Memfungsikan Al-Qur’an untuk Dunia-Akhirat

oleh -214 views
oleh
214 views
Andrinof A Chaniago (dok)

Oleh Andrinof A Chaniago
Penulis Seorang Dosen dan Motivator

PERINGATAN malam diturunkannya Al-Qur’an biasanya selalu diisi dengan mengingat kisah turunnya Al-Qur’an hingga proses disusunnya mushaf Al-Qur’an di jaman Khalifah Usman bin Affan.

Tujuan mengingatkan jama’ah, baik di depan layar kaca maupun di majelis-majelis pertemuan dengan kisah turunnya Al-Qur’an adalah untuk memperteban iman terhadap kitab suci ummat Islam tersebut.

Di luar itu, pembahasan tentang Al-Qur’an bisa masuk ke topik prioritas menurut pandang masing-masing penceramah.

Patut diduga juga, para da’i yang selama ini penganjur dan penggerak gerakan mencetak hafiz-hafiz pasti akan kembali menghimbau orang-orang tua untuk mendorong anak-anak mereka untuk mengikuti pendidikan tahfiz dan mendukung lembaga-lembaga pendidikan tahfiz Qur’an.

Himbauan lain, seperti yang sering disampaikan sejumlah ustadz kondang, adalah agar orang-orang mau menyumbang mushaf Al-Qur’an untuk sekolah-sekolah tahfiz. Alasan yang diusung dalam himbauan tersebut biasa terkait dengan peluang meraih pahala tidak hanya bagi si anak, melainkan juga bagi orang tua.

Himbauan mendukung program-program tahfiz,yang makin gencar disampaikan selama beberapa tahun terakhir memang sudah berpengaruh luas. Sekolah-sekolah tahfiz bermunculan di berbagai tempat. Bahkan unit kerja di Kementerian Agama pun memberi perhatian dan dukungan khusus bagi masyarakat yang mengajukan proposal pendirian sekolah tahfiz.

Himbauan untuk bersedekah Al-Qur’an yang disampaikan sejumlah da’i kondang juga tampak efektif. Selain gerakan menghimpun dan menyalurkan mushaf Al-Qur’an tumbuh dengan pengorganisasiannya yang semakin baik, jumlah orang yang bersedekah mushaf Al-Qir’an sepintas juga tampak meningkat.

Salah satu himbauan yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sekolah tahfiz dan jumlah orang yang bersedekah mushaf mungkin pesan matematika pahala mensededekahkan Al-Qur’an yang disampaikan berulang-ulang oleh seorang ustadz kondang. Ustadz yang bersangkutan menjelaskan “matematika pahala” menyumbang Al-Qur’an jika dibaca hafiz Al-Qur’an yang menghasilkan pahala beranak-pinak bagi penyumbang mushaf Al-Qur’an. Pertumbuhan pahala itu terbentuk dari kegiatan membaca Al-Qur’an yang dijadikan bacaan setiap hari oleh hafiz Qur’an.

Hitungan pahala membagi Al-Qur’an khususnya, dan mendirikan pendidikan tahfiz, ini memang memberi daya tarik yang kuat karena hitungan kelipatan tumbuh pahalanya yang sederhana tadi. Setiap orang yang sudah beriman, termasuk iman kepada alam baqa menyediakan dua pilihan tempat, satu surga dan satu neraka, pastilah ingin mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.

Ketika peluang itu tampak dari dukungan terhadap sekolah tahfiz, memasukkan anak-anak ke sekolah tahfiz dan menyumbang mushaf Al-Qur’an, jalur ini lalu menjadi pilihan bagi orang yang beriman.

Salahkah pilihan tersebut? Salahkah jika makin banyak orang yang hafal Qur’an dan membaca Qur’an? Tentu saja sama sekali tidak. Tren yang sedang terjadi adalah penguatan satu sisi penyikapan terhadap Al-Qur’an sebagai bacaan yang mulia dan yang setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala bagi yang membaca.

Tetapi, fungsi Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan dalam arti mengikuti lafaz hurufnya dengan lidah. Fungsi utama Al-Qur’an juga bukan untuk bahan hafalan. Bahkan tidak satu pun ditemukan ayat dalam Al-Qur’an itu sendiri yang menyebut fungsi Al-Qur’an sebagai bahan hafalan. Fungsi-fungsi Al-Qur’an yang disebut berulang-ulang di dalam Al-Qur’an itu sendiri adalah sebagai penerangan, sebagai petunjuk, sebagai pelajaran, sebagai pedoman, dan sebagai bimbingan. (Ali Imran: 138; Al ‘An’am: 155; Yusuf: 111; Al Kahfi: 27; Sad: 29; Al Jathiyah: 20; Al Qamar: 17, 22, 32, 40; Al Haqqah: 48).

Maka, gairah besar memfungsikan Al Qur’an sebagai bacaan dan hafalan saat ini tentu tidak boleh membuat para da’i, mubaligh, ustadz dan orang tua di dalam rumah tangga terlupa dengan fungsi utama dari Al Qur’an yang nyata-nyata disebutkan berulang-ulang di dalam Al Qur’an itu sendiri.

Jika kita tarik lagi ke arah tujuan diturunkannya agama Islam, diutusnya Nabi Muhammad SAW dan diturunkannya Al Qur’an, maka semarak membaca dan menghafal Al Qur’an saja tentu tidak cukup sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan diturunkannya agama Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, untuk menjadikan manusia menjadi sebaik-baiknya makhluk dan untuk menjadikan manusia bahagia dunia dan akhirat. Menjadi manusia baik jelas pahalanya tidak lebih kecil dari pahala melafazkan Al Qur’an. Ingat, seorang pelacur yang terpanggil hatinya memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan bisa melompat statusnya menjadi ahli surga, asalkan sesudah itu ia bertaubat untuk perbuatan-perbuatan dosanya.

Untuk mencapai tujuan tadi, tidak lain adalah dengan menjadikan Al Qur’an (dan Sunnah Rasul) sebagai ajaran yang harus dipelajari, dipahami dan dijadikan pedoman, petunjuk dan bimbingan.

Untuk mudah menjadikannya sebagai pedoman, isi Al Qur’an sendiri telah dikelompokkan oleh para ulama berdasarkan jenis ajaran yang dikandungnya. Berdasarkan jenis ajaran itu, isi ajaran paling banyak dalam Al Qur’an justeru tentang akhlak. Ada sebanyak 3000 ayat yang berbicara tentang akhlak, yang jumlah itu berarti dua kali lipat dari ayat tentang aqidah yang jumlahnya 1500 ayat.

Bila dilihat kondisi riil ummat manusia dari segi sikap dan perilaku, jelas sangat terlihat masalah akhlak ini adalah masalah yang belum selesai, baik akhlak dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dengan alam.

Jika kita ambil satu saja surat di dalam Al Qur’an, misalnya, QS 49 (Al Hujurat), sangat mudah kita rasakan betapa beberapa perintah di dalam surat ini banyak yang diabaikan. Sikap mudah menelan berita dari orang fasik, mudah berprasangka buruk, mudah memberi sebutan-sebutan yang buruk kepada orang lain, mudah kita temukan. Hanya tempatnya saja yang berpindah. Jika dulu perilaku itu muncul dalam pertemuan-pertemuan di warung, di tempat nongkrong, sekarang tempat melakukan itu pindah ke medsos.

Belum lagi akhlak manusia terhadap lingkungan dan hewan yang juga diperintahkan dalam Al Qur’an untuk tidak merusak dan memusnahkan mereka. Pertanyaannya, seberapa gencar isi Al Qur’an mengenai hal itu diserukan oleh para da’i di majelis-majelis maupun layar smart phone?

Mungkin ini perlu menjadi bahan renungan bagi para da’i, mubaligh, ustadz dan guru-guru agama dalam memprioritaskan fungsi Al Qur’an. Sebab, Al Qur’an sendiri mengajarkan bahwa untuk meraih surga itu adalah dengan beriman dan berbuat kebaikan, atau berbuat kebajikan dalam keadaan beriman.

Maka, target mengfungsikan Al Qur’an hendaknya dikaitkan dengan tujuan utama dan tujuan akhir menjadi muslim dan cara mencapainya yang diajarkan di dalam Al Qur’an dan Sunnah.(analisa)