Menswastakan Birokrasi

oleh -182 views
oleh
182 views
Tommy TRD. (dok)

Oleh: Tommy TRD

JIKA ada suatu hal yang paling lambat dalam mengadopsi kemajuan dan perkembangan zaman, bisa jadi adalah birokrasi.

Bukan tanpa sebab, namun mungkin akan tersedia cukup banyak alasan kenapa birokrasi masih seperti bajaj yang berbahan bakar bensin. Padahal sekelas bajaj pun sekarang sudah menggunakan bahan bakar gas.

Jika diurai satu per satu, beberapa di antara penyebab “kuno” nya birokrasi ini, sebagian besar para birokrat akan menjawab regulasi. Walaupun jawaban itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Namun jika bertanya kepada orang yang menggeluti profesi non birokrasi, maka jawabannya ada pada SDM.

Mayoritas ASN yang ada saat ini (terutama PNS) adalah hasil orde baru. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia sayangnya tidak berdampak maksimal kepada birokrasi dikarenakan beberapa periode moratorium penerimaan pegawai negeri.

Mungkin ini adalah missing link penyesuaian birokrasi dengan era modern. Karena tidak cukup banyak pembaharu yang lahir di era millenial untuk bertindak sebagai agent of change birokrasi itu sendiri.

Alhasil birokrasi masih tetap seperti dulu, melibatkan banyak kertas dan stempel, hanya saja kali ini ditambah lagi dengan beberapa aplikasi untuk sekedar menunjukan sudah up to date. Walaupun apa yang diinput ke aplikasi online itu juga masih harus diprint. Entah penggunaan aplikasi ini menunjukan kecanggihan, atau malah sebaliknya. Silahkan anda jawab sendiri.

Berbicara mengenai regulasi sebenarnya tidaklah buruk-buruk amat, walaupun memang masih sangat jauh dari sempurna. Minimal sudah ada regulasi yang mengatur penggunaan aplikasi digital, walaupun tidak semuanya bisa dioptimalkan.

Bagi organisasi perangkat daerah yang paten, maka mereka bisa efektif dan efisien dalam penggunaan aplikasi, walaupun di tengah keterbatasan. Bagi yang tidak, aplikasi malah menjadi beban baru untuk diinput, sebelum diprint menjadi tumpukan kertas yang harus dibubuhi tanda tangan basah dan stempel.

Jika berkaca kepada dunia swasta yang sudah sangat borderless dan tentu saja papperless, maka birokrasi masih disibukan dengan tata bahasa surat menyurat yang lebih mengedepankan kesastraan dibandingkan pointer.

Saya pribadi selalu tertarik dengan surat yang dikeluarkan oleh intansi militer, singkat padat dan jelas. Tidak banyak basa-basi. Karena memang seperti itulah seharusnya surat dinas. Bukan malah disibukan dengan susunan kata-kata per paragraf seperti yang lazim terjadi di instansi sipil.

Di saat tukang ojek datang tepat ke alamat, dengan hanya berbekal aplikasi, birokrasi masih mengharuskan fotocopy 4 rangkap untuk perjalanan dinas yang hanya ke Batang Anai.

Saat aplikasi Peduli Lindungi bisa memutuskam seseorang bisa berangkat atau tidak, hanya dengan menunjukan hasil swab PCR atau antigen di layar handphone, birokrasi masih mempermasalahkan stempel basah dan tidak basah.

Dibutuhkan banyak sekali agen perubahan agar birokrasi bisa menjadi lebih efektif, efisien dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada saat ini. Namun perkembangan birokrasi selalu 3 sampai 4 langkah di belakang perkembangan zaman. Dengan kata lain, tanpa langkah berani, birokrasi masih akan selalu tertinggal.

Pola pikir baru jelas dibutuhkan dalam membangunkan birokrasi dari setengah tidurnya. Pola pikir baru ini dimulai dari pimpinan, kemudian diwujudkan dalam sebuah kebijakan yang didukung dengan regulasi.

Minimal setiap OPD sudah memiliki standar administrasi digital yang sama. Jika terjadi ketimpangan standar ini antar OPD maka jelas yang menjadi masalah di sini bukanlah regulasi, melainkan SDM dan pola pikir.

Terakhir, birokrasi seharusnya adalah sesuatu yang mobile. Karena pelayanan saat ini tidak lagi bersifat sentralistik. Daya jelajah yang tinggi itu seharusnya didukung dengan penyederhanaan pelaksanaan regulasi.

Ingat, yang saya garis bawahi di sini adalah penyederhanaan pelaksanaannya, karena cukup banyak ditemui, regulasinya sederhana, operator pelaksananya yang complicated. Sehingga pelayanan menjadi more complicated.

Jika kita boleh berjujur-jujur, wajar jika birokrasi sangat jarang mendapatkan penilaian bagus dari publik. Kita adalah sosok berbalut baju cokelat khaki, di dalam dunia yang apel pagi jauh lebih penting daripada kemampuan services, inovatif dan solutif.

Apa yang bisa dibanggakan dari berbaris pukul 07.30 pagi ? Sementara pelayanan terhadap 1 urusan publik, butuh setengah rim kertas, dengan isi yang sama, hanya beda tujuan. Like or dislike, so far that’s thewayitis. (analisa)