD kota Padang.

Bagi HS target paling utama menghadapi prosesi ini bagaimana bisa mempertahankan, syukur-syukur bisa melanjutkan jabatan dua periode. Berapapun itu.

Sinyalemen kegamangan terhadap keberadaan pendamping yang terbaca publik, berujung pada simpulan kalau HS bukanlah tipe politikus berkarakter. Proses yang bisa tuntas dalam hitungan bulan ternyata berlarut.

“Politikus (puncak) itu harus mempunyai lobi-lobi yang kuat, dan mampu berselancar di tengah-tengah ombak yang ada”, tulis Isa Kurniawan dalam salah satu kolomnya.

“Apapun alasannya, kalau Hendri Septa itu politikus dengan karakter kuat, proses pengisian kursi kosong wakil walikota tentu sudah dilakukannya paling lambat 3 bulan semenjak ia dilantik”, sambung Ketua KAPAS, sebagai gambaran persepsi ditengah masyarakat.

Rekam jejak jurus andalan HS didapat di antaranya dari informasi salah satu acara anggota DPR RI Asli Chaidir saat Pilgub Sumbar 2020 lalu, mengkonfirmasi kalau pasangan Cagub-cawagub Mahyeldi-Audy bakal unggul, di antaranya karena cara tiktok ini.

‘Ba a manuruik ibu-ibu, lai cocok jadi walikota’, pancing anggota FPAN DPR RI saat memberi sambutan setelah sang putera. Pertanyaan menggoda yang dengan cepat di aminkan peserta. Meski partai PAN memiliki calon, namun kemenangan Cagub dari partai lain justru memberi bonus langsung. Terbukti, Mahyeldi boyong ke rumah bagonjong, HS tabawa rendong, menghuni jalan Ahmad Yani.

Sejarah sepertinya berulang. Melihat prospek paling mungkin dan ‘murah’ berpartner dengan PKS. Tak ada kamusnya HS berpasangan dengan Ekos, sesama kader satu partai, maju dan menang di kota Padang yang tidak sampai dua digit suara PAN. Guliran nan taralah bagi HS, lebih menjanjikan merajut hubungan sambung-putus dengan PKS demi keberlanjutan kursi empuk walikota. Tentu harus ‘bermain cantik’.

Kepiawaian H Ekos Ditantang

Agak rumit posisi H Ekos. Pertarungan kali ini lebih sebagai ‘pride’ pengurus Pusat dan tanggung jawab kepada partai. Kemungkinan maju di DPR RI Dapil Sumbar 2 tidak terlalu berpengaruh langsung dengan pemilihan Wawako Padang kali ini. Bahkan sekiranya gagal, makin menjauhkan dirinya dari Senayan.

Argo yang berputar hampir setahun sejak keluar SK DPP PAN 31 Januari 2022 bukanlah sesuatu ‘taken for granted’. Harus diikuti dengan pembiayaan yang tidak kecil. Cost politik memelihara dan selanjutnya biaya pemenangan harus dikalkulasi detail. Praktis tidak ada faktor kuat yang bisa mengikat 50% plus satu anggota DPRD kota Padang menjatuhkan pilihan pada Ekos selain pada kalkulasi sederhana ‘saya’ mendapat apa.

Meski suara asal bukan PKS sayup-sayup terdengar dikalangan anggota dewan, namun dengan jaringan yang jauh berkurang efektivitas partai PAN ketimbang di awal reformasi, agak diragukan bisa mengkumulasikannya.

‘Dualisme’ bahkan bisa jadi tiga kutub PAN Sumbar, Asli Chaidir, Epyardi Asda dan Ketua DPW Indra Dt Rajolelo, ditambah peluang kecenderungan HS bermanuver seperti diuraikan di atas, membuat kepiawaian dan ‘humble’ seorang H Ekos ditantang.

Artinya, jangankan meminta anggota FPAN berjibaku memperjuangkan dengan partai lain, memastikan soliditas internal pun butuh pelumas ekstra. Perjalanan beberapa kali elektoral kurang berpihak kepadanya. Apa mungkin peluang kali ini, yang lebih mengandalkan kepiawaian lobby lintas partai, menjadi keunggulannya. Mari kita tunggu.

Duo Hendri bergandeng ?

Yang jelas sejumlah faktor yang diuraikan di atas malahan menjadi titik kuat bagi UHS. Kedatangan ke DPRD di antar Ketua DPD, Ketua dan Sekretaris FPKS serta sejumlah anggota DPRD memberi signal kuat betapa majunya kader muda ini didukung penuh struktur dan anggota DPRD itu sendiri. Sebagai pemilik suara, Edmon dan kawan-kawan tidak akan tinggal diam atau membiarkan UHS berjuang sendiri.

Dalam perspektif ini relatif diuntungkan, karena apapun yang terjadi, modalitas populer sebagai cawako bisa mengerek namanya sehingga publik familiar. Kondisi yang berdampak langsung terhadap langkah politik kedepan. Anggap saja mengangsur biaya kampanye jelang pileg atau bukannya tak mungkin revans di Pilkada Sijunjung 2024.

Meski pertanyaan bernada ‘mentertawai’ dari salah seorang sahabat terkait waktu menjabat yang tidak sampai satu tahun menggayuti pandangan publik. Namun dengan banyak dimensi yang dipengaruhi tampaknya bisa dimengerti.

Alhasil, UHS mati-matian berjuang. Dengan peran strategis di ring satu Gubernur Mahyeldi, bahkan untuk komunikasi dan negosiasi kepada investor dari Timur Tengah menjadi andalan, dan solidnya dukungan infrastruktur PKS membuat langkah UHS lebih fleksibel dan bernilai politik tinggi.

Bukannya tak mungkin hasil kontestasi kali ini membuat kejutan. Gedung bundar Sawahan mencatat sejarah, mengantar Duo Hendri bersebelahan ruang kerja di Aia Pacah. Woww banget gitu lho.

Penutup

Statement atau semacan keluhan H Ekos di media, kenapa baru sekarang PKS resmi mengajukan, di injury time, membuat Hendri Septa harus ekstra cermat menghitung langkah. Bisa blunder dan membuat citra diri sebagai walikota milik warga kota Padang kian menjauh.

Mendukung terang-terangan sesama kader PAN, pasif, bersikap normatif atau strategi lain terbentang luas pilihan dengan segala konsekuensinya. Salah-salah bukannya dapat dua, Walikota dan Wakil, malahan bisa jadi lepas kedua posisi idaman tersebut. Dua dari tiga figur ditangan tidak otomatis kemenangan dengan mudah diraih. Pertandingan usai saat pluit belum berbunyi.

Strategi, kalau bisa di sebut demikian atau lebih karena faktor keterpaksaan, PKS mengajukan UHS memberi berkah tersendiri. Blessings in disguise. Berganti-ganti calon yang diajukan karena membaca keinginan HS sebagai lemahnya negosiasi PKS diawal proses, justru berpotensi menguntungkan di posisi akhir. Sungguh absurd.

Maka proses politik pemilihan ‘ban serep’ kota Padang diawal Ramadhan adalah hal yang teramat biasa. Apapun yang membuat peta berubah dengan dinamis mari kita lihat sebagai wujud tanggung jawab sekaligus pendewasaan para aktor yang dipundak mereka lah masa depan kota Padang tertumpang. Mari kita tunggu.(analisa)