Menemukan Agama dalam Bencana

oleh -713 views
oleh
713 views
Ade Faulina (foto: dok)

Oleh : Ade Faulina
Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unand

BEBERAPA waktu terakhir kita dihadapkan dengan banyaknya pemberitaan terkait penyebaran dan dampak dari wabah virus corona. Secara terus menerus informasi itu datang silih berganti.

Baik melalui pesan WhatsApp, media sosial, surat kabar, radio maupun televisi. Sejak kasus pasien terinfeksi virus Corona pertama ditemukan di kota Wuhan, China pada bulan November 2019 lalu atau dalam lima bulan terakhir sepertinya tidak ada hari yang dilewatkan tanpa melihat, membaca ataupun mendengar hal-hal seputar virus yang juga dikenal dengan nama Covid-19 itu. Mulai dari apa dan bagaimana virus corona, gejala klinis dan cara penularannya, jumlah negara yang terdampak hingga jumlah korban yang semakin hari kian menunjukkan peningkatan. Intensnya pemberitaan tentang hal tersebut serta tidak adanya ruang bagi user ataupun pengguna media serta masyarakat secara umum untuk mendapatkan informasi lain, pada akhirnya tidak dapat dihindarkan hal ini menimbulkan efek dalam diri setiap orang.

Efek yang ditimbulkan itu baik secara fisik maupun mental (kejiwaan). Orang-orang menjadi cemas, khawatir, takut, panik dan kehilangan arah. Kesehatan fisik maupun mental yang awalnya prima berangsur menurun.

Kecemasan-kecemasan yang secara tidak sengaja terpelihara di tubuh mulai menampakkan reaksinya. Tubuh menjadi mudah lelah, tak bersemangat, stres bahkan yang lebih parahnya sampai menyebabkan penyakit baru. Tentunya hal ini tidak baik dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Selain pengobatan secara fisik tentunya pengobatan mental maupun kejiwaan juga sangat penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam jiwa (ruh) manusia selalu terdapat kebutuhan akan sesuatu yang melampaui batas kemampuannya.

Sesuatu yang suci dan bisa membawa ketenangan maupun kenyamanan. Maka ketika itulah kita menemukan sesuatu yang disebut agama. Harun Nasution menyebutkan bahwa ada beberapa unsur penting yang terdapat di dalam agama yaitu:

Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat kepada kekuatan gaib tersebut sebagai tempat meminta tolong,

Dua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan dengan kekuatan gaib dimaksud.

Tiga, respon yang bersifat emosional dari manusia. Kemudian yang terakhir paham akan adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib dalam kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

Agama barangkali merupakan sesuatu yang jamak kita ketahui sedari kecil. Namun sejauh mana maupun sedalam apa kita melekatkan dan memfungsikannya dalam kehidupan merupakan sesuatu yang masih perlu terus kita pertanyakan dan perbaharui.

Secara langsung maupun tidak langsung kita harus menemukan kehadiran agama di dalam berbagai sendi kehidupan. Karena dewasa ini kemajuan dunia teknologi komunikasi dan derasnya arus informasi menjadikan kita kerap luput untuk menjadikan agama sebagai pegangan yang mendasari setiap perbuatan ataupun tingkah laku kita. Baik dalam hubungan vertikal (kepada Tuhan) maupun horizontal (sesama manusia). Maka tak mengherankan jika pada akhirnya Sang Maha Kuasa membunyikan “alarm” nya melalui bencana ataupun ujian.

Bencana (ujian) dapat datang dalam berbagai bentuk. Baik yang berupa bencana alam maupun non-alam seperti virus yang berkembang saat ini. Apa yang kita rasakan hari ini tidak bisa dilepaskan dari peran kita sebagai manusia di muka bumi. Kita lupa untuk menjaga harmoni dengan semesta yang menaungi kita, sering bersikap egois seperti merusak apa yang seharusnya dijaga di muka bumi ini, berbuat sekehendak hati, bahkan menjadikannya tempat untuk menanam keburukan-keburukan yang pada akhirnya bukan hanya berimbas kepada diri kita pribadi tetapi juga orang lain.

Segala sesuatu yang hadir dan kita rasakan dalam kehidupan ini merupakan sebuah mata rantai maupun siklus yang selalu kembali kepada tempat ia berasal. Jika kita menanam kebaikan maka kita akan menuai kebaikan. Begitupun sebaliknya jika melakukan sesuatu yang jahat atau tidak seharusnya, maka hal itu juga akan berbalik kepada si pelaku sendiri.

Berbagai bencana yang datang seharusnya bisa memberikan dan membawa keinsyafan bagi setiap diri. Tak jarang bencana atau ujian adalah waktu yang tepat untuk kembali menemukan apa yang hilang. Dalam hal ini adalah agama. Kita perlu sama-sama mengoreksi diri bagaimana cara kita melihat dan memperlakukan agama yang merupakan bagian hakiki dari setiap manusia. Apakah kita memandang agama masih sebagai tali kekang yang menghambat atau membuat gerak maupun langkah dalam aktivitas keseharian kita menjadi terbatas?

Apakah kita sudah memperlakukan agama dengan seharusnya dan tak lagi menjadikannya sebagai tameng untuk meraih sesuatu ataupun mencapai tujuan yang kita inginkan?

Bisa dicontohkan dalam masa pemilihan umum, kita dengan mudah dapat menemukan oknum-oknum yang memainkan agama untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.

Demi jabatan, uang dan kekuasaan. Agama juga seringkali dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan dan bahkan agama tidak jarang dijadikan bahan olok-olok atau pun guyon.

Apa yang terjadi di Myanmar, India, Uighur (China) terhadap saudara muslim kita merupakan bentuk pelecehan dan seburuk-buruk tindakan yang mendeskreditkan agama (Islam) dan pemeluknya dalam satu tempat yang tidak sepatutnya. Hal ini belum termasuk benih-benih perpecahan atas nama agama yang terjadi belakangan di Indonesia sendiri.

Agama seperti tidak lagi mendapatkan tempat yang seharusnya di tengah kehidupan yang semakin hari semakin dekat kepada fase akhir. Oleh sebab itu kita harus merenungi dan kembali menelisik rasa beragama yang pudar karena berbagai kemajuan maupun lemahnya daya kita sebagai seorang manusia.

Baik itu di dalam diri maupun antar sesama. Semoga segala jawaban itu akan hadir dan dapat membawa perubahan di dalam diri masing-masing dan kehidupan kita ke depannya. Aamiin. (analisa)