Menilik Kembali: Kasus PT Adaro yang Diduga Terlibat Transfer Pricing dan Kaitannya dengan PSAK No. 7 

oleh -13,042 views
oleh
13,042 views
Transfer Pricing dan kaitannya dengan PSAK No 7. (dok/penulis)

Oleh: Natasya Elvin Maharani

Mahasiswa S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas

LABA MERUPAKAN bagian paling utama dan penting bagi sebuah perusahaan. Adanya laba dapat membantu kelangsungan dan keberlanjutan perusahaan melalui aktivitas operasi perusahaan.

Oleh karena itu, perusahaan akan terus melakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan laba, salah satunya dengan melakukan perencanaan pajak. Melalui perencanaan pajak, perusahaan dapat meminimalkan pembayaran pajaknya, sehingga perusahaan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari yang seharusnya.

Transfer Pricing adalah suatu penentuan harga yang sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dilkaukan antara perusahaan yang memiliki “hubungan istimewa”. Transaksi _transfer pricing_ merupakan transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s length_ (wajar).

Pada awalnya, penggunaan transfer pricing ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi perusahaan induk untuk bertransaksi dengan anak perusahaan yang berada di luar negeri dengan mengikuti aturan yang berlaku.

Namun, sangat disayangkan bahwa transfer pricing seringkali digunakan oleh perusahaan multinasional yang bertujuan untuk penghindaran pungutan pajak dalam negeri ( tax avoidance) supaya penghasilan perusahaan atau pemegang saham menjadi lebih tinggi yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang saham independen, dari transaksi yang melibatkan pihak berelasi atau transaksi yang mengandung benturan kepentingan, pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan, antara lain Peraturan Badan Pengawas Modal dan Lembaga Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor IX.E.1 Tahun 2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dan PSAK No. 7 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi.

Peraturan perundang-undangan tersebut berupaya untuk menarik perhatian terhadap kemungkinan adanya transaksi pihak berelasi yang dapat berdampak pada laporan keuangan yang telah dipublikasikan.

Di Indonesia, kasus transfer pricing paling baru akhir-akhir ini terjadi pada PT. Adaro dengan anak perusahaannya Coaltrade Services Internasional Pte, Ltd yang berlokasi di Singapura. PT Adaro Indonesia (PT Adaro Energy Tbk.) merupakan perusahaan batu bara terbesar nomor dua di Indonesia yang memiliki produk andalan batu bara berkalori rendah dan ramah lingkungan yang dikenal dengan Enviro Coal.

Ini bukanlah kali pertama PT. Adaro diisukan melakukan transfer pricing. Sebelumnya di 2009 isu ini sempat menarik perhatian publik, namun ternyata tuduhan tersebut tidak terbukti dan kembali muncul di 2019.

Berdasarkan laporan internasional dari Global Witnesss yang dirilis pada Kamis, 4 Juli 2019, PT. Adaro diindikasi mengalihkan pendapatan dan labanya ke anak perusahaannya Coaltrade Service Internasional yang berada di Singapura, melalui transfer pricing.

Prosedur yang dilakukan PT. Adaro terbagi dua, yang pertama batu bara yang ditambang di Indonesia, dijual oleh PT. Adaro dengan harga yang lebih rendah kepada Coaltrade, kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Kedua, bonus berjumlah US$ 55 juta yang diberikan oleh pihak ketiga dan anak perusahaan Adaro lainnya dibukukan oleh Coaltrade. Pembukuan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk meminimalisir pajak PT. Adaro, dikarenakan tarif pajak di Singapura lebih rendah 17% dibandingkan di Indonesia.

Dalam laporan tersebut, juga disebutkan bahwa melalui perusahaan luar negerinya, sejak 2009-2017 PT. Adaro berhasil membayar pajak US$ 125 juta (Rp1,75 triliun) lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan di Indonesia.

Manajer Kampanye Perubahan Iklim untuk Global Witness, Stuart McWilliam ikut menambahkan hampir US$ 14 juta per tahun pemasukan Indonesia berkurang karena tindakan PT. Adaro Energy, yang mana pemasukan tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Atas tuduhan yang menimpa PT. Adaro, Direktur Utama PT. Adaro Energy Tbk., Garibaldi Tohir, membantah tuduhan yang dilaporkan tersebut. Ia menyatakan bahwa tata kelola perusahaan Adaro sebagai perusahaan publik sudah baik dan mengikuti aturan yang berlaku, termasuk perpajakan.

Ia juga menambahkan, pembayaran pajak dan royalty telah diungkapkan dalam laporan keuangan, yang dapat diakses pada situs web perusahaan dan IDX sebagai regulator.

Begitu juga dengan Head of Corporate Communication Adaro Energy, Febriati Nadhira, mengungkapkan hal yang sama bahwa transaksi dengan pihak afiliasi Coaltrade Service Internasional, telah diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan, situs resmi perusahaan, dan regulator.

Ia ikut membuktikan bahwa tahun lalu (2018) perusahaan telah membayarkan pajak senilai US$ 343 juta dan royalti sebesar US$ 378 juta. Tentunya hal ini menjadi bukti bahwa PT. Adaro adalah wajib pajak yang patuh dan responsif terhadap aturan.

Kasus PT Adaro ini berkaitan dengan PSAK 7 IAI tahun 2010 yang berisi, “Transaksi pihak berelasi adalah setiap pengalihan aset, kewajiban, atau jasa antara entitas pelapor dan pihak berelasi, baik yang melibatkan biaya maupun tidak.

Transaksi perjanjian atau perjanjian komersial yang melibatkan pihak-pihak yang tidak saling eksklusif untuk tujuan tertentu dapat menjadi transaksi pihak berelasi. Pihak yang berelasi dengan entitas pelapor dapat mencakup individu, anggota keluarga, atau karyawan kunci dari entitas induk atau entitas pelapor jika mereka memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas tersebut. Pihak berelasi adalah mereka yang dianggap memiliki pengaruh signifikan atas pengambilan keputusan pihak lain atau kapasitas untuk mengendalikannya”.

Berdasarkan kasus PT Adaro dan pengungkapan pihak berelasinya, terlihat jelas dari struktur organisasi Adaro Energy, bahwa perusahaan ini diatur sebagai korporasi dengan Adaro Energy sebagai organisasi induk dan perusahaan induk. Dapat dikatakan bahwa Adaro Energy tidak berperan aktif dalam mekanisme transfer pricing penjualan batubara ke Singapura karena dibatasi fungsinya sebagai holding company.

Hal ini dikarenakan penerima batu bara dari Indonesia tersebut adalah Coaltrade Services International Pte. Ltd, yang merupakan perusahaan trading dan distribusi yang berbasis di Singapura yang memperdagangkan batubara yang dibeli dari pihak ketiga, menyediakan campuran batubara dan Envirocoal yang bersumber langsung dari Adaro Indonesia (Adaro Energy, 2009). Artinya, PT Adaro cukup mematuhi PSAK 07 terkait pengungkapan pihak-pihak berelasi.

Dalam hubungan pihak berelasinya, Adaro Indonesia memanfaatkan perannya sebagai fully-fledged manufacturer dan menggunakan asetnya dalam memproses batu bara hingga menjadi sebuah produk yang diberi merk dagang, aset tidak berwujud, Envirocoal guna mendapatkan kompensasi dari harga jual batu bara tersebut kepada Coaltrade.

Di sisi lain, Coaltrade sebagai _full risk distributor_ menggunakan aset keuangannya untuk membeli legalitas kepemilikan barang dari batu bara Envirocoal tersebut dan menjualnya kembali dengan harga yang telah dinaikkan guna mendapatkan kompensasi atas penggunaan aset dan risiko yang terpapar padanya.

Di PSAK No.7 disebutkan bahwa pernyataan ini bertujuan untuk memastikan bahwa laporan keuangan entitas berisi pengungkapan yang diperlukan untuk dijadikan perhatian terhadap kemungkinan bahwa posisi keuangan dan laba rugi telah dipengaruhi oleh keberadaan pihak-pihak berelasi dan oleh transaksi dan saldo, termasuk komitmen, dengan pihak-pihak tersebut.

Bila tujuan ini dikaitkan dengan kasus transfer pricing yang diduga dilakukan oleh PT. Adaro, memiliki relevansi dalam hal pengungkapan transaksi termasuk saldo dengan pihak berelasi. Dimana dalam kasus ini, PT. Adaro Energy sebagai induk perusahaan dan Coaltrade Service Internasional sebagai anak perusahaan.

Melihat kasus yang menimpa PT. Adaro Energy, menurut PSAK No. 7 dalam hal melakukan transaksi kepada entitas yang berelasi diperbolehkan menjual dengan harga perolehan. Sebagaimana yang tertulis dalam PSAK No.7.

“… Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi dimana pihak-pihak tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Sebagai contoh, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain…”.

Berdasarkan pernyataan tersebut dalam kasus PT. Adaro, tindakan yang dilakukan oleh perusahaan ini tidak melanggar aturan yang berlaku. Memang cara itu tidak melanggar aturan, namun tidak etis dilakukan. Sebab perusahaan mendulang keuntungan melalui sumber daya di Indonesia, namun pemasukan pajak yang diterima negara menjadi tidak maksimal, karena keuntungan itu dilarikan ke negara dengan pajak yang lebih rendah.

Terlepas dari benar atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh PT. Adaro, pengungkapan transaksi antara pihak berelasi yang diatur dalam PSAK No.7 menjadi sarana penting bagi pengguna laporan keuangan, dalam mengambil keputusan dalam hal relevansi informasi laporan keuangan. Oleh karena itu, dengan munculnya kasus ini turut memberikan kekhawatiran kepada pengguna laporan terkait transparansi pelaporan keuangan yang dilakukan oleh PT. Adaro Energy.(analisa)